Lalu Ahok selaku Gubernur DKI lebih memilih untuk berkonflik dengan pemukim perkampungan illegal saat merelokasi mereka ke rusunawa, sebagai bagian dari upayanya mengatasi banjir melalui pemulihan dan perluasan fungsi jalur hijau.
Juga, Ahok selaku Gubernur DKI lebih memilih untuk berkonflik dengan kelompok-kelompok preman, apapun “bendera” organisasinya, untuk menciptakan kawasan bisnis yang bebas premanisme, sperti di Tanah Abang.
Mau contoh lagi? Tak perlu. Semua langkah Ahok mencerminkan pendekatan konflik. Tidak akan ditemukan jejak pendekatan fungsionalime yang mengedepankan integrasi atau harmoni di situ.
Ahok percaya, kemajuan hanya akan tercapai melalui proses konflik, bukan melalui kompromi seperti lazimnya dilakukan mayoritas kepala daerah penganut pendekatan fungsional. Kompromi bagi Ahok adalah sumber malapetaka.
Konflik adalah cara untuk mencapai kebenaran, dan kebenaran itu adalah dasar untuk mencapai kemajuan. Begitu cara pikir Ahok.
Lalu, apa artinya ini untuk barisan Anti-Ahok? Sederhana saja. Kalau mau menjatuhkan Ahok, maka para anggota barisan Anti-Ahok harus bisa menyelami cara pikir individu penyimpang sosial seperti Ahok.
Ciri khas seorang penyimpang sosial, dia selalu berfikir “di luar kotak” (out of the box), atau di luar kelaziman. Jadi, kalau mau menjatuhkan Ahok, kaum Anti-Ahok juga harus bisa berpikir di luar kotak, di luar kelaziman.
Di luar kelaziman itu, artinya kreatif, inovatif. Bukan sembarangan, ngawur, asal bunyi tanpa logika. Jika kaum Anti-Ahok bicara ngawur, pasti langsung skakmat.
Lantas, bagaimana agar bisa berfikir di luar kotak? Berpikir kreatif, inovatif? Ya, gunakanlah pendekatan konflik seperti Ahok. Kalau kaum Anti-Ahok masih menggunakan pendekatan fungsional, maka tidak akan pernah bisa menjatuhkan Ahok.
Intinya, Ahok hanya bisa dikalahkan oleh orang yang berfikir sama seperti dia. Orang yang juga menggunakan pendekatan konflik. Bukan sekadar orang yang pintar merangkai kata dan fakta sumir untuk menjelek-jelekkan Ahok.
Mau menjatuhkan Ahok, lakukan itu dengan cara cerdas. Sekurang-kurangnya sama cerdas dengan Ahok yang, menurut pengakuannya sendiri, sebenarnya “gak cerdas-cerdas amat.”