Nenekku telah menerima kehilangan suaminya, anak lelaki bungsunya, dan anak lelaki sulungnya sebagai pengembalian orang-orang terkasihnya ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa.
Nenekku telah menyerahkan seluruh harta-benda duniawinya kepada anak-anaknya, lama sebelum dia kehilangan anak-anak lelakinya, sehingga sampai akhir hayatnya nenekku tidak meninggalkan harta benda duniawi apapun.
Nenekku telah menyiapkan cara kematiannya, bahwa dia ingin mati di dalam rumahnya, bahwa kematiannya harus dirayakan dengan “gondang” Batak, bahwa biaya upacara kematiannya sudah disiapkan dalam bentuk tabungan di Credit Union di Kantor Pastoran.
Nenekku ingin menjemput kematiannya dengan mengosongkan dirinya dari segala keakuan duniawinya. Maka benarlah, sejatinya dia sudah menyatu dengan akhirat ketika roh masih dikandung badannya. Maka benarlah, baginya kematian adalah momen terindah yang sudah lama dirindu sehingga layak dan pantas dirayakan.
Aku tidak berada di sisi nenekku ketika dia menghembuskan nafas terakhir di pembaringannya. Tapi aku tahu dia telah menerima kematian tepat dengan cara yang dipilihnya. Aku tahu itu dari senyum yang tetap terukir di bibir tuanya, senyum kebahagiaan, senyum kemenangan atas kematian setelah penaklukannya atas kehidupan, senyum yang menyimpulkan kata “Sudah selesai.”
“Aku tak punya apapun lagi untuk diberikan kepada kalian.” Lagi, terngiang kata-kata nenekku itu di dalam kepalaku.
Tidak. Nenekku telah salah untuk terakhir kalinya. Atau sekurangnya dia telah menyembunyikan sesuatu. Karena dia ternyata masih punya sesuatu yang paling berharga dari semua yang pernah ada padanya, sesuatu yang kemudian diberikannya kepadaku, itulah sebuah peristiwa kematian terindah.
“Ingatlah, kita tak dapat memilih cara terindah untuk lahir ke dunia, tetapi kita dapat memilih cara terindah untuk pergi meninggalkan dunia.” Sekali lagi kalimat nasihat itu bergema di seluruh ruang gereja, menjadi pesan Malam Paskah yang paling mendalam yang pernah aku terima.
Aku terlalu hina untuk layak mengulangi kata-kata “Sudah selesai” dari Yesus di kayu salib. Tapi aku kini telah belajar dari nenekku bagaimana memilih cara kematian yang paling indah untukku kelak.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H