Ajang konflik juga berhasil disiolasi hingga sesempit ajang sosial mikro Distrik Karubaga, Tolikara. Implikasinya, kepercayaan sepenuhnya diserahkan pada komunitas GIDI dan Muslim setempat untuk menemukan sendiri jalan rekonsiliasi. Hasilnya, secara cerdas sesuai konteks sosial-budaya lokal, kedua komunitas sepakat berdamai menurut adat setempat. Ini langkah cerdas karena, bagi komunitas-komunitas lokal, hukum adat setempat lebih mengikat ketimbang hukum positif dan agama yang berasal dari luar.
Isolasi dimensi-dimensi motif, pelaku, dan ajang konflik itulah yang melancarkan jalan penanganan konflik Tolikara. Setelah rekonsiliasi, kini dua komunitas yang berkonflik harus segera masuk pada tahapan yang lebih berat yaitu rekonstruksi sosial untuk membentuk struktur sosial baru yang lebih berkeadilan.
Rekonstruksi itu bukanlah jalan revolusi sekejap, melainkan involusi jangka panjang. Komunitas GIDI dan Muslim setempat harus duduk bersama merumuskan formatnya. Dalam struktur baru itu harus dipastikan bahwa dominasi/hegemoni suatu komunitas tidak lagi bermakna subordinasi/represi terhadap komunitas lain, melainkan kepemimpinan sosial yang melayani kepentingan semua pihak secara berkeadilan.
Semesta Mendukung
Langkah manajemen cerdas kedua adalah penciptaan energi “semesta mendukung” (mestakung). Meminjam konsepsi Prof. Johannes Surya, fisikawan terkemuka Indonesia, “mestakung” adalah hukum alam yang merujuk pada dukungan semesta (sel-sel tubuh, lingkungan, dan segala sesuatu di sekitar) kepada individu/kelompok untuk keluar dari suatu kondisi kritis.
Dalam kasus Tolikara energi “mestakung” adalah resultan berbagai kekuatan lokal dan nasional yang terfokus pada isolasi konflik dan fasilitasi komunitas-komunitas yang berkonflik untuk rekonsiliasi dan rekonstruksi. Dalam prakteknya, energi “mestakung” itu teramati sebagai gejala gotong-royong antar-pihak (pemerintah , kepolisian, TNI, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi adat), dari tingkat nasional sampai lokal, dalam penanganan konflik sosial di Tolikara, hingga tercapai rekonsiliasi berupa perdamaian adat dankemudian rekonstruksi sosial.
Dengan semua muatan kecerdasan manajemen itu, maka konflik Tolikara layak dirujuk sebagai “buku pelajaran” penanganan konflik sosial lokal. Dari konflik itu, sedikitnya ada tiga langkah yang dapat disebut “formula cerdas” yang, dengan menimbang konteks sosial, dapat direplikasi untuk penanganan konflik sosial lokal lain.
Langkah pertama adalah mengisolasi dimensi-dimensi struktural konflik (motif, pelaku, ajang) sampai pada aras tersempit/terkecil. Kedua, memberikan kepercayaan penuh kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk menemukan sendiri jalan rekonsiliasi dan rekonstruksi sosial dalam batas-batas ikatan komunitas mereka, sambil pemerintah tetap menjalankan tindakan penegakan hukum. Ketiga, menciptakan energi sosial positif “mestakung” yang fokus pada fasilitasi pihak-pihak berkonflik untuk rekonsiliasi dan rekonstruksi, sekaligus mencegah intervensi kekuatan luar yang bersifat merusak.
Dengan “formula cerdas” itu, seperti dibuktikan Tolikara, penyelesaian konflik sosial dapat menjadi lebih mudah dan cepat. Sekaligus, penerapan formula itu adalah proses belajar manajemen cerdas atas konflik, sehingga suatu komunitas bisa lebih bijak mengelola konflik-konflik dalam tubuhnya untuk bertransformasi menuju tatanan yang lebih berkeadilan.
Untuk itu semua, Indonesia sepantasnya berterimakasih kepada komunitas Tolikara, karena telah mengajarkan cara cerdas dalam manajemen konflik.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H