Dahlan Iskan tengah berburu tikus dengan metode pengasapan dalam program "BUMN Peduli Penyelamatan Hasil Panen" bersama petani di Sidoluhur, Godean, Sleman, D.I. Yogyakarta/TRIBUN JOGJA
Klarifikasi Dahlan Iskan (DI) soal kasus sawah “fiktif” di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang mengantarnya ke kursi saksi di Bareskrim (“Gardu Dahlan (GD) 7”, Jawa Pos (JP) 1/7/15), menimbulkan pertanyaan mendasar tentang obyek kasus dugaan korupsi itu
Apakah sawah Ketapang itu “fiktif” atau “faktual” ? Dalam klarifikasinya, DI menyebut pencetakan sawah “baru”, bukan sawah “fiktif”. Berarti sawahnya faktual di lapangan.
Lantas mengapa disebut sawah “fiktif”. Lalu, jika sawah itu faktual, maka faktual yang seperti apa.
Tidak Fiktif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia fiktif berarti bersifat fiksi, hanya terdapat dalam khayalan. Jadi, jika sstilah sawah “fiktif” yang dikenakan pada kasus sawah Ketapang, berarti tidak ada sawah di sana. Benarkah begitu?
Pencetakan sawah Ketapang adalah bagian dari program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) yang dicanangkan Kementerian BUMN tahun 2011. Program ini meliputi GP3K Intensifikasi berupa peningkatan paket teknologi budidaya di areal pertanian pangan milik petani dan GP3K Ekstensifikasi berupa pencetakan sawah baru. Tujuannya mendukung peningkatan produksi pangan khususnya padi guna mencapai target surplus beras 10 juta ton tahun 2014.
Pencetakan sawah baru di Ketapang dimulai tahun 2012 sebagai proyek pertama GP3K Ekstensifikasi. Target luasnya diperkirakan 80,000-100,000 ha sampai 2014. Areal itu dirancang sebagai kebun pangan dengan sistem mekanisasi penuh.
Dalam pelaksanaannya, PT Sang Hyang Seri (SHS) sebagai penanggungjawab mengandeng sejumlah BUMN Karya yaitu PT Hutama Karya (HK) dan PT Brantas Abipraya (BA) untuk pembukaan dan pencetakan lahan, serta PT Indra Karya dan PT Yodya Karya untuk perencanaan dan pengawasan. Biaya pencetakan sawah (sekitar Rp 5 triliun) bersumber dari dana PKBL sejumlah BUMN antara lain PGN dan Pertamina.
Blok persawahan pertama seluas 3,000 ha selesai dibuka awal Desember 2012. Tanam perdana (17/12/12) untuk areal tersebut, menggunakan “mesin tanam padi”, dipimpin langsung oleh DI selaku Menteri BUMN waktu itu. tepat hari Senin, (Manufacturing Hope (MH) 57, JP 24/12/12).
Panen perdana kemudian dilaksanakan PT SHS pada Maret 2013 dengan hasil 5.25 ton/ha (MH 72, JP 8/4/13). Angka yang sangat tinggi, mengingat produktivitas panen pertama sawah baru umumnya paling tinggi 3.0 ton/ha.
Dari fakta-fakta di atas, jelas proyek sawah Ketapangtidak “fiktif”, dalam arti hanya di mulut atau di atas kertas. Seperti telah disebutkan, areal sawahnya benar-benar ada di lapangan. Penanaman perdana dilakukan DI sendiri, dan panen perdana dilakukan oleh PT SHS.
Bersamaan dengan tanam/panen di blok pertama itu, pencetakan blok-blok persawahan baru juga terus dilakukan oleh HK dan BA sampai awal 2014. Kecepatan cetak bisa mencapai 7-15 ha/hari. Sehingga menurut perkiraan tahun 2013 sudah tercetak sekitar 40,000 ha sawah baru (MH 72, JP 8/4/13).
Faktual Terbengkalai
Istilah “fiktif” tampaknya muncul karena di Ketapang kini tidak tampak hamparan sawah baru seluas 40,000 ha, apalagi 100,000 ha. Saat ini, mungkin hanya ada sawah seluas sekitar 100 ha yang ditanami oleh PT Pupuk Indonesia (PI). Berdasar keputusan DI selaku Menteri BUMN, PT PI telah mengambil-alih proyek itu dari PT SHS tahun 2013, menyusul keterpurukan PT SHS akibat mismanajemen keuangan.
Proses peralihan pengelolaan sawah dari PT SHS ke PT PI yang berlarut-larut agaknya bisa menjelaskan mengapa sawah Ketapang dikenai predikat “fiktif”. Berlangsung bulanan (2013/14) proses itu telah menyebabkan ketidak-pastian pada kelangsungan proyek penanaman/pencetakan sawah baru di Ketapang.
Proyek menjadi status quo. Terjadi gejala “kekosongan manajemen”, sehingga tak ada kegiatan signifikan di lapangan. Luas tanam merosot karena PT PIHC untuk tahap awal, hanya berani mengelola 100 ha. Akibatnya areal sawah yang sudah siap tanam (sekitar 3,000 ha) terbengkalai. Demikian pula areal yang sudah dibuka HK dan BA ikut terbengkalai menjadi semak-belukar (GD 7, JP 1/7/15).
Berarti sawah Ketapang itu sebenarnya faktual , tetapi kondisinya terbengkalai akibat proses alih-kelola yang berlarut-larut. Jika demikian, maka kasus sawah Ketapang bukanlah masalah sawah fiktif melainkan sawah terbengkalai akibat “kekosongan manajemen”. Jika Bareskrim menduga ada tindak korupsi di situ, maka itu soal lain.
Kalau benar kasusnya seperti itu, maka solusi mendasarnya jelas bukanlah tindakan hukum atas dugaan korupsi. Sebab misalkan terbukti ada yang korupsi dan dihukum, hal itu tidak akan memulihkan sawah yang terbengkalai di Ketapang.
Lebih penting dari penanganan kasus dugaan korupsi adalah pemulihan areal sawah Ketapang oleh Kementerian BUMN. Bagaimanapun, harus diakui, DI selaku Menteri BUMN waktu itu sudah mengambil langkah strategis pencetakan sawah baru, untuk mendukung langsung swasembada pangan nasional.
Langkah serupa kini dicanangkan Presiden Jokowi di Merauke, Papua. Karena itu, langkah strategis DI sebaiknya dilanjutkan Menteri BUMN Rini Soewandi. Dalam rangka kontribusi langsung BUMN pada kedaulatan pangan, Menteri BUMN dapat meminta alokasi sebagian dana cetak sawah Merauke untuk pemulihan sawah terbengkalai di Ketapang. Sebab dibanding biaya pencetakan sawah baru, biaya pemulihan sawah jelas jauh lebih murah per hektarnya. (*)