“Ya, sudah, Mas. Gak usah bingung. Mari, nginap di rumah kami saja. Di belakang kampus sana.” Gadis itu menawarkan solusi dengan ramah. Tanpa pretensi apapun dalam nada suaranya. Hanya ketulus-ikhlasan yang terasa oleh Frans.
Seperti kerbau dicocok hidung, Frans mengiyakan tawaran tulus-ikhlas dari gadis itu.
Di rumahnya, gadis itu tinggal bersama ayahandanya yang telah sepuh. Tanpa banyak tanya, tapi dengan banyak senyum, ayahandanya menerima Frans sebagai tamu di rumahnya malam itu. Laiknya tamu, Frans dijamu pula makan malam.
“Ternyata di Salatiga ada malaikat,” bathin Fran di peraduan sebelum terlelap tidur, menebus rasa lelah perjalanan Jakarta-Salatiga.
“Bagaimanapun,” pikir Frans keesokan paginya saat menikmati sarapan dengan lelaki sepuh dan anak gadisnya itu, “saya harus memberikan uang lauk-pauk ala kadarnya. Mereka ini sudah terlalu baik pada saya.”
“Terimakasih, Nak. Kami sudah sangat bahagia, Nak Frans sudi menjadi tamu kami. Biarpun hanya semalam,” tolak ayahanda sepuh itu dengan kehalusan tak terperikan.
Itulah penolakan sekaligus sanjungan yang melontarkan Frans ke puncak rasa malu tertinggi sepanjang usianya sampai saat itu. Merah kepiting rebus rona wajahnya menahan rasa malu tak terperi.
“Mas Frans, memangnya orang Jakarta biasa terima uang dari tamu yang nginap di rumahnya, ya?” tanya anak gadis Sang Ayah, polos tapi cerdas dan kritis, sebelum melepas kepergian Frans di pintu pagar rumah.
Sekali lagi, wajah Frans menjadi kepiting rebus.(*)
#Pesan revolusi mental: “Kebaikan yang dibayar bukanlah ketulus-ikhlasan melainkan pamrih.”