Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksploitasi Solidaritas Sosial

30 Juni 2015   18:23 Diperbarui: 30 Juni 2015   18:23 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jagad media sosial, setidaknya di Surabaya dan sekitarnya, baru saja diramaikan kisah Kakek “Winnie the Pooh” Suaedi di Sidoarjo, Jawa Timur.

Awalnya adalah reportase radio Suara Surabaya yang mengisahkan nasib “malang” Suaedi lewat fans page FB. Dikisahkan, berdasar pengakuannya, Suaedi (70) berasal dari Driyorejo-Gresik, miskin, stroke, dan sebatang kara. Sehari-hari dia mencari nafkah di jalanan Sidoarjo, sebagai badut dalam kostum beruang Winnie the Pooh. Kisah ini mengundang simpati/empati dari ratusan ribu netizen.

Tapi kisah itu berubah menjadi polemik di media sosial ketika Dinsosnakertrans Sidoarjo, yang bermaksud membantu, mengungkap jatidiri Suaedi. Dia ternyata berasal dari Mojokerto, punya 7 orang isteri dan 5 orang anak, tidak stroke, membadut dikawal isteri, penghasilan Rp 500,000/hari (Rp 15 juta/bulan), dan punya rumah bagus serta 2 unit sepeda motor.

Kisah Suaedi sejatinya cuma satu kasus dalam sebuah gejala sosial besar yang disebut eksploitasi solidaritas sosial. Lakonnya disebut “pencitraan” untuk meraih simpati/empati demi keuntungan sendiri. Lancas seperti apakah gejala itu dan bagaimana solusinya?

Solidaritas Mekanis

Solidaritas, mekanis ataupun organis (E. Durkheim), adalah sumberdaya sosial yang dapat didayagunakan untuk kepentingan bersama atau pribadi.

Solidaritas mekanis adalah kesaling-pedulian karena homogenitas sosial. Misalnya senasib, sekampung, segolongan, dan seprofesi. Yang dieksploitasi di situ adalah sentimen sosial. Bentuk solidaritas ini lazimnya berlaku dalam masyarakat pertanian di pedesaan. Manifestasinya terutama adalah tolong-menolong dan gotong-royong.

Dalam skala nasional gejala solidaritas mekanis tampil dalam bentuk gerakan penggalangan bantuan untuk satu atau sekelompok orang yang mengalami ketak-beruntungan. Misalnya gerakan “Coin for X” atau “Sumbangan untuk Y”.

Solidaritas organis sebaliknya adalah kesaling-pedulian karena heterogenitas sosial, misalnya beda profesi. Yang dieksploitasi di situ adalah interes pribadi. Bentuk solidaritas ini adalah konsekuensi pembagian kerja dalam masyarakat industrial di perkotaan. Manifestasinya adalah transaksi, khususnya jual-beli barang/ jasa, demi pemenuhan kepentingan pribadi.

Dalam kasus Suaedi, yang diekploitasi adalah sumberdaya solidaritas mekanis dalam masyarakat perkotaan. Ini berkait dengan fakta memudarnya solidaritas mekanis di pedesaan akibat penetrasi kapitalisme yang semakin dalam. Pada saat bersamaan, karena arus migrasi dari desa, di perkotaan terbentuk masyarakat “pra-kota”. Masyarakat ini masih memegang kultur desa antara lain nilai solidaritas mekanis. Kondisi ini lantas menyediakan ruang eksploitasi sentimen sosial demi kepentingan pribadi di perkotaan.

Suaedi, serta orang-orang setipe, kemudian mengeksploitasi ruang itu melalui pencitraan diri sebagai “korban pembangunan”. Dia mengulik sentimen sosial warga “pra-kota” sebagai sesama “orang yang terpinggirkan”. Hasilnya terbitlah solidaritas sosial mekanis dalam wujud “sedekah”, senilai Rp 15 juta/bulan untuk kasus Suaedi.

Penyimpangan Sosial

Sepintas, lakon Suaedi terkesan wajar. Tapi sebenarnya eksploitasi solidaritas mekanis adalah penyimpangan sosial. Lazimnya wujud solidaritas mekanis adalah pranata sosial hasil kesepakatan bersama, misalnya tolong-menolong dan gotong-royong, yang adil terhadap semua pihak. Lakon Suaedi menyimpang karena dia mengekploitasi sumberdaya solidaritas semata-mata demi keuntungan pribadi.

Di dasarnya, eksploitasi solidaritas sosial seperti yang dilakukan Suaedi sebenarnya menciptakan “ketakadilan”. Sebab dia mendapatkan uang dari seseorang tanpa imbalan apapun pada orang tersebut. Uang digunakan untuk menyejahterakan dirinya, sementara pemberi uang tak mendapat manfaat setimpal.

Ketidakadilan juga terbaca saat membanding “penghasilan” Suaedi dengan buruh industri yang bekerja keras secara fair minimal 8 jam/hari. Penerimaan Rp 15 juta/bulan, hasil eksploitasi solidaritas, sangat jauh di atas UMR Surabaya (Rp 2,588,000/bln) atau bahkan Jakarta (Rp 2,700,000/bln) tahun 2015.

Lakon ekploitasi bermodus pencitraan semacam Suaedi adalah penyakit sosial yang harus diberantas. Bukan saja karena menghasilkan “ketidakadilan”, tetapi juga karena tak berkontribusi positif terhadap perkembangan sosial-ekonomi masyarakat.

Penyakit sosial semacam itu sudah menggejala di sekitar kita. Citra “korban” atau “orang malang”, setiap hari dipanggungkan di berbagai tempat dan waktu. Ada misalnya lakon pengemis “cacat”, balita “terlantar”, pengamen “putus sekolah”, dan pendatang “kecopetan”. Semua itu adalah pemanggungan sebuah citra untuk eksploitasi sumberdaya solidaritas mekanis, demi mendapatkan simpati/empati dalam bentuk uang.

Untuk sebagian besar, timbulnya penyakit eksploitasi solidaritas itu dapat diterangkan sebagai kegagalan kelembagaan pengendalian sosial oleh pemerintah dan pengawasan sosial oleh masyarakat. Karena itu, upaya penyembuhannya mempersyaratkan pendaya-gunaan kelembagan sosial tersebut.

Pertama, pemerintah daerah/kota yang bertanggungjawab atas nasib golongan “penyandang masalah kesejahteraan sosial” (PMKS) harus memiliki dan melaksanakan peraturan (Perda) pengendalian PMKS. Perda itu harus menetapkan semua bentuk aktivitas eksploitasi solidaritas mekanis di ruang publik sebagai pelanggaran hukum dan mengharuskan pemerintah daerah/kota mengendalikan pelakunya, mlai dari cara pemberdayaan sampai penghukuman.

Kedua, masyarakat pada saat bersamaan menjalankan fungsi pengawasan sosial. Caranya dengan memobilisasi potensi solidaritas mekanis melalui jalur lembaga kesejahteraan sosial yang sudah eksis dalam masyarakat, misalnya BAZIS dan LSM berbasis komunitas. Intinya warga diarahkan bersedekah melalui lembaga kesejahteraan yang terpercaya, sementara lembaga tersebut pro-aktif memberdayakan PMKS dengan menariknya dari ruang publik.

Tentu dalam penanganan PMKS itu harus terbangun sinergi antara pengendalian sosial oleh pemerintah dan pengawasan sosial oleh masyarakat. Dengan cara demikian, penyakit eksploitasi solidaritas itu niscaya dapat disembuhkan.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun