Aku menoleh mengikuti arah telunjuknya. Mataku menangkap siluet sosok tubuh kecil di puncak pohon kelapa yang ditunjuknya.
“Hush, itu orang, bukan monyet,” aku meluruskan penglihatan anakku.
Melihat sosok pemanjat kelapa itu, mendadak bayangan aksi Si Burung berputar seperti pilem di dalam kepalaku.
Siluet tubuh kecil tadi mendadak menjadi sosok Si Burung di mataku. Aku melihat tubuh kecil itu, seperti kubayangkan dulu waktu membaca “Si Burung”, terbang dari satu ke lain pohon kelapa dengan cara melontarkan tubuhnya dari dari satu ke lain pelepah daun. Itu sebabnya dia dijuluki “Si Burung”.
Ketrampilan memanjat itu menjadi salah satu perekatku pada sosok Si Burung. Waktu kecil, dulu, ketrampilanku memanjat juga terbilang di atas rata-rata. Melompat dari dahan satu pohon ke dahan pohon lain adalah keahlianku. Kata teman-temanku, ketrampilanku memanjat hanya sejengkal di bawah ketrampilan seekor monyet.
Tapi, harus kuakui, Si Burung jauh lebih hebat. Karena dia mampu terbang dari satu ke lain pohon kelapa di bumi pedesaan Kebumen sana. Keahlian yang tak mungkin aku kuasai. Sebab di kampungku, di puncak Bukit Barisan di Tanah Batak, tidak ada pohon kelapa.
Bagiku, Si Burung adalah anak desa bernilai super. Maka, segera setelah tuntas membaca “Si Burung” dulu, tokoh kecil dekil itu langsung menjadi sosok idolaku. Aku pikir, sosok imajiner ini, tanpa kusadari, telah ikut menyumbang pada pembentukan watakku.
“Kita jadi mampir ke Gua Jatijajar?” tanya isteriku menghentikan putaran pilem di kepalaku.
“Jadi. Ayo, kita jalan sekarang.” Jawabku sigap. Lalu, setelah bersih-bersih, kami naik ke mobil sewaan yang bergerak menuju Jatijajar.
Tanpa kuduga sebelumnya, sopir melewatkan mobil dari puncak semenanjung perbukitan yang kulihat tadi. Kondisi jalan sempit, dipenuhi tanjakan dan turunan curam serta tikungan-tikungan tajam.
Kata sopir kami, jalan itu merupakan jalur alternatif saat mudik Lebaran. Entahlah. Sebab sulit membayangkan sebuah bus besar bisa melewati jalur itu tanpa terjungkal masuk jurang.