Ibadah shalat umat Islam itu adalah disiplin yang sungguh ketat tapi sekaligus indah. Begitu penilaian obyektif saya, sebagai orang luar yang non-Muslim.
Shalat itu, dalam pandangan obyektif saya, mengandung nilai presisi yang amat kuat. Mulai dari presisi waktu, pengulangan lima kali dalam sehari pada waktu yang selalu sama, yakni Zuhur-Asar-Magrib-Isyak-Subuh. Sampai pada presisi kiblat, sikap tubuh, dan gerakan di saat wudhu dan menjalankan shalat.
Rangkaian gerak shalat itu, dari awal sampai akhir, dalam penglihatan saya adalah sebuah pentas tarian indah. Setiap detil gerak itu , yang dilakonkan dengan presisi dan disiplin ketat, sarat makna dan tujuan.
Semua umat Islam yang saya kenal, di lingkungan tinggal maupun kerja, selalu menjalankan ibadah shalat pada waktu yang persis sama dan dengan cara yang persis sama pula.
Karena itu, saya berkesimpulan, umat Islam adalah orang-orang yang paling berdisiplin dalam menjalani hidup. Dalam arti senantiasa mengedepankan nilai presisi dalam setiap tindakan. Secara laten, tanpa disadari, ibadah shalat telah menanamkan nilai presisi dalam diri setiap Muslim sejak usia dini.
Pengamalan nilai presisi itu, yang teramati sebagai tindakan berdisiplin, juga dituntut saat umat Muslim menjalankan ritual mudik untuk menyambut hari kemenangan, sebuah hari bernama Idul Fitri di ujung Ramadhan. Sebuah hari untuk “Buka Puasa Besar”, atau Lebaran, setalah sebulan berperang melawan hawa nafsu.
Terlebih jika saudara-saudara umat Muslim mudik dengan berkendara melalui ruas tol Cipali, yang terentang 116.75 km dari Cikopo hingga Palimanan, Jawa Barat, maka pengamalan nilai presisi atau disiplin itu perlu ekstra ketat.
Ruas tol Cipali memang terlihat lega, lurus, dan mulus. Tapi ruas itu tidak seaman yang mungkin dibayangkan. Ingat, sejak diresmikan Presiden Jokowi sebulan lalu (13 Juni 2015), ruas tol itu telah membukukan sedikitnya 56 kasus kecelakaan lalu lintas, dan merenggut 12 nyawa pelintas.
Dari hasil analisis terungkap bahwa faktor utama penyebab kecelakaan itu adalah human error. Itu berarti faktor disiplin rendah dalam berkendara. Atau pengesampingan pada nilai presisi dalam berkendara di ruas tol.
Nilai presisi yang dimaksud, pertama, berkenaan dengan syarat kondisi obyektif fisik dan psikis pengemudi. Obyektif harus sehat lahir dan bathin, serta dalam kondisi kebugaran prima.
Kedua, nilai presisi berkenaan dengan kesiapan fisik kendaraan antara lain kondisi mesin prima, kelengkapan fisik (lampu-lampu, spion), dan roda-roda.
Lalu, ketiga, nilai presisi berkenaan dengan aturan perilaku berkendara yaitu antara lain batas kecepatan di lajur kiri dan kanan, batas kecepatan di jalur menikung, jarak aman dengan kendaraan di depan, larangan penggunaan bahu jalan, jumlah maksimum penumpang, batas muatan barang, sampai rekomendasi pemanfaatan rest area.
Pengamalan nilai presisi itu di ruas tol Cipali menunjuk pada laku disiplin berkendara. Ini pasti bukan sebuah tuntutan yang terlalu berat bagi saudara-saudara umat Muslim yang sudah “mendarah-dagingkan” nilai presisi sejak kecil, melalui ibadah shalat.
Kiranya tak terlalu sulit pula mengamalkan nilai presisi yang Islami itu di ruas tol Cipali. Jika ritual mudik itu diresapi sebagi sebuah “perjalanan spiritual” menuju sebuah Hari Kemenangan Atas Nafsu Duniawi, maka tak sulit kiranya untuk menjalankannya sebagai sebentuk ibadah.
Jadikanlah perjalanan lewat Cipali sebagai sebuah ibadah, dengan upah keselamatan di ujung perjalanan. Menjejaklah di badan jalan selayaknya menjejak di atas tikar sajadah. Resapilah ruas tol Cipali layaknya hamparan sebuah “sajadah panjang”.
Sekadar membantu untuk meresapinya, mungkin baik juga jika menyetel “Sajadah Panjang” kelompok musisi Bimbo di tape mobil. Lalu dengarlah alunan merdu puisi ini:
Ada sajadah panjang terbentang/dari kaki buaian/sampai ke tepi kuburan hamba/kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang/hamba tunduk dan sujud/di atas sajadah yang panjang ini/diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki mencari ilmu/mengukur jalanan seharian/begitu terdengar suara adzan/kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang/hamba tunduk dan rukuk/hamba sujud tak lepas kening hamba/mengingat Dikau sepenuhnya
Di atas hamparan sajadah di mesjid, langgar, surau, atau mushola, seorang Muslim sejati tentulah tak akan melakukan suatu apapun kecuali shalat, sebuah laku ibadah yang mengandung nilai presisi atau disiplin tinggi. Tak ada tindakan indisipliner di atas selembar sajadah.
Maka, jika meresapi ruas tol Cipali sebagai lintasan “sajadah panjang”, dan melakoni perjalanan mudik sebagai ibadah, niscaya saudara-saudara umat Muslim yang melintas di sana akan mengamalkan nilai presisi, dan menjalankan laku disiplin berkendara.
Dengan laku sedemikian itu, insyaAllah, perjalanan mudik lewat tol Cipali akan berujung di suatu ruang dan suatu waktu yang indah, yang terangkum dalam dua patah kata sederhana namun indah, Idul Fitri.
Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri bagi Saudara-Saudaraku Umat Muslim.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI