Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Skripsi Hanya Untuk Ilmuwan

25 Mei 2015   10:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:38 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita simak dulu perkiraan-perkiraan berikut.

Mungkin hanya sekitar 1,0 persen skripsi Sarjana 1 (S1) di Indonesia ini yang dapat diaplikasikan di bidang teknologi, ekonomi, politik, dan sosial-budaya.

Lalu mungkin hanya sekitar 5,0 persen yang dirujuk secara serius oleh mahasiswa atau periset berikutnya.

Lantas, diperkirakan sekitar 50 persen dari skripsi itu merupakan karya plagiasi dalam berbagai tingkatkan.Mulai dari level pencurian “satu kalimat” sampai “satu naskah”.Termasuk disini skripsi “pesanan” (dari tukang skripsi).

Mungkin sekitar 90 persen dari skripsi yang ada di Indonesia tak pernah dibaca lagi.Hanya mengisi meteran rak buku di perpustakaan Perguruan Tinggi (PT).

Mungkin, yang paling sering membaca skripsi itu adalah penulisnya sendiri.Itupun hanya saat penyusunan dan beberapa saat setelah lulus.Setelah itu lupa. Skripsi itu ditulis sendiri, dijilid sendiri, dibaca sendiri, dan setelah itu dilupakan sendiri.

Saya kira, perkiraan-perkiraan di ataslah yang mendorong Menristekdikti M. Nasir baru-baru ini untuk menjadikan skripsi di PT opsional.Tentu Kantor Menristekdikti punya data lebih akurat.Angka-angka di atas cuma perkiraan saya saja (memang ini termasuk metode juga, tapi harus ditanyakan pada sejumlah pakar, namanya metode opini pakar).

Intinya, kata Pak Menristekdikti, skripsi itu menjadi salah satu opsi syarat kelulusan saja.Daripada ngaco pesan skripsi ke tukang skripsi, atau jadi plagiat, beri saja opsi lain, yaitu kerja pengabdian masyarakat (praktek lapang), atau riset laboratorium (tentu harus ada juga laporannya sebagai bentuk pertanggungjawaban).

Great! Ide Pak Menteri itu realistis.Sebab tidak semua sarjana hendak menjadi ilmuwan bukan?Ada juga yang mau jadi professional di perusahaan (karena itu praktek kerja di perusahaan saja).Ada yang mau jadi politisi/pemerintah (karena itu praktek di DPR atau lembaga pemerintah saja).Ada yang mau jadi professional LSM (silahkan praktek lapang di LSM).

Kalau mau jadi ilmuwan? Ya, pilih skripsi atau riset laboratorium.Tak lain karena penelitian skripsi dan riset laboratorium menerapkan metode dan teknik penelitian ilmiah secara ketat.

Kita realistis saja, tak semua mahasiswa mampu menjalaninya, kendati sudah kuliah selama 8 semester.Asal tahu saja, skripsi itu adalah kemampuan akademik yang diiperoleh selama 4 tahun yang dimampatkan dalam sebuah naskah setebal seratusan halaman.Berat, bukan?

Karena itu, sarjana jalur skripsi/laboratorium harus berdasar seleksi dan penetapan dari PT.Mahasiswa bisa usul ikut jalur itu, tapi PT yang menentukan apakah mereka layak atau tidak menempuh jalur itu.Dengan cara ini, sarjana jalur skripsi/laboratorium bisa dipangkas sampai sekitar 15 persen saja dari jumlah mahasiswa.

Tapi, tentu saja ada konsekuensi dari pilihan atas jalur-jalur kelulusan itu.Hanya sarjana jalur skripsi/laboratorium yang booleh melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan S3 bidang sains.Merekalah yang berpeluang untuk menjadi ilmuwan/peneliti.

Sedangkan sarjana jalur pengabdian masayarakat/praktek lapang?Tenang.Ada jenjang S2 dan S3 profesional, bukan?Mereka bisa melanjutkan pendidikan di sana.

Apakah kebijakan itu akan menghilangkan masalah skripsi abal-abal?Tentu saja tidak.Selalu akan ada mahasiswa bermental penerabas.Dan selalu akan ada tukang skripsi yang melayani mereka demi uang.Di sinilah pentingnya peran kontrol dari PT.Kalau sudah ditetapkan jalur skripsi/laboratorium hanya 15 persen, dan masih ada yang ngaco menerabas, maka PT-nya harus dipersalahkan.

Jadi, tak usah sewat dengan gagasan Pak Menteri M. Nasir.Itu gagasan realistis dan bagus.Lagi pula nilai unggul yang menjadi pembeda seorang sarjana dari non-sarjana adalah kemampuannya logikanya dalam analisis dan solusi masalah.Dan itu bisa didapat dari jalur skripsi, laboratorium, maupun pengabdian masyarakat/praktek lapang.

Jangan terlalu memaksakan diri untuk bikin skripsi kalau itu membuat kita jadi curang.Lagi pula, kebanyakan dari sarjana pada akhirnya tak peduli lagi pada skripsinya.So, why so serious? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun