Sebagai petani mardijker, sungguh senang duduk di ruang pertemuan di Aston Hotel Simatupang, Jakarta, mendengarkan para pakar bicara soal bioteknologi pertanian.
Mereka adalah Agus Pakpahan, Ketua Komisi Keamanan Hayati dan Pangan; Bambang Sugiharto, Guru Besar Universitas Jember; Bustanul Arifin, Guru Besar Unila; Winarno Tohir, Ketua KTNA; Bahagiawati, Profesor Riset Balitbangtan.
Saya beruntung boleh mendengar mereka bicara pagi ini, Kamis 21 Januari 2016. Itu berkat undangan Ikatan Keluarga Benih Indonesia (IKABI), Asosiasi Perbenihan Indonesia (ASBENINDO), dan Crop Life Indonesia. Ketiganya adalah pemrakarsa pertemuan diskusi ini.
Karena keterbatasan daya tangkap benak, saya laporkan paparan Agus Pakpahan saja. Beliau ini berlatarbelakang disiplin ekonomi, mantan Dirjen Perkebunan, dan mantan Deputi Menteri BUMN.
Ada sejumlah pokok pikiran atau kesimpulan menarik yang disampaikan Agus Pakpahan. Sejauh yang dapat saya cerna. Semua berdasar data empiris.
Pertama, di negara-negara maju jumlah petani menurun tapi luas penguasaan lahan per petani meningkat. Di Indonesia jumlah petani menurun tapi luas penguasaan lahan per petani juga menurun. Jadi, kalau tak ada terobosan teknologi, sulit berharap petani kita bisa makmur.
Kedua, jumlah penduduk dunia umumnya dan Indonesia khususnya meningkat secara eksponensial, sementara peningkatan produktivitas pangan pokok melandai. Tanpa terobosan teknologi untuk melonjakkan produktivitas, Indonesia akan memanen krisis pangan tahun 2050.
Ketiga, terobosan teknologi terpenting untuk peningkatan produktivitas adalah teknologi benih transgenik (Genetically Modified Organisms), dan sudah terbukti di Amerika Serikat, Brazil, Argentina, India, Kanada, dan China.
Keempat, pertanian Indonesia belum mengadopsi teknologi benih transgenik, tapi sehari-hari bangsa Indonesia sudah menikmati produk pangan organik berupa kedelai (tahu/tempe) dan jagung yang diimpor dari Amerika dan Brazil.
Kelima, untuk menjamin swasembada dan kedaulatan pangan Indonesia ke depan, pemerintah perlu meningkatkan investasi untuk pengembangan benih-benih tanaman pangan transgenik yang aman pangan, aman lingkungan, dan aman pakan.
Ya, diskusi di Aston Hotel ini memang membahas isu pengembangan benih transgenik untuk menyokong kedidupan bangsa Indonesia di masa depan.
Sudah pasti ada pro dan kontra terhadap benih transgenik ini. Tapi semuanya itu terjadi di meja debat atau di ruang diskusi nyaman berpendingin seperti di Aston Hotel ini. Argumennya canggih-canggih, dengan mengutip berbagai hasil riset dan opini para ahli.
Perdebatan itu tentu baik. Tapi akan lebih baik lagi jika kami para petani ini ditanya juga “Apa maunya?” Akan kami jawab, “Kami berhak mendapatkan benih terbaik, dan negara wajib menyediakannya.”
Tak perduli apakah itu benih inbrida, hibrida, atau transgenik. Yang penting ramah lingkungan, menguntungkan, dan aksektabel secara sosial.
Sederhana saja permintaan kami, para petani mardijker ini.
Tapi ruang diskusi di Aston hotel ini, sungguh mati, terlalu dingin untuk saya. Jadi, izinkan saya pamit pulang lebih dahulu, sebelum otak menjadi beku. Saya masih memerlukannya untuk menyiasati peningkatan produktivitas di lahan saya yang sempit.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H