Lawan berperkara Nenek Asyani, tersangka pencuri kayu jati “milik” PT Perhutani, di Situbondo secara tak langsung sebenarnya adalah Presiden Jokowi.
Alasannya, Direksi PT Perhutani yang berperkara dengan Nenek Asyani adalah bawahan langsung Menteri BUMN, dan Menteri BUMN adalah bawahan langsung Presiden Jokowi.
Hari ini, Kamis 23/4/2015, perkara Nenek Asyani akan diputus. Vonis akan dibacakan hakim.Nenek Asyani mungkin kalah, mungkin juga menang.
Tapi, siapapun yang menang, harus ada langkah solutif tingkat nasional dari Presiden Jokowi agar tidak terus-menerus bersengketa atau berperkara dengan rakyatnya sendiri.
Solusi nasional itu sangat mendesak. Soalnya perkara “Nenek Asyani” hanyalah butir kecil di pucuk “gunung es” sengketa agraria di Indonesia. Dan puncak gunung itu akan tambah tinggi, jika tak ada solusi efektif dari pemerintah.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan sepanjang 2004-2014 telah terjadi 1.391 kasus sengketa agraria di Indonesia. Tak satupun yang sudah terselesaikan.
Sengketa itu menyangkut 5.711.396 ha tanah dan melibatkan 926.700 kepala keluarga (KK).Korbannya tercatat 1.354 orang warga ditahan, 553 orang luka-luka, 110 orang tertembak peluru aparat, dan 70 orang tewas.
Dirinci menurut sektor, angka sengketa tertinggi terjadi di perkebunan (536 kasus),infrastruktur (515 kasus), dan kehutanan (140 kasus). Sisanya di sektor pertambangan (90 kasus), pertanian (23 kasus), dan pesisir-kelautan (6 kasus).
Sengketa di sektor perkebunan dan kehutanan untuk sebagian besar melibatkan BUMN perkebunan dan BUMN kehutanan. Artinya masih banyak sengketa antara Presiden Jokowi vs Rakyat yang belum terselesaikan.
Alangkah eloknya jika Presiden Jokowi segera merumuskan sebuah resolusi sengketa agraria nasional. Terutama sengketa antara Negara (BUMN dan instansi pemerintah lainnya) dan Rakyat (umumnya petani).
Resolusi itu dapat ditempatkan sebagai kegiatan inti dalam program “Penggunaan Tanah sebagai Alat Rekonsiliasi Sosial”. Ini salah satu program prioritas Kementerian ATR, seperti dipaparkan Menteri Ferry M. Baldan kepada Komisi I DPR RI (12/11/2014).
Mungkin tiga langkah resolutif berikut bisa dipertimbangkan.
Pertama, pemerintah menetapkan dan melaksanakan moratorium terhadap seluruh persidangan sengketa agraria yang sedang berlangsung, khususnya sengketa antara Negara dan Rakyat.
Kedua, melakukan pemetaaan-ulang terhadap seluruh sengketa agraria khususnya antara Negara dan Rakyat. Untuk menghindari bias kepentingan, maka pemetaan-ulang harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan seluruh stakeholder terkait terutama warga yang bersengketa.
Ketiga, berdasarkan hasil pemetaan-ulang partisipatif tersebut, kemudian melaksanakan resolusi konflik pertanahan dengan prinsip win-win solution di luar pengadilan, sehingga kecenderungan “kriminalisasi” rakyat dapat dihentikan.
Tentu saja proses resolusi konflik itu akan memakan waktu tahunan. Tapi memulai proses itu mulai tahun ini jauh lebih baik ketimbang rekonsiliasi agraria a’la Presiden SBY, yang dijanjikan tahun 2004 tapi tak ada realisasinya hingga 2014.
Kecuali Presiden Jokowi ingin meniru Presiden SBY untuk semakin menumpuk sengketa dengan rakyat sendiri. Pikirnya, mungkin, asalkan tak bersengketa dengan para ketua partai pendukung saja.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H