Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pak Jokowi, Jangan Rumahkan Penjaga Hutan Terakhir

2 November 2015   18:03 Diperbarui: 2 November 2015   20:37 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi: Suku Anak Dalam terkepung perkebunan sawit di Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Sabtu (6/10/2012). (KOMPAS/NASRULLAH NARA)

Saat berkunjung ke komunitas Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi minggu lalu (30/10/2015), Presiden Jokowi menawarkan program perumahan tetap bagi warga peladang berpindah itu.

Tawaran Pak Presiden, di telinga awam, mungkin terdengar sangat bagus. Tapi, dari sisi pemberdayaan komunitas dan pelestarian lingkungan, perlu digugat secara kritis.

Masalahnya memindahkan komunitas SAD ke sebuah pemukiman tetap, berarti “merumahkan” para “penjaga hutan terakhir” di Jambi.

Komunitas SAD adalah “penjaga hutan terakhir” yang masih tersisa di Jambi. Dengan faham monismenya yaitu manusia menyatu dengan alam, mereka telah setia menjaga kelestarian alam sejak era leluhurnya.

Dalam faham monismenya, komunitas SAD menyatu dengan alam sekitar. Komunitas SAD lestari jika alam lestari atau, sebaliknya, punah jika alam punah. Keduanya saling-tindak secara simetris.

Karena itu untuk menyokong hidupnya, komunitas SAD hanya mengambil secukupnya dari alam. Utamanya untuk keperluan makan, sandang, tempat tinggal, adat, dan sosialisasi.

Sebaliknya juga, komunitas SAD memberi perlakuan dan waktu yang memadai kepada alam untuk bisa memulihkan (resiliensi) diri sendiri. Dalam suatu proses rotasi, alam yang sudah sehat kembali, kelak akan memberi hidup kepada komunitas SAD itu.

Dengan cara itulah komunitas SAD menjaga kelestarian hutan, “rumah” sekaligus “sumber nafkah” bagi mereka. Merusak “hutan” sama saja merusak “rumah” dan “sumber nafkah” sendiri.

Sekarang, jika komunitas SAD akan dirumahkan di “pemukiman tetap”, lalu siapakah yang akan menjadi “tuan” untuk menjaga kelestarian hutan Jambi?

Jawabnya, tidak akan ada lagi “tuan pelestari hutan” yang bersifat genuine. Hutan akan menjadi “wilayah terbuka” untuk dieksploitasi setiap pihak. Itu berarti faham dualisme, yaitu manusia terpisah dari alam, akan meraja.

Pengusaha perkebunan dan hutan, penganut faham dualisme paling fanatik, akan menjadi pihak yang paling bergembira jika komunitas SAD dirumahkan.

Bagi entitas bisnis tersebut, manusia sah mengeksploitasi hutan, untuk mendapatkan surplus darinya. Maka bagi mereka paling baik kalau tak ada komunitas SAD di dalam hutan. Soalnya keberadaan mereka akan menyulitkan aksi para kapitalis itu untuk menguras sumberdaya hutan.

Jadi lihatlah, dengan gagasan merumahkan komunitas SAD, apakah Presiden Jokowi sungguh berpihak kepada kepentingan komunitas itu?

Jawabnya, menurut saya, “Tidak!” Tindakan merumahkan komunitas SAD adalah pemihakan kepada kapitalis kebun/hutan. Merumahkan komunitas SAD berarti membuka pintu masuk bagi pebisnis hutan untuk mengeksploitasi hutan.

Jika kapitalis perkebunan/kehutanan masuk hutan, maka jangan pernah berharap hutan akan lestari. Bagi entitas ini, yang penting bukan kelestarian hutan, melainkan kelestarian bisnis. Tak soal jika itu harus memusnahkan hutan.

Kita bisa melihat bencana asap dari perspektif dualisme kapitalis dan monisme komunitas SAD itu. Bagi kapitalis perkebunan, api adalah alat produksi yang sangat efisien dalam proses pembukaan lahan skala luas, karena memungkinkan perolehan surplus lebih besar.

