Sekarang kita beralih ke masa kini, tahun 2015, ketika Presiden Jokowi mencanangkan pembangunan jalur kereta api Trans-Papua.
Struktur ekonomi Papua kini kurang lebih menunjukkan pola dualistik juga, seperti ekonomi Jawa masa kolonial. Di pedesaan Papua berlangsung moda produksi non-kapitalis, yaitu berupa pertanian subsisten dan bahkan untuk sebagian masih pola meramu dan berburu.
Sementara itu di perkotaan dan di sejumlah titik bisnis di Papua, berkembang moda produksi kapitalis besar. Antara lain perusahaan-perusahaan tambang (Freeport yang terbesar), perhutanan/perkayuan, dan perkebunan (terutama sawit). Bahkan akan berkembang pula perusahaan pangan (food estate) modern di Merauke. Semua ini dapat digolongkan sebagai kapitalis global, dalam arti modal dan atau pasarnya bersifat lintas-nasional.
Lalu, dari dua moda produksi itu, manakah yang terutama akan dilayani kereta api Trans-Papua. Perhatikan rencana jalur kereta api Trans-Papua. Dari Sorong di barat ke Manokwari di sebelah timur “Kepala Burung”, lalu terus ke Nabire di “Leher Papua”. Dari Nabire ada percabangan yaitu, cabang pertama, ke timur laut ke Sarmi lalu terus keJayapura di ujung timur. Cabang kedua kea rah tenggara menuju Timika, “kota tambang” di “Perut Papua”.
Apakah berlebihan mengatakan bahwa kepentingan kapitalis-kapitalis itulah yang pertama dan terutama akan dilayani kereta api Trans-Papua? Apakah sebuah manfaat jika rel kereta api melintas di depan komplek honai atau kebun-kebun hipere di pedalaman Papua?
Perusahaan pertambangan, perhutanan/perkayuan, dan perkebunan kapitalistik pastilah akan tambah berkembang dengan adanya jalur kereta apai Trans-Papua. Pengangkutan hasil-hasil tambang dan hasil bumi, serta hasil hutan ke pelabuhan akan semakin lancar, untu selanjutnya diekspor ke luar Papua.
Siapakah yang bisa menjamin akan terjadi ekspor hipere atau buah merah atau babi dengan adanya kereta api Trans-Papua? Atau siapa yang bisa menjamin lahan kebun hipere penduduk Papau tidak akan menyempit dijepit ekspansi perkebunan? Jangan bilang bahwa gejala “involusi pertanian” mustahil terjadi di pedesaan Papua.
Jika demikian halnya, bukankah itu berarti “masa lalu” penduduk pedesaan Jawa menjadi “masa depan” penduduk pedesaan Papua, sebagai dampak pembangunan keretaa api Trans-Papua?
Tapi tidak baik bersikap pesimistik. Masih ada harapan untuk mengindari pengulangan “masa lalu” Jawa di Papua. Caranya sederhana: mengintegrasikan kepentingan sosial-ekonomi penduduk pedesaan Papua pada pembangunan jaringan kereta api Trans-Papua.
Contoh sederhana: pembangunan agribisnis perkebunan berbasis komunitas lokal di Papua. Dengan begitu, hasil bumi yang diangkut kereta api Trans-Papua adalah produksi penduduk pedesaan Papua sendiri. Hal serupa bisa diterapkan dalam usaha pertambangan dan perkayuan.
Jika kepentingan sosial-ekonomi penduduk pedesaan Papua tak terintegrasi pada pembangunan jaringan kereta api Trans-Papua maka, seperti telah terjadi di Jawa pada masa kolonial, tak mengherankan jika gejala resistensi atau bahkan pemberontakan akan semakin subur di Papua.(*)