"Keluarga berkarakter, Indonesia sejahtera." Itulah motto Harganas XXII, yang baru diperingati pada harin Sabtu 1 Agustus 2015 lalu di Tangerang Selatan.
Motto itu bermakna “bangsa Indonesia adalah fungsi dari keluarga Indonesia”. Jika keluarga Indonesia berkarakter, maka bangsa Indonesia akan sejahtera, atau sebaliknya.
Alur pikir itu, yang disebut logika struktural-fungsionalis, telah menuntun BKKBN menetapkan tema Harganas XXII berikut: "Harganas merupakan momentum upaya membangun karakter bangsa mewujudkan Indonesia sejahtera."
Dalam prakteknya, frasa "membangun karakter bangsa" itu menunjuk pada upaya pewujudan norma keluarga kecil, bahagia, sejahtera, berkualitas, bermartabat, dan harmonis. Inilah yang disebut BKKBN sebagai “keluarga berkarakter”.
Keluarga berkarakter itu , secara agregat diyakini akan membentuk sebuah bangsa berkarakter pula, atau sebuah bangsa sejahtera. Itu sebabnya dikatakan “membangun keluarga berarti membangun bangsa”.
Karena fokus pada karakter maka, dalam perspektif BKKBN, proses "membangun keluarga membangun bangsa" dipahami sebagai wujud “revolusi mental”. Implikasinya, merevolusi mentalitas dalam lingkungan keluarga dengan sendirinya berarti merevolusi mentalitas bangsa.
Lantaran menyangkut “revolusi mental”, timbul tiga pertanyaan dasar. Pertama, mengapa mentalitas dalam lingkungan keluarga diyakini sebagai penentu mentalitas bangsa? Kedua, mentalitas macam apa yang mesti diubah secara radikal? Dan ketiga, dengan cara bagaimana proses perubahan mentalitas itu hendak digerakkan?
Keluarga Miniatur Bangsa
Dalam perspektif struktural-fungsionalis yang dianut oleh BKKBN, sebuah keluarga dipahami sebagai sub-sistem dari sistem bangsa. Fokus analisis keluarga dalam perspektif ini adalah relasi fungsionalnya, internal dan eksternal, di tiga bidang kehidupan yaitu ekonomi, politik, dan budaya.
Maka, dalam perspektif tersebut, bicara mengenai karakter keluarga berarti bicara tentang kualitas kehidupan ekonomi, politik, dan budayanya. Sebuah keluarga disebut berkarakter apabila mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian secara budaya.
Dengan begitu, menjawab pertanyaan pertama, perspektif struktural-fungsional mengukuhkan tesis bahwa “keluarga (kita) adalah miniatur bangsa (kita)”. Miniatur khususnya pada aspek karakter, atau moralitas/mentalitas ekonomi, politik, dan budaya.
Jelas, tesis tersebut sangat relevan dengan konteks Indonesia kini. Sebabnya, Presiden Jokowi telah mencanangkan “sasaran besar” pembangunan bangsa yaitu perwujudan bangsa Trisakti. Itulah sasaran “Indonesia Hebat” yaitu bangsa yang memiliki kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian budaya.
Maka, dalam kerangka struktural-fungsionalis itu, logis jika BKKBN menjadi motor revolusi mental bangsa melalui dan di lingkungan keluarga Indonesia. Harapannya, dengan membangun mentalitas kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian budaya di lingkungan kehidupan keluarga, kelak akan terbentuk “Bangsa Indonesia Hebat”.
Empat Nilai Dasar
Dalam kaitan revolusi mental, norma “keluarga kecil, bahagia, sejahtera, berkualitas, bermartabat, dan harmonis” yang dicanangkan BKKBN sebagai “keluarga berkarakter”, bermasalah secara metodik. “Norma” itu tidak eksplisit menegaskan nilai moralitas/mentalitas keluarga/bangsa yang hendak dibentuk melalui “revolusi mental” .
Karena itu, untuk menjawab pertanyaan kedua, sebaiknya kita merujuk pada manifesto “Revolusi Mental” yang telah diumumkan Presiden Jokowi (Kompas, 10 April 2014).
Dengan manifesto itu, Jokowi telah mencanangkan revolusi mental sebagai paradigma pembangunan nasional. Paradigma ini dimaksudkan untuk menjawab masalah paling dasar bangsa Indonesia awal abad ke-21 yaitu lemahnya mentalitas dan moralitas di segala bidang.
Ada lima premis dasar manifesto “Revolusi Mental” Jokowi itu. Pertama, tujuan pembangunan adalah tercapainya bangsa Indonesia yang Trisakti yaitu berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya.
Kedua, proses pembangunan selama ini baru menyentuh dimensi struktural kelembagaan, belum menyentuh dimensi kultural, sehingga capaian pertumbuhan ekonomi dan demokrasi politik tidak diimbangi oleh penguatan mentalitas bangsa.
Ketiga, mentalitas bangsa yang lemah menyebabkan liberalisme semakin meraja dan menyuburkan gejala inefisiensi pemerintahan, perekonomian, dan perpolitikan dalam bentuk korupsi, kolusi, nepotisme, dan intolerasi yang melemahkan kedaulatan bangsa.
Keempat, revolusi mental harus digerakkan secara nasional untuk mengubah orientasi nilai dalam pola pikir bangsa dari individualistik/liberalisme menjadi gotong-royong/kolektivisme, guna mewujudkan bangsa yang berdaulat secara ekonomi, politik, dan budaya.
Kelima, revolusi mental harus dimulai dari diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan komunitas, sampai ke lingkungan negara.
Inti revolusi mental itu terangkum dalam premis nomor empat yaitu “mengubah orientasi nilai dalam pola pikir bangsa dari individualistik/liberalisme menjadi gotong-royong/kolektivisme”.
Jika dielaborasi lebih lanjut, maka perubahan “orientasi nilai dalam pola pikir” atau “mentalitas” itu, meliputi empat jenis perubahan sikap yaitu, pertama, perubahan dari sikap liberalistik menjadi sikap gotong-royong (kolektivistik).
Dengan begitu, kita akan berkembang menjadi bangsa berkepribadian budaya gotong-royong. Pencirinya adalah kohesivitas tinggi, toleran pada keragaman, tingkat kesenjangan sosial rendah, dan tahan pada segala bentuk cekaman ekonomi, dan politik, dan budaya dari luar.
Kedua, perubahan dari cara kerja tertutup berdasar opini subyektif yang cenderung menyebabkan berbagai distorsi ( korupsi, kolusi, nepotisme, intoleransi) dan inefisiensi, menjadi cara kerja transparan berdasar pengetahuan saintifik yang obyektif, prospektif, dan efisien.
Dengan begitu proses-proses legislasi, eksekusi, dan ajudikasi oleh pemerintah bisa terbebas dari kepentingan-kepentingan pribadi, klik, dan golongan.
Ketiga, perubahan dari budaya kerja amatiran dan involutif yang berorientasi pada pemenuhan subsistensi atau kepuasan/ keamanan diri sendiri, menjadi budaya kerja profesional, sinergis, eksploratif, dan inovatif yang berorientasi pada produktivitas tinggi dan akumulasi surplus-surplus ekonomi, sosial, dan politik untuk mengukuhkan kedaulatan bangsa.
Dengan demikian, bangsa Indonesia akan bertransformasi menjadi bangsa produsen yang handal, lepas dari cengkeraman investasi asing yang eksploitatif terhadap kekayaan alam kita.
Keempat, perubahan dari sikap liberalistik yang mempertajam kesenjangan menjadi sikap solidaristik yang berorientasi pemerataan dan keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya dan surplus-surplus ekonomi/sosial/politik lokal dan nasional.
Dengan demikian keadilan sosial dan kemakmuran bersama dapat diraih sehingga keresahan/ kemarahan sosial akibat ketimpangan struktural akan teredam.
Jadi, secara ringkas bisa disimpulkan , revolusi mental itu fokus pada pembentukan bangsa yang menganut empat nilai dasar yaitu nilai-nilai gotong-royong, obyektivitas, profesionalitas, dan solidaritas.
Empat nilai dasar itu kini memang semakin memudar dalam masyarakat Indonesia, karena tergerus oleh arus deras globalisasi yang menyuntikkan nilai-nilai individualisme liberalistik.
Dibawa ke dalam lingkungan keluarga, maka revolusi mental semestinya berorientasi pada sosialisasi dan internalisasi empat nilai dasar itu dalam keluarga. Karena itu ada baiknya BKKBN mengadopsi empat nilai itu sebagai “nilai dasar keluarga nasional”.
Intinya di sini, keluarga yang ketat menganut dan mengamalkan nilai-nilai nilai gotong-royong, obyektivitas, profesionalitas, dan solidaritas dalam kehidupan ekonomi, politik, dan budaya akan mendukung pembentukan bangsa Indonesia yang berkarakter Trisakti.
Iklim Revolusi Mental
Namun, terkait pertanyaan ketiga, adalah sebuah sesat pikir bila mempercayakan revolusi mental untuk membangun bangsa berkarakter Trisakti melulu pada keluarga. Soalnya, proses reproduksi sosial, atau sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai pada individu-individu anggota keluarga, tidaklah steril dari pengaruh luar-keluarga atau masyarakat.
Pada kenyataannya masyarakat kita sedang menderita “krisis moral/mentalitas”. Ini ditandai dengan memudarnya nilai-nilai gotong-royong, obyektivitas, profesionalitas, dan solidaritas di segala bidang dan pada semua lapisan sosial.
Lihatlah fakta korupsi, kolusi, dan nepotisme dipertontonkan oleh para pejabat pemerintahan (eksekutif/ legislatif/ judikatif ) yang seharusnya mengayomi kepentingan publik. Lalu, kekerasan fisik/verbal dipertontonkan oleh aparat keamanan yang seharusnya melindungi warga,
Juga fakta kebohongan publik dipertontonkan oleh tokoh-tokoh pemerintahan, agama, dan kemasyarakatan. Keserakahan/hedonisme dipertontonkan oleh para pengusaha, pejabat, selebritis, dan sosialita.
Semua fakta itu dipertontonkan secara telanjang ke hadapan semua anggota keluarga di dalam rumah sendiri, melalui media massa cetak , televisi, dan media sosial berbasis internet.
Dengan keseluruhan fakta itu, jelas iklim revolusi belum tercipta dalam masyarakat Indonesia. Akibatnya, revolusi mental dalam keluarga akan menjadi sangat sulit.
Jelas tak mudah, misalnya, bagi seorang ibu menanamkan nilai solidaritas pada anaknya, sementara Si Anak tiap hari disuguhi tontonan gaya hidup hedonistik selebritis di televisi dan media sosial.
Juga, sangat sulit menanamkan nilai profesionalisme pada seorang anak yang tiap pagi sarapan berita korupsi, manipulasi, dan penipuan oleh para pejabat negara di televisi.
Sulit pula menanamkan nilai gotong-royong di tengah masyarakat kita yang cenderung menganut nilai “gotong-boyong”.
Maka, agar revolusi mental melalui keluarga berhasil, pemerintah harus menciptakan iklim revolusi mental. Caranya dengan memberi teladan “revolusi mental dari atas”, yaitu di lingkungan pemerintahan (eksekutif/ legislatif/ judikatif) itu sendiri.
Wujud paling sederhana “revolusi mental dari atas” adalah pemberian sanksi tegas kepada pejabat/aparat yang merugikan kepentingan publik, karena melakukan tindakan-tindakan anti-gotongroyong, anti-obyektivitas, anti-profesionalitas, dan anti-solidaritas.
Bagaimanapun, revolusi mental sesungguhnya bukanlah proses “membangun keluarga membangun bangsa” yang bersifat searah. Antara keluarga dan bangsa, dengan pemerintah sebagai representasinya, harus selalu ada komunikasi dua-arah, saling membangun untuk mewujudkan “Bangsa Indonesia Hebat”.
Memang tak salah mengatakan “Keluarga adalah miniatur bangsa .” Tapi harus diingat bangsa kita hari ini sedang dirundung “krisis moral/mentalitas”. Berarti, keluarga sebagai miniaturnya juga setali tiga uang.
Jadi, sungguh berat beban di pundak BKKBN, sebagai institusi yang memotori revolusi mental melalui keluarga Indonesia. Tapi, jika iklim revolusi mental dapat diciptakan, maka semesta bangsa akan mendukung revolusi mental untuk mencapai tujuannya, yaitu “keluarga yang berkarakter sebagai miniatur bangsa Indonesia yang berkarakter”.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H