Karena itu menurut para kapitalis perkebunan tersebut, “Gunakanlah sumberdaya api seluas mungkin.” Soal asap? “Emangnya gue pikirin?”

Sebaliknya bagi komunitas SAD, api adalah “sahabat” yang membantu pembukaan ladang berpindah dalam skala subsisten. Api digunakan secara terkendali, sehingga tak bakal berujung “bencana asap”.

Dulu komunitas peladang berpindah di Sumatera dan Kalimantan, seperti komunitas SAD itu, pernah dipersalahkan sebagai penyebab bencana asap. Tapi kemudian terbukti, komunitas itu cuma dikambing-hitamkan. Karena “kambing” yang sebenarnya adalah entitas bisnis perkebunan.

Jadi, tindakan merumahkan komunitas SAD, juga komunitas-komunitas setipe lainnya di Sumatera dan Kalimantan, menurut hemat saya justru bertentangan dengan kebijakan dan program-program anti-asap dari Presiden Jokowi.

Merumahkan para pelestari hutan terakhir di bumi Indonesia itu, berarti mengundang para “produsen asap” untuk masuk hutan.

Jadi, kalau boleh usul Pak Presiden, tolong jangan rumahkan komunitas SAD di pemukiman menetap.

Alasannya, program yang dulu dikenal sebagai “resettlement” atau “pemukiman kembali” itu, bias faham dualisme atau modernisme. Faham itu menganggap komunitas SAD itu tak punya pola mukim. Mereka dianggap “berkeliaran” di hutan sana.

Para modernis itu melihat kemajuan sebagai sebuah proses tunggal dan linear. Tahapannya, terkait pola mukim, bergerak dari “pemukiman berpindah di hutan” ke “pemukiman menetap di desa” sampai ke “pemukiman menetap di kota”.

Bagi penganut faham modernis, tinggal berpindah-pindah di hutan berarti tradisional, terbelakang dan miskin. Sedangkan tinggal menetap di desa/kota berarti modern, maju dan kaya.

Berdasar cara pandang itu, dulu komunitas peladang berpindah di Sumatera dan Kalimantan, melalui program resettlement, pernah dipindah pemerintah ke rumah-rumah di pemukiman menetap di pinggir hutan?

Tapi apa yang kemudian terjadi? Mereka mengalami “kemiskinan” di rumah-rumah “pemberian” pemerintah itu. Lalu akhirnya kembali lagi ke “hutan”, ke dalam rumah sejatinya, tempat mereka mengalami “kekayaan” yang sesungguhnya.

Lalu, dengan usulan ini, apakah saya “anti-pembangunan”? Tidak! Saya hanya mencoba berpikir di luar kotak. Bahwa jalur kemajuan itu tidak bersifat tunggal seperti yang dipikirkan kaum modernis, termasuk Presiden Jokowi.

Komunitas SAD bisa berkembang lebih maju tanpa harus dipindah ke pemukiman menetap untuk bertani menetap di situ. Mereka bisa lebih berkembang dan maju sebagai “penjaga kelestarian hutan” di dalam rumah mereka sendiri yaitu di hutan.

Maka, kebijakan dan program yang perlu dikembangkan adalah pengembangan sistem sosial, termasuk pola mukim, komunitas SAD di hutan. Khususnya dalam konteks peran besarnya sebagai “pelestari sejati” sumberdaya hutan.

Dalam rangka itu, potensi “nilai budaya kehutanan” dan “struktur sosial kehutanan” pada komunitas SAD harus dilihat sebagai potensi modal sosial-budaya kreatif. Itulah yang harus didaya-gunakan, sebagai inti kekuatan komunitas SAD menuju kemajuan dan kesejahtera.

Bagaimana persisnya kebijakan dan program pendaya-gunaan tersebut? Mari kita duduk bersama merumuskannya dengan komunitas SAD. Jangan cuma ngomong di Jakarta.(*)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun