Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Betapa Indah Kematian Nenekku

28 Maret 2016   12:29 Diperbarui: 28 Maret 2016   12:53 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Nenekku telah menerima kehilangan suaminya, anak lelaki bungsunya, dan anak lelaki sulungnya sebagai pengembalian orang-orang terkasihnya ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa.

Nenekku telah menyerahkan seluruh harta-benda duniawinya kepada anak-anaknya, lama sebelum dia kehilangan anak-anak lelakinya, sehingga sampai akhir hayatnya nenekku tidak meninggalkan harta benda duniawi apapun.

Nenekku telah menyiapkan cara kematiannya, bahwa dia ingin mati di dalam rumahnya, bahwa kematiannya harus dirayakan dengan “gondang” Batak, bahwa biaya upacara kematiannya sudah disiapkan dalam bentuk tabungan di Credit Union di Kantor Pastoran.

Nenekku ingin menjemput kematiannya dengan mengosongkan dirinya dari segala keakuan duniawinya. Maka benarlah, sejatinya dia sudah menyatu dengan akhirat ketika roh masih dikandung badannya. Maka benarlah, baginya kematian adalah momen terindah yang sudah lama dirindu sehingga layak dan pantas dirayakan.

Aku tidak berada di sisi nenekku ketika dia menghembuskan nafas terakhir di pembaringannya. Tapi aku tahu dia telah menerima kematian tepat dengan cara yang dipilihnya. Aku tahu itu dari senyum yang tetap terukir di bibir tuanya, senyum kebahagiaan, senyum kemenangan atas kematian setelah penaklukannya atas kehidupan, senyum yang menyimpulkan kata “Sudah selesai.”

“Aku tak punya apapun lagi untuk diberikan kepada kalian.” Lagi, terngiang kata-kata nenekku itu di dalam kepalaku.

Tidak. Nenekku telah salah untuk terakhir kalinya. Atau sekurangnya dia telah menyembunyikan sesuatu. Karena dia ternyata masih punya sesuatu yang paling berharga dari semua yang pernah ada padanya, sesuatu yang kemudian diberikannya kepadaku, itulah sebuah peristiwa kematian terindah.

“Ingatlah, kita tak dapat memilih cara terindah untuk lahir ke dunia, tetapi kita dapat memilih cara terindah untuk pergi meninggalkan dunia.” Sekali lagi kalimat nasihat itu bergema di seluruh ruang gereja, menjadi pesan Malam Paskah yang paling mendalam yang pernah aku terima.

Aku terlalu hina untuk layak mengulangi kata-kata “Sudah selesai” dari Yesus di kayu salib. Tapi aku kini telah belajar dari nenekku bagaimana memilih cara kematian yang paling indah untukku kelak.(*)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun