Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gejala "Pinjam Sarang Kuasa", Postscriptum Kasus Sonya

25 April 2016   10:31 Diperbarui: 25 April 2016   16:57 1774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah contoh aktual “pinjam sarang kuasa” berupa interaksi kuasa dan bisnis. Baru-baru ini Menteri Keuangan menyebut ada 6,000 nama, sebagian adalah politisi dan pejabat, prmilik rekening “bebas pajak” di luar negeri. Total nilai rekening itu diperkirakan  Rp  11.400 triliun. Petugas pajak terkendala menarik pajak karena para pemilik rekening itu memiliki relasi kekuasaan. Artinya, mereka menghindari kewajiban pajak dengan cara “pinjam sarang kuasa”.

Rakyat biasa juga tak luput dari tindakan “pinjam sarang kuasa”. Ada sedikit masalah, langsung main ancam akan lapor (lewat SMS) ke gubernur, atau ke anggota DPR. Pejabat atau orang yang “diancam” akan dilaporkan itu biasanya langsung “mikir”.

Tindakan “pinjam sarang kuasa” bertujuan menundukkan “lawan” agar memenuhi kemauan peminjam “sarang”. Faktor kepatuhan atau bahkan “ketakutan” bawahan kepada atasan (atau junior kepada senior, atau subordinat kepada superior) umumnya akan memaksa seseorang untuk memenuhi kemauan peminjam “sarang kuasa” itu.   

Implikasi tindakan “pinjam sarang kuasa” itu adalah pelanggaran nilai-nilai profesionalitas dan integritas pada jabatan. Sejatinya inilah salah satu faktor utama penyebab meluasnya gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme baik di sektor publik maupun swasta (privat) di negara kita. 

Gerakan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahannya, sebenarnya adalah solusi jitu untuk mereduksi gejala “pinjam sarang kuasa” itu. Pertanyaannya kemudian, mengapa “angin”  revolusi mental itu tak lagi terasa tiupannya kini?(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun