Dari fakta-fakta di atas, jelas proyek sawah Ketapangtidak “fiktif”, dalam arti hanya di mulut atau di atas kertas. Seperti telah disebutkan, areal sawahnya benar-benar ada di lapangan. Penanaman perdana dilakukan DI sendiri, dan panen perdana dilakukan oleh PT SHS.
Bersamaan dengan tanam/panen di blok pertama itu, pencetakan blok-blok persawahan baru juga terus dilakukan oleh HK dan BA sampai awal 2014. Kecepatan cetak bisa mencapai 7-15 ha/hari. Sehingga menurut perkiraan tahun 2013 sudah tercetak sekitar 40,000 ha sawah baru (MH 72, JP 8/4/13).
Faktual Terbengkalai
Istilah “fiktif” tampaknya muncul karena di Ketapang kini tidak tampak hamparan sawah baru seluas 40,000 ha, apalagi 100,000 ha. Saat ini, mungkin hanya ada sawah seluas sekitar 100 ha yang ditanami oleh PT Pupuk Indonesia (PI). Berdasar keputusan DI selaku Menteri BUMN, PT PI telah mengambil-alih proyek itu dari PT SHS tahun 2013, menyusul keterpurukan PT SHS akibat mismanajemen keuangan.
Proses peralihan pengelolaan sawah dari PT SHS ke PT PI yang berlarut-larut agaknya bisa menjelaskan mengapa sawah Ketapang dikenai predikat “fiktif”. Berlangsung bulanan (2013/14) proses itu telah menyebabkan ketidak-pastian pada kelangsungan proyek penanaman/pencetakan sawah baru di Ketapang.
Proyek menjadi status quo. Terjadi gejala “kekosongan manajemen”, sehingga tak ada kegiatan signifikan di lapangan. Luas tanam merosot karena PT PIHC untuk tahap awal, hanya berani mengelola 100 ha. Akibatnya areal sawah yang sudah siap tanam (sekitar 3,000 ha) terbengkalai. Demikian pula areal yang sudah dibuka HK dan BA ikut terbengkalai menjadi semak-belukar (GD 7, JP 1/7/15).
Berarti sawah Ketapang itu sebenarnya faktual , tetapi kondisinya terbengkalai akibat proses alih-kelola yang berlarut-larut. Jika demikian, maka kasus sawah Ketapang bukanlah masalah sawah fiktif melainkan sawah terbengkalai akibat “kekosongan manajemen”. Jika Bareskrim menduga ada tindak korupsi di situ, maka itu soal lain.
Kalau benar kasusnya seperti itu, maka solusi mendasarnya jelas bukanlah tindakan hukum atas dugaan korupsi. Sebab misalkan terbukti ada yang korupsi dan dihukum, hal itu tidak akan memulihkan sawah yang terbengkalai di Ketapang.
Lebih penting dari penanganan kasus dugaan korupsi adalah pemulihan areal sawah Ketapang oleh Kementerian BUMN. Bagaimanapun, harus diakui, DI selaku Menteri BUMN waktu itu sudah mengambil langkah strategis pencetakan sawah baru, untuk mendukung langsung swasembada pangan nasional.
Langkah serupa kini dicanangkan Presiden Jokowi di Merauke, Papua. Karena itu, langkah strategis DI sebaiknya dilanjutkan Menteri BUMN Rini Soewandi. Dalam rangka kontribusi langsung BUMN pada kedaulatan pangan, Menteri BUMN dapat meminta alokasi sebagian dana cetak sawah Merauke untuk pemulihan sawah terbengkalai di Ketapang. Sebab dibanding biaya pencetakan sawah baru, biaya pemulihan sawah jelas jauh lebih murah per hektarnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H