Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Menpora Melawan "Negara Federasi" FIFA [Demi Sepak Bola Indonesia]

11 Mei 2015   13:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Pro-kontra pembekuan PSSI oleh Menpora Imam Nachrowi tak akan berujung pada sebuah titik temu. Soalnya masing-masing pihak berangkat dari titik tolak yang beda.

Pihak “pro” berangkat dari kerangka nasionalisme: organisasi apa pun di Indonesia, terutama jika menggunakan nama “Indonesia” seperti PSSI, harus tunduk pada hukum dan pemerintah Indonesia.

Pihak “kontra” berangkat dari kerangka internasionalisme: organisasi internasional, seperti PSSI, hanya tunduk pada hukum dan pemerintah internasional, yaitu FIFA dalam kasus PSSI.

Jadi, dalam kasus pembekuan PSSI ini, Menpora sebenarnya sedang melawan “negara” FIFA, sedangkan PSSI berlindung di bawah “pemerintah” FIFA.

Dalam konteks itulah sebaiknya kita memberikan penilaian terhadap langkah-langkah Menpora di satu pihak, dan PSSI di lain pihak.

Maka, sembari nuwun sewu pada para mbaureksa kanal Olahraga, yaitu Pak Ahmad Suwefi dkk., ijinkan saya menyampaikan pandangan saya soal kisruh Menpora vs PSSI ini.

“Negara Federasi” FIFA

FIFA adalah sebuah “negara federasi” skala internasional. “Negara bagian”-nya adalah federasi-federasi sepak bola di negara-negara anggota FIFA.

Presiden “negara federasi” FIFA, sampai sekarang adalah Sepp Blatter. Sedangkan ketua-ketua federasi sepak bola di negara-negara anggotanya adalah “gubernur negara bagian”.

Negara federasi FIFA ini punya Statuta FIFA sebagai “undang-undang dasar” . Setiap “negara bagian”, seperti PSSI misalnya, tunduk dan bernaung pada Statuta FIFA itu.

Dalam konteks “negara federasi “ FIFA itulah pernyataan La Nyala, ketua PSSI, bahwa PSSI hanya tunduk pada FIFA harus dipahami. Statuta PSSI memang diturunkan dari Statuta FIFA, bukan dari Pancasila dan UUD 1945. Jadi, wajar kalau La Nyala berpikir PSSI tak tunduk pada UUD 1945.

Bagi Menpora, tidak masuk akal kalau ada organisasi seperti PSSI yang berkedudukan di Indonesia, menggunakan fasilitas dari pemerintah Indonesia, dan mendapat dukungan dana dari pemerintah Indonesia menyatakan diri tidak tunduk kepada UUD 1945.

Menpora menilai “negara bagian” PSSI tidak membawa kemajuan melainkan kemandegan dan kekisruhan pada persepakbolaan nasional, yang merupakan tanggung jawabnya. Maka, sebagai bagian solusi, PSSI harus dibekukan, lalu dibentuk Tim Transisi untuk mengambil-alih piñata-laksanaan persepakbolaan nasional.

“Negara Bagian” PSSI sebagai “Pinggiran dari Pinggiran”

Pertanyaannya, mengapa persepakbolaan nasional tak maju-maju di bawah “pemerintahan” PSSI?

Masalah ini bisa dijelaskan dengan menganalisis struktur “negara federasi” FIFA. “Negara-negara bagian” FIFA itu bisa dipilah ke dalam lapisan-lapisan struktural sebagai berikut. (Bisa disusun berdasar a.l. peringkat FIFA).

Di lapis teratas ada “negara-negara pusat” (center) seperti Inggris, Spanyol, Portugal, Jerman, Italia, Brasil, dan Argentina.

Selapis di bawahnya ada “negara-negara pinggiran pusat” (periphery of center) seperti Belanda, Denmark, Turki, Uruguay, Mexico, Korsel, dan Jepang.

Lapis ketiga adalah “negara-negara pinggiran” (periphery) seperti UEA, Iran, dan China.

Lapis keempat, paling rendah, adalah “negara-negara pinggiran dari pinggiran” (periphery of periphery) seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan sudah pasti Indonesia.

Asal tahu saja, dalam konstelasi negara-negara di dunia, negara-negara pinggiran dari pinggiran itu adalah negara-negara terbelakang. Ciri khasnya: pemimpinnya otoriter, represif,dan koruptif, sementara rakyatnya miskin dan tertekan. Ini “sindrom” negara terbelakang.

Dalam organisasi federasi sepak bola “sindrom” negara terbelakang itu juga terjadi: pengurus federasi otoriter, represif, dan koruptif, sementara pemain sepak bolanya miskin, bahkan ada yang tak mendapat hak penghasilannya.

Menpora agaknya menilai, bahwa sebagai “negara pinggiran dari pinggiran”, PSSI itu mengidap sindrom “negara terbelakang’ tersebut. Dengan kondisi seperti itu, mustahil tercapai kemajuan sepak bola nasional. Karena itu harus ada “revolusi PSSI”, dan langkah pertama revolusi itu adalah membekukan PSSI, dan membentuk Tim Transisi.

Mau “Maju” atau tetap “Terbelakang”?

Kepatuhan “negara bagian” PSSI kepada kepada “negara federasi” FIFA, sejauh ini tidak membuahkan prestasi apa pun, kecuali kekalahan tim sepak bola nasional hampir di semuaevent internasional. Dengan kata lain, sepak bola kita tetap “terbelakang”, atau bahkan mungkin “mundur” jika dibanding negara tetangga.

Menpora agaknya beranggapan bahwa persepakbolaan nasional hanya dapat dimajukan melalui perombakan organisasi PSSI. Maka PSSI yang sekarang ini dibekukan, karena sudah lebih sibuk dengan dirinya sendiri, ketimbang mengurus sepak bola nasional. Tujuan akhirnya, setelah Tim Transisi, akan terbentuk PSSI baru yang profesional, dengan “road map” yang progresif.

Niat Menpora tidak buruk. Tapi memang berdampak buruk pada rejeki sejumlah penguasa “negara bagian” PSSI. Jadi, marilah kita lihat persoalan ini secara objektif. Mau memajukan sepak bola nasional, atau membiarkannya tetap terbelakang?

Bukankah sebaiknya PSSI La Nyalla “kooperatif” terhadap Menpora, demi kebaikan sepak bola nasional? Bukannya meminjam tangan pemerintah pusat negara federasi FIFA untuk menekan Menpora atau Indonesia. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun