Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Hindari 3 Hal ini Ketika Berkendara di Tol Cipali

18 Juli 2015   07:42 Diperbarui: 18 Juli 2015   11:15 5798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sumber foto: Tribunnews.com

Dalam tempo sebulan dioperasikan, terhitung sejak diresmikan Presiden Joko Widodo tanggal 14 Juni 2015 yang lalu, Tol Cipali sudah membukukan 56 kecelakaan, dengan korban jiwa 12 orang.

Fakta itu memicu sebuah tanya ragu, aman dan nyamankah berkendara lewat tol Cipali?

Jawabnya, tanpa ragu, dijamin aman dan nyaman.

Mengapa pasti aman dan nyaman? Karena tol sepanjang 116.75 km ini dirancang sebagai jalan raya modern berteknologi tinggi dengan tingkat keamanan dan kenyamanan tinggi.

Fakta paling gamblang, tol Cipali didominasi jalan lurus, datar, dan mulus. Trek lurus dan kontur datar diperoleh berkat teknologi jembatan dan belah bukit. Total ada 99 unit jembatan di sepanjang tol ini, 29 unit under-bridge dan 70 unit over-bridge.

Permukaan jalan yang mulus, smooth like butter, diperoleh berkat teknologi aspal hotmix dan beton sambungan paling canggih. Sedemikian mulusnya sehingga kendaraan bisa melaju sampai 100 km/jam tanpa guncangan berarti.

Lalu ada 8 unit rest area, masing-masing 4 unit di kiri dan kanan jalur. Jadi, kalau ngantuk dan lelah, bisa istirahat sejenak di situ.

Lantas, kalau aman dan nyaman, mengapa frekuensi kecelakaan di sana begitu tinggi?

Human Error

Human error, kesalahan pengemudi, itulah penyebab utama berbagai kasus kecelakaan itu. Setelah dianalisis, kata Direktur Keselamatan Transportasi Darat Kemhub Gede Suardika, 74 persen kecelakaan itu terjadi karena pengemudi ngantuk dan 14 persen karena pengemudi lelah. Jadi, kesalahan bukan pada infrastruktur tol Cipali.

Kalau begitu, solusi agar tak celaka di Cipali gampang sekali: "Jangan mengemudi saat ngantuk dan lelah." Tapi, benarkah sesederhana itu pemecahannya?

Tentu saja tidak. Ngantuk bisa dihilangkan dengan tidur sejenak. Lelah bisa dihilangkan dengan istirahat sejenak. Tapi, sekalipun tak ngantuk dan juga tak lelah, itu tak serta-merta menjamin keamanan dan kenyamanan melintas di jalur Cipali.

Lalu, bagaimana caranya agar perjalanan lewat tol Cipali aman dan nyaman?

Caranya, di atas semua masalah teknis yang sebenarnya mudah diatasi, ada tiga masalah sosial yang harus dihindari oleh pengendara yang melintas di tol, khususnya di Cipali. Itulah masalah cultural lag, fallacy of composition, dan tragedy of the commons.

Khususnya dalam rangka ritus mudik dan balik-mudik tahun ini, para pemudik yang melintas di tol Cipali, juga tol sambungan sebelum dan sesudahnya, usahakan tidak terkena tiga masalah sosial itu.

Saya akan jelaskan tiga masalah itu dengan cara yang sesederhana mungkin di bawah ini.

 

Cultural Lag

Cultural lag atau "senjang budaya" adalah konsep sosiologi (W.F. Ogburn) untuk menjelaskan ketertinggalan unsur budaya immaterial, yaitu pola pikir, dari unsur budaya materil, yaitu teknologi pada saat bersamaan. Akibatnya teknologi digunakan secara tidak semestinya, sehingga yang didapat bukan manfaat melainkan mudarat.

Tol Cipali, sebagai wujud budaya materil, adalah sebentuk teknologi jalan raya modern nan canggih. Penggunaannya mensyaratkan pola pikir modern pula, sebagaimana tercermin dari perangkat aturan berkendara di jalur itu.

Perangkat aturan tersebut, yang harus menjadi pola pikir saat berkendara di tol, mencakup antara lain kepatuhan pada batas kecepatan maksimal 100 km/jam di jalur kanan, dan minimal 60 km/jam di jalur kiri. Pengurangan kecepatan kendaraan seiring kecepatan angin samping. Menjaga jarak aman dengan kendaraan di depan, misalnya 3 detik atau 100 m untuk kecepatan 100 km/jam.

Lalu, mendahului kendaraan lain harus dari jalur kanan, bukan dari bahu jalan, yang dikhususkan bagi kendaraan mogok atau bermasalah. Berhenti hanya di rest area, kecuali keadaan darurat. Memastikan tekanan angin ban sesuai standar, dan muatan kendaran tak melampaui batas maksimum.

Masalah cultural lag terjadi ketika pengemudi memasuki tol Cipali dengan pola pikir tradisional, yang terbawa dari perilaku berkendara di jalan non-tol, misalnya jalur konvensional pantai utara. Dalam pola pikir tradisional ini, tak ada aturan baku yang wajib dipatuhi. Kecepatan, jarak antar kendaraan, cara mendahului kendaraan, posisi berhenti, dan muatan kendaraan semua serba "seenak perut sendiri".

Maka, ketika seorang pengendara berpola pikir tradisional memasuki jalur tol, ia akan terkena sindrom "rusa masuk kampung", slanang-slonong sana-sini, menabrak semua aturan atau etika berkendara di jalur tol, baik saat kepadatan lalu-lintas rendah mau pun tinggi. Inilah gejala nyata cultural lag yang tidak saja membahayakan diri sendiri, tetapi juga pengendara lain.

Perilaku memacu kendaraan di atas 100 km/jam juga termasuk salah satu bentuk sindrom "rusa masuk kampung". Di tol Cipali yang lurus dan mulus, kecepatan 120 km/jam bisa menimbulkan efek "buaian" yang membawa kantuk. Harusnya, jika mengantuk, pilihannya adalah masuk rest area untuk tidur sejenak.

Tapi si "rusa masuk kampung" lebih memperturutkan hati untuk berlari terus. Walau tak selalu terjadi, mengantuk di belakang setir pada kecepatan 120 km/jam tentu bisa mengantar mobil ke pantat truk atau tengah sawah. Upahnya, mungkin, "cuti" di rumah sakit atau bahkan "pensiun" di kapling mini "rumah masa depan".

 

Fallacy of Composition

Fallacy of composition atau "kekeliruan karena komposisi" adalah konsep ekonomi untuk menjelaskan apa yang baik di aras individu atau mikro belum tentu baik di aras kelompok atau makro. Ini merupakan bentuk sesat pikir yang menyebabkan keputusan individual menjadi tindakan mudarat, karena keputusan serupa ternyata dilakukan banyak orang juga pada saat bersamaan.

Dalam kasus mudik lewat tol Cipali, keputusan individual untuk berangkat dari Jakarta selepas sahur Rabu 15 Juli 2015 yang lalu tampaknya cerdas. Asumsinya belum banyak orang yang bergerak mudik pada titik waktu yang sama.

Tapi ternyata banyak orang yang berpikir serupa pada waktu bersamaan. Akibatnya tol Cipali padat dan gerbang masuk di Cikopo serta gerbang keluar di Palimanan macet hingga belasan kilometer. Kepadatan dan kemacetan seperti itu jelas menjadikan perjalanan tidak nyaman.

Untuk menghindari ketaknyamanan akibat masalah fallacy of composition semacam itu, ada baiknya mempelajari pola arus mudik dan balik-mudik. Misalnya dengan cara survei informal. Tanyakan pada setidaknya 30 orang yang mudik menggunakan kendaraan pribadi, kapan berangkat dan kapan pulang. Jika jawaban menumpuk pada satu tanggal tertentu, maka sangat mungkin itu bukan "hari baik" untuk bepergian. Sebaiknyan pilih tanggal lain yang paling sedikit peminatnya.

 

Tragedy of the Commons

Tragedy of the commons atau "tragedi kepemilikan bersama adalah metafor ekologi (G. Hardin) untuk menggambarkan keserakahan individu mengeksploitasi manfaat sumberdaya milik bersama, tanpa upaya pelestarian, sehingga pada akhirnya mengancam kepentingan bersama.

Prinsipnya yang berlaku di sini, "kalau tidak saya manfaatkan sekarang, pasti akan dimanfaatkan orang lain nanti". Jelas, ini egoisme tingkat tinggi.

Kendati tidak sepenuhnya paralel, metafor ini dapat menjelaskan gejala penumpukan kendaraan di gerbang masuk dan keluar tol Cipali. Harusnya hanya satu jalur antrian untuk satu pintu gerbang. Tapi ada yang serakah lalu menerabas dari samping membuat jalur informal. Sehingga ada dua atau bahkan tiga jalur antrian untuk satu pintu gerbang. Akibatnya terjadi bottle neck yang memperparah kemacetan. Sudah pasti ini menyebabkan ketidaknyamanan.

Tindakan serakah di jalur tol itu berangkat dari anggapan bahwa pelaku merasa berhak atas manfaat maksimal jalan tol, karena ia sudah membayar untuk itu. Tapi dia lupa bahwa semua pengguna tol juga membayar sehingga manfaat tol sebenarnya adalah "milik bersama" yang harus dinikmati secara fair.

Tindakan egoistik dari sejumlah kecil pengguna tol, dengan laku mau menang sendiri, akhirnya akan merugikan kepentingan keseluruhan. Misalnya kehilangan banyak waktu dan energi karena kemacetan yang berlarut-larut. Begitulah cara tragedy of the commons merampas kenyamanan berkendara di tol.

Barangkali istilah-istilah cultural lag, fallacy of composition, dan tragedy of the commons di atas terdengar asing atau bahkan terkesan mengawang bagi kebanyakan dari kita. Tapi, seperti telah saya coba jelaskan, kita sebenarnya sangat akrab dengan tindakan, kejadian, atau gejala yang dibingkai oleh istilah-istilah itu.

Jadi, kembali pada ritus mudik dan balik-mudik melalui tol Cipali, sebaiknya hindarilah masalah-masalah cultural lag, fallacy of composition, dan tragedy of the commons saat melintas di sana. Dengan begitu, niscaya perjalanan mudik dan balik-mudik akan menjadi perjalanan yang aman dan nyaman.

Ingatlah selalu, keamanan dan kenyamanan adalah pilihan rasional, bukan takdir irrasional. Tol Cipali memang menawarkan jaminan keamanan dan kenyamanan berkendara. Tapi apakah kita akan mendapatkan keamanan dan jaminan itu, tergantung pada rasionalitas dan kecerdasan kita berkendara, antara lain kemampuan kita menghindari tiga masalah di atas.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah. Mohon maaf lahir dan bathin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun