Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Ketika Ilalang Bermalai Padi"

15 April 2016   13:56 Diperbarui: 15 April 2016   14:12 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Padi sawah dalam sebuah perspektif (Foto: Dokumen Pribadi)"][/caption]Indonesia akan mencapai swasembada beras mutlak kelak “ketika ilalang bermalai padi.”  Tentu, ini sebuah metafora.  Mengandaikan inovasi varietas padi produksi tinggi yang mampu tumbuh subur di lahan kering layaknya ilalang.     

Metafora itu konsisten dengan visi Soekarno tentang pertanian lahan kering sebagai basis kedaulatan pangan nasional. Dalam pidato “Soal Hidup atau Mati” saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian UI di Bogor (1952),  Soekarno menegaskan basis kecukupan pangan rakyat Indonesia di masa depan bukan sawah  melainkan padi ladang.

Kini,  64 tahun sejak pidato Soekarno, sampai mana visi pertanian padi ladang sebagai basis swasembada beras terwujud?   Masih relevankah visi tersebut?   Terkait itu, langkah strategis apa yang sepatutnya diambil pemerintah?

 

Masih Bias Sawah

Menjauh dari visi Soekarno, data statistik 45 tahun terakhir (1970-2015) menggambarkan  pertanian padi yang bias sawah.  Data Kementerian Pertanian menunjukkan luas panen padi sawah meningkat 104.7%  dari 6.4 juta ha menjadi 13.2 juta ha.  Jika indeks pertanaman (IP) 2.0 (dua kali setahun),  berarti luas baku sawah  meningkat dari 3.2 juta ha menjadi 6.6 juta ha.  Sebaliknya luas panen padi ladang, sekaligus juga luas bakunya ( IP 1.0),  berkurang 22.9% dari 1.5 juta ha menjadi 1.1 juta ha. 

Bias sawah berlangsung sejak Pemerintah Soeharto hingga Pemerintahan Joko Widodo kini.  Itu dampak  kebijakan pengutamaan usahatani padi sawah sebagai basis swasembada beras melalui program “Revolusi Hijau”, intensifikasi pendaya-gunaan potensi sinergi varietas benih unggul, pupuk, dan irigasi teknis sejak 1970. 

Hasil Revolusi Hijau memang dramatis.  Dalam sepuluh tahun pertama (1970-1980) produktivitas padi sawah melonjak 33.33% dari 2.7 ton menjadi 3.6 ton GKG/ha.  Tahun 1984, ketika swasembada beras nasional tercapai, angka produktivitas tercatat 4.2 ton GKG/ha.  Pada tahun pertama Pemerintahan Joko Widodo, 2015, angka itu  menjadi   5.3 ton.

Kementerian Pertanian melaporkan total produksi padi (GKG) Indonesia  tahun 2015 sebesar  75.5 juta ton, termasuk 3.7 juta ton padi ladang. Ini  setara beras 43.0 juta ton.  Total konsumsi beras nasional tahun 2015 adalah  35.0 juta ton (139 kg/kapita). Mestinya surplus 8.0 juta ton.  Tapi tahun 2015 pemerintah memutuskan impor beras 1.5 juta ton.  Kuat dugaan  program “swasembada beras berbasis sawah”  gagal mencapai target.  

 

Jebakan Efisiensi Teknis

Kegagalan program “swasembada beras berbasis sawah” berakar pada  “jebakan efisiensi teknis”.   Ini upaya peningkatan produktivitas padi per hektar melalui eksploitasi potensi paket “ teknologi intensifikasi lama” (benih, pupuk, irigasi).  Peningkatan produksi disandarkan lebih pada faktor dorongan perubahan efisiensi teknis, bukan pada  adopsi inovasi/teknologi baru.  Berbagai perlakuan maksimisasi efisiensi teknis budidaya lantas ditempuh.   

“Jebakan” itu didasari anggapan batas pertumbuhan belum tercapai.  Padahal sebenarnya sudah mentok, batas tertinggi aktualisasi potensi sudah tercapai.  Buktinya  laju peningkatan produktivitas padi sawah sudah melandai 45 tahun terakhir.  Pada periode 1970-1980 peningkatan produktivitas rata-rata 3.3% per tahun. Lima tahun terakhir (2010-2015) anjlok  menjadi 0.8% per tahun.

Dari tiga komponen  paket “teknologi intensifikasi”, benihlah kunci utama produktivitas. Jika mutu benih rendah maka produktivitas usahatani pasti rendah, sekalipun pemupukan dan irigasi memadai.  Maka kunci swasembada beras adalah perakitan dan adopsi varietas benih padi unggul produksi tinggi.  Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984 berkat  adopsi inovasi varietas-varietas padi unggul produksi tinggi rakitan IRRI, antara lain   IR 5 dan IR 8 (1966),   IR 36 (1976) dan  IR 42 (1980). 

Peran benih  sebagai pemicu peningkatan produktivitas memang  luar biasa.  Bukti terbaru,  aplikasi benih padi unggul rakitan  petani anggota AB2TI  ( 12 lokasi, Jawa) tahun 2014-2015 mampu  mendongkrak produktivitas ke rata-rata 10.6 ton GKP/ha,  56.0% di atas capaian petani sekitar.  

Masalahnya proses inovasi benih padi  unggul di Indonesia sangat  lamban.  Butuh  14 tahun untuk menghasilkan varietas  unggul baru Ciherang (2000), setelah rilis IR 64 tahun 1986.   Lalu perlu  9 tahun lagi untuk menghasilkan varietas unggul  baru Inpari 13 (2009).   Masa pencapaian titik tertinggi adopsi varietas juga sangat lama, 10-15 tahun.

