Langkah pertama diambil, selanjutnya mengalir begitu saja. Frans dan lelaki itu larut bermain sambil ngobrol akrab layaknya sudah kenal lama.
Skakmat! Skakmat! Skakmat! Skakmat! Skakmat! Tak terasa lima ronde permainan sudah terlewatkan. Hebatnya lagi, semua untuk kemenangan Frans.
“Heeih, Bapak hebat sekali. Tapi ini sudah senja. Saya harus pulang, Bapak,” kata lelaki itu di ujung kekalahannya yang kelima kali.
Cuping hidung Frans langsung mekar dipuji hebat.
“Tapi begini, Bapak. Saya tadi sebenarnya disuruh isteri untuk jual ini kain tenun. Bapak tolong belilah. Butuh uang beli beras, Bapak,” lanjut lelaki itu sambil menawarkan selembar kain tenun Sumba yang sudah agak tua. Rupanya dia adalah penjaja yang sering menawarkan barang kepada tetamu hotel.
Cuping hidung Frans langsung balik kuncup ditodong beli kain.
“Heeih, untuk Bapak saya kasih murah, sudah. Limapuluh ribu, jadi sudah,” cecar lelaki itu menutup kesempatan Frans berpikir waras.
“Waduh, pantesan dia kalah terus tadi. Ada udang di balik batu rupanya,” bathin Frans agak memelas sambil memandangi kain tenun Sumba di pangkuannya, sesaat setelah lelaki tadi menghilang dengan uang limapuluh ribu rupiah di sakunya.
“Heei, Frans, hati-hati kau. Dewa olahraga dan dewa perdagangan itu sama, Hermes,” teriak Piet yang sedari tadi rupanya mengamati kejadian itu dari pintu kamarnya.(*)
#Pesan revolusi mental: “Lupakan kemenangan jika itu berarti membayar biaya kekalahan lawan.”