Siapa saja boleh menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Catat itu! Siapa saja boleh! Kecuali orang ini: Ahok! Catat itu!
Itulah semangat yang menjiwai manuver-manuver sejumlah partai politik sekarang ini. Tidak ada satupun partai politik yang secara terbuka mendukung Ahok menjadi Gubernur DKI mendatang.
Sehingga harus lahir kelompok “Teman Ahok” yang berjibaku mengumpulkan sejuta KTP untuk meloloskan Ahok sebagai calon independen.
Mencari figur yang mampu mengalahkan Ahok. Itulah manuver partai-partai politik. Maka muncullah nama-nama calon pesaing yang mumpuni seperti Ridwan Kamil, Walikota Bandung dan Tri Rismaharini, Walikota Surabaya.
Juga nama-nama yang agaknya mencoba peruntungan seperti Adhyaksa Dault dan Sandhiaga Uno.
Ditambah nama-nama yang menghibur seperti Achmad Dhani dan “Wanita Emas” Hasnaeni Moein.
Plus sebuah nama yang tampaknya ingin mengikuti jejak Jokowi, yaitu Yusril Ihza Mahendra.
Timbul pertanyaan. Mengapa partai-partai politik menolak Ahok? Sedemikian gagalkah Ahok memimpin DKI? Saya kira, tidak! Malah sebaliknya.
Atau sedemikian KKN-nyakah Ahok selama memimpin DKI? Saya kira, juga tidak! Malah sebaliknya.
Atau sedemikian inkonstitusionalnyakah kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan dan pemerintahan yang diambil dan dijalankan Ahok selama ini? Saya kira, tidak juga! Ahok, sejauh ini, hanya tunduk pada konstitusi (dan Tuhan-nya, tentu saja). Dan menolak “tunduk” pada konstituen.
Tapi itulah mungkin pasalnya: “menolak tunduk pada konstituen”. Itu artinya Ahok menolak tunduk pada kepentingan-kepentingan inkonstitusional. Itulah kepentingan-kepentingan KKN politik dan ekonomi dari partai-partai politik dan barisan politisinya.
Maka, beginilah agaknya pola pikir partai-partai politik itu: “Karena Ahok tak melayani kepentingan-kepentingan KKN ekonomi dan politik kita, maka mari kita singkirkan dia dengan cara apa saja, supaya dia tidak menjadi Gubernur DKI lagi.”
Lantas partai-partai politik itu mulai melakukan maneuver yang aneh-aneh. Aneh? Tentu saja. Apakah tidak aneh mendorong Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini menjadi Gubernur DKI? Kalau mereka berdua dan Ahok bertarung, maka hanya akan ada satu saja pemenang. Dua orang diantaranya pasti menjadi pecundang, yang akan kehilangan jabatannya.
Jika Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini yang kalah, maka Bandung dan Surabaya langsung kehilangan walikota terbaiknya. Jawa Barat dan Jawa Timur juga kehilangan calon gubernur terbaiknya.
Jangan-jangan, manuver itu memang dirancang oleh politisi-politisi yang sangat bernafsu menjadi Gubernur Jawa Barat atau Gubernur Jawa Timur periode mendatang. Mereka sadar, parti kalah jika berhadapan dengan Ridwan Kamil atau Tri Rismaharini.
Pengajuan nama-nama Adhyaksa Dault, Sandhiaga Uno, Hasnaeni Moein, dan Achmad Dhani juga aneh. Saya tak melihat karakter gubernur pada orang-orang ini. Mungkin mereka pikir gampanglah jadi Gubernur DKI. Cukup dengan marah-marah seperti Ahok. Semua beres!
Cukup dengan marah-marah? Ya, mungkin saja begitu. Tapi itu hanya mungkin jika Sang Gubernur tak mengidap penyakit jantung atau darah tinggi. Sebab kalau mengidap penyakit itu, maka dia mungkin akan “pulang” ke Karet, atau Tanah Kusir, atau Kampung Kandang, atau Kalibata.
Tentang Yusril Ihza Mahendra, saya tak tahu harus bilang apa, kecuali tidak ada satu jalan yang sama bagi semua orang untuk menjadi Presiden RI.
Jadi, kenapa tak mencoba obyektif menilai kinerja Ahok, dan memilihnya lagi menjadi Gubernur DKI mendatang, kalau memang layak?
Takut nanti Ahok menjadi Presiden RI? Jangan termakan paranoia sendiri. Satu-satunya tempat yang pas untuk Ahok setelah berhenti dari jabatan gubernur adalah Menteri Dalam Negeri. Itupun kalau Presiden kita masih Jokowi.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H