Bisa disimpulkan inovasi benih unggul dalam 45 tahun terakhir cenderung stagnan.  Terbukti dari pelandaian laju kenaikan produktivitas padi sawah dari 3.3% (1970-1980) menjadi 0.8% per tahun (2010-2015) dan padi ladang dari 2.7% menjadi 0.0% per tahun. 

 

Saatnya Revolusi Benih

Jalur paling strategis menjamin swasembada beras 2035 adalah revolusi benih. Kejayaan varietas unggul inbrida lama,  seperti IR64 dan Ciherang,  sebagai basis swasembada beras sudah lewat.  Saatnya melompat ke generasi baru benih unggul hibrida dan transgenik produksi tinggi.

Arti penting revolusi benih sudah dibuktikan agribisnis jagung Amerika Serikat (AS).  Pada era benih inbrida (sampai 1936) produktivitasnya hanya 1.65 ton per ha, pada era benih hibrida (1937-1955) naik menjadi 2.54 ton/ha, dan pada era benih transgenik (1956-kini) melonjak ke  10.16 ton/ha.

Indonesia memerlukan revolusi benih padi untuk  pemenuhan konsumsi  beras 305.6 juta jiwa penduduk tahun 2035.  Tahun itu harus tersedia 42.48 juta  ton beras (139 kg/kapita),  atau 46.73 juta ton termasuk 10% stok pemerintah, atau  setara 89.86  juta ton GKG.

Produksi padi sebanyak itu akan terkendala keterbatasan lahan dan air irigasi.  Konversi lahan sawah menjadi kawasan non-pertanian dan pertanian non-pangan akan meningkat seiring tekanan pertumbuhan penduduk dan industrialisasi.  Diperkirakan luas baku sawah menciut  25.0% sehingga  hanya tersisa 5.0 juta ha.  

Di sinilah letak relevansi visi Soekarno.  Untuk kompensasi penciutan sawah, maka areal padi ladang harus diperluas dari 1.1 juta ha (2015) menjadi sedikitnya 5.0 juta ha.  Sehingga tersedia luas baku areal usahatani padi 10.0 juta ha untuk produksi 89.86 juta ton GKG tahun 2035.

Dengan luas baku sawah dan ladang masing-masing 5.0 juta ha, swasembada tak akan tercapai tahun 2035 jika inovasi benih padi stagnan.  Jika produktivitas padi sawah tetap 5.4 ton GKG/ha seperti sekarang, dari luas panen 10.0 juta ha per tahun (IP 2.0) akan diperoleh 54.0 juta ton.   Jika produktivitas padi ladang tetap 3.3 ton GKG/ha, dari luas panen 5.0 juta ha per tahun (IP 1.0) akan diperoleh 16.5 juta ton.  Total akan diperoleh 70.5 juta ton GKP, atau defisit 19.36 juta ton dari target swasembada.

Revolusi benih di dua jalur adalah solusi untuk kendala kelangkaan lahan dan air  menuju 2035.    

Pertama,  jalur revolusi benih unggul padi hibrida produksi tinggi di persawahan.  Lakukan percepatan hibridaisasi untuk peningkatan luas tanam/panen padi hibrida dari 3.0% menjadi 25.0% (2.5 juta ha) tahun 2035.  Modalnya  50 varietas padi hibrida rakitan Balitbangtan, BUMN Pertanian, dan Swasta.  Produktivitas aktualnya rata-rata 9.0 ton GKG/ha. Dari luas panen padi hibrida 2.5 juta ha, akan diperoleh  22.5 juta ton GKG.  Ditambah 45.0 juta ton GKG padi inbrida dari luas tanam/panen 7.5 juta ha (asumsi produktivitas 6.0 ton), total produksi padi sawah akan mencapai 67.5 juta ton GKG.

Kedua, jalur revolusi benih unggul padi transgenik produksi tinggi tahan kering  dengan produktivitas rata-rata 4.0 ton GKP/ha dan IP 2.0.  Sebagai modal, Puslit Bioteknologi LIPI telah berhasil merakit  varietas padi transgenik tahan kekeringan.  Ini memungkinkan luas tanam/panen padi ladang  10.0 juta ha dengan hasil 40.0 juta ton GKG.   Inilah gambaran metafora “ilalang bermalai padi”. 

Revolusi benih itu, tentu didukung budidaya presisif,  akan  menghasilkan total 107.5 juta ton GKG tahun 2035.  Berarti  surplus 17.64 juta ton GKG atau setara beras 9.17 juta ton.  Dengan surplus sebesar itu Indonesia bisa mengendalikan pasar beras Asia Tenggara.  Itulah berkah panen “ilalang bermalai padi”.(*)

 

Beberapa Bacaan:

Nielsen, R.L., 2012, “Historical Corn Grain Yields for Indiana and the U.S.” , www.kingdom.org/news/timeless

Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12)

 “LIPI Merakit Padi Transgenik Tahan Kekeringan”,  http://republika.co.id/online

Rosegrant, Mark W., Ximing Cai and Sarah A. Cline, 1995, “World Water and Food to 2025: Dealing with Scarcity”,  IFPRI & IWMI.

Santosa, Dwi Andreas, 2016, “Gerakan Mandiri Benih untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan”, Focus Group Discussion “Desa Mandiri Benih”, Kementan Jakarta, 26 Januari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun