Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terhebat Sedunia, Secangkir Kopi Buatan Nenekku

27 Juli 2015   09:13 Diperbarui: 27 Juli 2015   09:13 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

De gustibus non est disputandum! Selera tak bisa diperdebatkan! Benarkah? Tidak, kalau soal rasa secangkir kopi.
Sebab rasa kopi terhebat sedunia sudah melekat pada secangkir kopi buatan nenekku. Anda akan mengakuinya, segera setelah aromanya menjalari rongga hidung hingga menerakan sebuah memori rasa tanpa banding di benak.

Apalagi setelah sruputan pertama membasahi bibir, lalu lidah, untuk kemudian turun menjalarkan gairah hangat dari rongga mulut ke sepanjang kerongkongan hingga ke dasar lambung.

Saya pastikan, setelah menyesap secangkir kopi buatan nenekku, maka minum secangkir kopi di kedai kopi manapun di pojok dunia ini akan menjadi pengalaman mengecewakan bagi Anda.

Sayang seribu kali sayang, nenekku sudah meninggal 15 tahun lalu.

Maka yang tersisa kini tinggal ceritaku. Tentang secangkir kopi buatan nenekku dengan rasa terhebat sedunia. Terjadi dalam satu masa yang terentang dari paruh kedua 1960-an sampai paruh pertama 1970-an. Di sebuah kampung kecil bernama Rura Nauli, terpencil di pedalaman Tanah Batak, tersembunyi dalam pelukan punuk-punuk punggung Bukit Barisan, sekitar 12 kilometer arah selatan kota Parapat.

 

Dari Kebun Sendiri

Secangkir kopi buatan nenekku senantiasa berasal dari buah kopi segar yang dipetik dari kebun kopi sendiri. Jadi sungguh terang-benderang asal-usul secangkir kopi itu.

Kakekku, yang meninggal 45 tahun lalu, di awal 1960-an membangun sehektar kebun kopi di belakang rumahnya. Itu sebidang kebun kopi jenis robusta. Aku tidak tahu berapa semua jumlah pohonnya. Yang jelas, dalam penglihatanku, sangat banyak.
Sejak usia 4 tahun, nenek sudah mewajibkanku untuk membantunya memetik buah kopi ranum di kebun. Ini pekerjaan yang menyenangkan kalau hanya memetik di satu ranting, seperti layaknya dalam wisata kebun kopi.

Tapi aku harus memetik kopi di ratusan atau mungkin seribuan pohon dalam hamparan satu hektar. Tiga jam dalam sehari di waktu sore. Lima hari dalam seminggu, dari Senin sampai Jum’at. Sabtu sampai Minggu, libur. Siapa bilang ini bukan pekerjaan yang melelahkan dan membosankan?

“Nanti nenek buatkan secangkir kopi untukmu, Cucuku,” begitu selalu nenekku menyemangati saat rasa lelah dan bosan mendera lahir-batinku yang masih kecil. Dan setiap kali mendengar iming-iming “secangkir kopi”, mataku langsung membelalak cerah lagi dan otakku langsung terasa segar. Tubuhkupun menjadi ringan lagi memanjati pohon kopi satu demi satu untuk memetik buah-buah ranumnya. Sungguh, nenekku luar biasa, dia benar-benar tahu apa yang kumau.

 

Diolah Sendiri

Kebun kopi itu sebenarnya sumber nafkah untuk kakek-nenekku. Selain sawah, ternak kerbau, dan ternak babi. Hasil sawah, sebagian besar dimakan sendiri. Kerbau dan babi biasanya dijual jika ada keperluan biaya besar, semisal membangun rumah atau menyekolahkan anak ke perguruan tinggi. Nah, kebun kopi itu menjadi sumber pendapatan tunai rutin, mingguan.

Setelah dipetik, nenekku akan menumbuk kopi di lesung kayu, untuk melepas kulit dari biji. Kopi kemudian dijemur sampai kering. Tiap hari Jum’at, nenekku akan menumbuk ulang biji kopi yang sudah kering, lalu menampinya, agar semua kulit lepas terbuang menyisakan biji-biji kopi murni yang bersih mengkilat.

Biji-biji kopi itu, dalam hitungan kiloan, hari Sabtu esoknya akan dibawa nenekku ke Pasar Tigaraja, Parapat untuk dijual kepada pedagang pengumpul di sana. Hasil penjualannya digunakan untuk belanja keperluan dapur selama seminggu, antara lain garam, gula, bumbu dapur, ikan teri, dan ikan asin. Dan yang terpenting, membeli tembakau berikut kertas lintingannya untuk kakekku.

Tentu saja tidak semua biji kopi dijual. Sebagian disisakan untuk konsumsi sendiri. Diolah sendiri untuk dinikmati pagi ataupun sore hari.

Nah, proses pengolahan itulah yang membuat kenikmatan kopi racikan nenekku menjadi sempurna. Nenekku akan menggongseng biji kopi di perapian di sore hari. Perlahan tapi pasti, seiring perubahan warna biji kopi dari putih gading kehijauan menjadi cokelat kehitaman, aroma kopi robusta akan memenuhi dapur, tembus ke ruang tengah, menerobos jendela mengirim pesan kenikmatan tidak saja kepadaku dan kakekku, tapi juga kepada tetangga sebelah rumah.

Biji kopi yang sudah matang digongseng itu kemudian ditumbuk nenekku di lumpang kayu kesayangannya. Selama proses tumbuk kopi itu, aroma nikmatnya terus menjalar ke segara penjuru. Tepung kopi hasil tumbukan itu kemudian diayak untuk mendapatkan bubuk kopi yang benar-benar halus dan lembut. Itulah bubuk kopi terbaik sedunia, sepanjang yang aku tahu sampai sekarang.

Bubuk kopi terbaik sedunia itu kemudian diseduh nenekku dalam tiga cangkir kaleng beremail, dengan tambahan sedikit gula pasir. Lalu disajikan kepadaku dan kakekku, di atas tikar mendong, lengkap dengan sepiring singkong rebus maha-pulen yang masih mengepulkan asap.

Kakekku dan aku akan menyeruput kopi panas itu, merasakan sensasi kenikmatan rasa pahitnya yang tak terlalu tajam lagi di lidah, sekalian menghirup gairah yang melekat pada aromanya. Lalu, dengan mata sedikit terpejam, segera setelah kehangatan kopi menjalari kerongkongan hingga lambung, mulut lalu terbuka mendesahkan kenikmatan tiada tara. Sssss...hhhhhhaaaahhhh…..nikmaaaaath!

Apakah berlebihan kalau aku katakan secangkir kopi buatan nenekku terhebat sedunia? Jika ada yang membantahnya, beritahu aku, dimana di pelosok dunia ini ada kedai kopi yang bisa menyajikan kenikmatan kopi seperti bikinan nenekku. Kenikmatan yang sempurna, yang terasakan sejak memetik biji-biji kopi ranum di pohonnya sampai pada tegukan terakhir yang tersisa pada secangkir kopi.

Kenikmatan kopi buatan nenekku bukanlah semata kenikmatan lahiriah, tapi terutama kenikmatan bathiniah. Nenekku tidak sekadar menyajikan secangkir kopi hangat untukku, tetapi yang terpenting, menyajikan kehangatan kasih lewat secangkir kopi. Di tangan nenekku, secangkir kopi hangat adalah bahasa kasih yang tak ada duanya.

Kehangatan kasih, itulah yang tak kudapatkan dari kedai kopi manapun yang pernah kusinggahi. Di kedai-kedai kopi itu, secangkir kopi panas bukanlah bahasa kasih, melainkan bahasa dagang.(*)

“Kutuliskan kisah ini sebagai kenangan akan kasih-sayang nenekku.”

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun