Tol Cipali bisa menjadi ancaman untuk pencapaian swasembada beras nasional. Ini pernyataan serius, bukan kalimat pembuka "Humor Revolusi Mental". Ada penjelasannya, berdasar fakta empiris.
Perhatikanlah kiri-kanan jalan saat melintas di ruas tol Jagorawi, Cikampek, dan Merak. Penuh dengan klaster-klaster perumahan, industri, dan "kota mandiri", bukan?
Tadinya kiri-kanan ruas-ruas tol itu relatif kosong. Hanya ada areal pertanian dan pemukiman penduduk setempat.
Tapi, akibat daya dukung kota- kota di ujung tol (Jabotabek) sudah mencapai titik jenuh, maka terjadi relokasi dan pengembangan industri ke pinggiran.
Perkembangan ini diikuti oleh pertumbuhan klaster-klaster pemukiman baru di lokasi berdekatan. Kawasan kiri- kanan ruas tol adalah pilihan utama lokasi pengembangan industri dan pemukiman tersebut.
Gejala tersebut disebut sebagai aglomerasi, yaitu pemusatan industri dan pemukiman ke wilayah tertentu.
Dampak aglomerasi ini adalah konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan pemukiman di satu sisi. Dan mengaburnya batas geografis desa- kota dan antarkota di lain sisi. Jabotabek secara geografis menyatu membentuk sebuah "kota raksasa".
Ruas tol Cipali untuk sebagian membelah bentang alam persawahan di jalur pantai utara (pantura) Jawa Barat. Mulai dari Purwakarta, Subang, Indramayu, Majalengka, sampai Cirebon.
Sekarang areal persawahan itu masih aman. Tapi dalam dua tahun ke depan, peningkatan kepadatan industri dan penduduk di Cikampek dan Cirebon, akan menuntut pengembangan lokasi industri dan pemukiman baru.
Untuk keperluan itu, kalangan industri dan pengembang pasti akan melirik kawasan kiri-kanan ruas tol Cipali sebagai lokasi strategis. Khususnya dinilai dari sisi kemudahan akses transportasi.
Maka, jika tak dikendalikan, kawasan persawahan sepanjang jalur tol Cipali akan dikonversi menjadi kawasan industri dan pemukiman. Luas sawah di wilayah pantura Jawa Barat, yang tergolong terbaik di Indonesia, akan berkurang secara signifikan. Akibatnya, produksi beras Akan menurun, sehingga swasembada beras terancam gagal.
Situasinya bisa lebih buruk lagi jika Bandara Internasional Kalijati, Majalengka dan pelabuhan Laut Karawang/Subang sudah terealisasi. Laju konversi sawah untuk industri, pemukiman, dan perkantoran akan meningkat drastis. Bila sudah begitu, maka predikat pantura Jabar sebagai “lumbung beras nasional” bisa-bisa tinggal nama.
Tapi ada satu cara untuk mencegah hal itu terjadi. Sesuai dengan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Presiden Jokowi dapat segera mengeluarkan sebuah Kepres yang menetapkan areal sawah sepanjang ruas jalan tol, termasuk ruas Cipali, adalah lahan pertanian berkelanjutan yang tidak boleh dikonversi urntuk peruntukan apapun.
Jika Presiden Jokowi menerbitkan Kepres tersebut, maka areal persawahan sepanjang Cipali niscaya aman. Dengan begitu jalur pantura Jawa Barat tetap menjadi lumbung beras. Demikian pula, target swasembada beras Akan dapat dicapai.*(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H