Sampah, sampah, sampah!Itu trending topic Kompasiana dua minggu terakhir ini.Yang sedang diributkan adalah timbunan “artikel sampah” di Kompasiana.
Fandi Sido, Febriano Bagindo, Gatot Swandito, Gunawan, Den Baghoese, Pakde Kartono, Mike Reyssent, dan Dewi Pagiadalah sejumlah nama yang sempat saya baca artikelnya soal “sampah” itu.
Dengan artikel ini, saya hendak bergabung dengan mereka bicara soal “sampah” di Kompasiana.
Cari Sampah, Tak Ketemu
Terprovokasi oleh artikel-artikel itu saya coba mengais-ngais Kompasiana demi sepotong “sampah”.Sampai ujung jari saya pegal, dan mata berair memelototi layar monitor komputer, tak berhasil juga saya temukan barang sebiji “artikel sampah”.
Setelah agak frustasi karena gagal menemukan “artikel sampah”, barulah saya teringat akan butir-butir “Ketentuan Konten” Kompasiana.Pantesan!Biar sampai kencing kapur juga, tak bakalan ketemu itu yang namanya “artikel sampah” di Kompasiana.
Sebabnya, secara objektif, kriteria “artikel sampah” Kompasiana adalah “bila terbukti melanggar butir-butir Ketentuan Konten”.Jadi, kalau ada yang buang “artikel sampah” ke Kompasiana, maka Mas/Mbak Admin dengan sigap akan memungut dan memasukkannya ke “tong sampah”, tempat yang semestinya.
Ukuran Subyektif
Lalu mengapa ada Kompasianer yang menyebut ada tumpukan “artikel sampah” di Kompasiana?Apa ukurannya?Oh, tak perlu pusing, dia atau mereka menggunakan ukuran subyektif.Jadi, sebuah artikel tergolong “sampah”, itu penilaian subyektifnya saja.
Contohnya, jika ada artikel yangkatanya cuma make-over atau creative copy-paste artikel yang ada di Kompas.com, tapi lalu diganjar TA atau HL di Kompasiana, maka itu tergolong “sampah”.Mungkin, maksudnya, tak punya nilai “kebaruan”, karena sudah ada di tempat lain.
Contoh lain, jika ada artikel yang Cuma sekadar “curhat”, maka itu dianggap “sampah”, tak bermutu, cuma bikin Kompasiana sesak saja.Contoh lain, cari saja sendiri, dengan merujuk kriteria subyektif mereka.
Kekerasan terhadap Kreativitas
Menilai sebuah artikel yang lolos tayang di Kompasiana sebagai “sampah”, menurut saya termasuk bentuk “kekerasan” terhadap kreativitas.Mengapa?
Begini.Rentang kemampuan menulis Kompasianer itu sangat lebar.Mulai dari tipe Kompasianer yang harus puasa bicara dari pukul 06.00 pagi sampai pukul 18.00 sore tepat saat ia menemukan huruf pertama untuk kata pertama dalam artikel yang akan dibuatnya.Sampai tipe Kompasianer yang sudah tahu huruf terakhir untuk kata terakhir dalam artikelnya sehari sebelum ia benar-benar menulis artikel itu.
Sekarang saya mau bertanya:Adilkah jika Kompasianer tipe tersebut terakhir ini menilai artikel yang diproduksi Kompasianer tipe tersebut pertama sebagai "sampah"?Saya jawab sendiri:Tidak adil!Mengapa?
Jawabnya, pertama, karena Kompasianer tipe tersebut pertama sudah mengupayakan segenap kemampuannya untuk menghasilkan sebuah artikel “terbaik” sesuai tingkat kreativitasnya saat itu. Tapi lantas, kedua, Kompasianer tipe kedua dengan menggunakan ukuran-ukuran subyektifnya menilai “sampah” artikel tersebut.
Bagaimanapun, tak adil menggunakan ukuran celana kita untuk mengukur celana orang lain bukan?
Membaca dengan Empati
Jika kita membaca artikel seorang Kompasianer dengan empati, maka nilai atau vonis “sampah” itu niscaya tidak akan muncul.
Saya beri contoh.Tahun lalu tiba-tiba muncul sejumlah artikel tentang pengalaman mengikuti pelajaran Sosiologi di SMA, yang ditulis oleh sejumlah murid Kelas 2 sebuah SMA di Bekasi.Ditilik secara obyektif, berdasar kaidah Bahasa Indonesia “Yang Baik dan Benar”, semua artikel itu tergolong amburadul.Apakah karena itu artikel-artikel tersebut lalu tergolong “sampah’?Jawabnya:Tidak!
Bagi saya, yang membacanya sambil berempati ke masa SMA, artikel-artikel itu sangat bernilai.Saya bisa menangkap penilaian jujur dari para siswa SMA itu tentang mata pelajaran Sosiologi, dan juga guru Sosiologi.Bagi saya, dan saya harap juga gurunya dan para penulis buku “Sosiologi untuk SMA”, artikel-artikel itu bisa menjadi masukan berharga tentang bagaimana sebaiknya buku teks Sosiologi ditulis dan bagaimana sebaiknya materi itu diajarkan.Untuk tingkat kemampuan dan kreativitas para siswa itu, bagi saya, artikel-artikel mereka sungguh mencerahkan, disamping juga menghibur.
Intinya, saya mau katakan, semua Kompasianer adalah “saudara sekeluarga besar”.Karena itu, alangkah baiknya jika Kompasianer “mumpuni” tidak menghakimi karya para Kompasianer “pemula”, tapi menyemangatinya untuk berkarya lebih baik lagi.
Atau, sekurangnya seperti kata nenek saya, “Kalau kamu tidak bisa berbicara tentang kebaikan saudaramu, lebih baik kamu diam saja!”
Ingatlah selalu, yang membesarkan Kompasiana bukan hanya penulis-penulis “hebat” (jika benar mereka hebat), melainkan Kompasianer semua tanpa pandang bulu.Kompasianer datang dan pergi, tapi Kompasiana tetap tegak berdiri!(*)
NB: Artikel ini didisain untuk HL atau TA, tapi kalau tidak juga, tak masalah, dunia masih lebar, waktu masih panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H