[HRM #Terakhir]
Selalu ada upah untuk sebuah kebaikan. Kendati kebaikan itu diniatkan berpamrih. Upah itulah nilai pamrihnya.
Poltak sadar benar prinsip pamrih itu. Maka, waktu kelas 2 SMA di Porsea, Toba tahun 1970-an akhir, dipraktekkannya prinsip itu pada guru Bahasa Indonesia (BI).
Pasalnya, nilai ulangan BI-nya selalu jeblok. Paling tinggi 6 dari skala 0-10.
"Saatnya menanam kebaikan," pikir Poltak. Dia tahu guru BI-nya, Pak Sim, gila baca novel. Poltak sendiri baru mendapat hadiah novel Motinggo Busye, "Regina, Regina Tercinta" (Pancar Kumala, 1976), dari pamannya yang baru pulang dari Medan.
"Bah, novel bagus pasti ini. Pengarangnya top!" sambut Pak Sim antusias, saat Poltak mengangsurkan novel itu ke hadapannya, pagi hari saat pelajaran BI akan dimulai.
"Anak-anak, buka buku pelajaran halaman 33. Kerjakan soal latihan Bagian A nomor 1 sampai 20. Jangan ribut!"
Lalu tenggelamlah Pak Sim di lautan kata-kata novel Motinggo. Dan bersuka-rialah Poltak dan teman sekelasnya. Karena hari itu pengambilan nilai baca puisi dibatalkan. Pak Sim memilih untuk baca novel saja. Itu upah pertama untuk Poltak.
Upah kedua diterima saat ulangan akhir semester BI. Salah satu nomor soal pilihan ganda berbunyi begini: Novel "Regina, Regina Tercinta" adalah karangan novelis bernama: (A) Ashadi Siregar, (B) Motinggo Busye, (C) Remy Sylado, (D) Sarwo Prasojo.
Tentu saja Poltak bergembira-ria dengan soal itu. Itu adalah upahnya berkat meminjamkan novel "Regina, Regina Tercinta" kepada Pak Sim.
Lalu, sambil tertawa gembira dalam hati, dengan sangat yakin dilingkarinya jawaban ini: (D) Sarwo Prasojo.(*)