Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beginilah Komoditisasi Ritus Pernikahan

20 Oktober 2014   14:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:24 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan Bupati (Perbub) Lombok Timur (No. 26/2014), yang menetapkan pungutan sebesar Rp 1 juta bagi Pegawai negeri (PNS) yang hendak berpoligami, sebaiknya dilihat sebagai puncak gunung es gejala komoditisasi ritus pernikahan. Disebut gunung es, karena kita umumnya tahu gejala itu ada, tapi tidak pernah melihatnya secara lengkap.

Bupati Lombok TimurH.M. Ali bin Dachlanhanyalah satu dari kita umat yang yang terseret ke dalam pusaran komoditisasi ritus pernikahan.Ia memperlakukan pernikahan poligamis sebagai komoditas, lalu mengenakan pungutan atasnya, menjadikannya sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Secara sosiologis, menarik untuk membahas mengapa gejala komoditisasi ritus pernikahan terjadi, dan apa implikasinya pada makna ritus pernikahan itu sendiri?

Proses Komoditisasi

Dalam masyarakat kita, ritus pernikahan sejatinya hanyalah salah satu dari banyak ritus peralihan dalam hidup seseorang sejak lahir sampai mati.

Biaya pelaksanaannya, lazimnya berupa pesta, adalah biaya sosial yang sudah diperhitungkan.Keluarannya bukan laba finansil seperti dalam bisnis.Tapi manfaat sosial berupakepuasan sosial-budaya dan religi, karena berhasil menunaikan salah satu ritus penting dalam kehidupan.Kalau ada penghargaan dalam ragam bentuk dari undangan (keluarga, tetangga, relasi), itu adalah bonus sosial.

Tapi, pada dekade1980 gejala komersialisasi berikut pragmatisme semakinmerasuk dalamkehidupan sosial terutama di perkotaan. Solidaritas antar kerabat/tetangga semakin memudar.Semua jasa ada harganya, dan menjadi transaksional.Termasuk jasa dalam rangka pelaksanaan ritus pernikahan.

Karena itu, orang mulai berhitung biaya dan keluaran ritus pernikahan.Tuan rumah, pelaku ritus, mulai berpikir tentang titik-impas, atau syukur-syukur surplus.

Gejala komoditisasi ritus pernikahanpunmulainyata, terutama dalam masyarakat perkotaan.Di kartu undangan diterakan memo: “Kami sangat berterimakasih apabila tanda mata tidak berupa kado barang”.Maksudnya jelas, undangan diminta memberikan “mentahan”, uang atau cek dalam amplop.

Selanjutnya, merebak gejala publikisasi fungsi-fungsi domestik dalam ritus pernikahan.Sebelumnya jamuan dan acara ditangani langsung dalam lingkaran domestik, oleh keluarga besar dan tetangga dekat mempelai.Sekarang urusan itu diserahkan kepada sektor public, yaitu perusahaan catering dan/atauwedding organizer (WO).

Maka, ritus pernikahan kini menjadi sebuah industri kreatif yang tumbuh pesat.Ia lantas bermetamorfosis darisejatinya peristiwa budaya/religi menjadi komoditas.Ritus pernikahan kini dikemas menjadi paket-paket pesta nikah dengan nilai harga tertentu yang ditawarkan oleh WO, mulai dari paket regular sampai royal.Kita lalu menyaksikan gejala fabrikasi ritus pernikahan.Sama pola dasarnya, hanya beda tingkat sofistikasi, seturut tingkat harga.

Perkembangan terakhir adalah menjual ritus pernikahan kepada stasiun TV.Ini terjadi terutama di lingkungan pesohor kelas atas, khususnya yang memiliki riwayat percintaan kontrovesial. Ritus pernikahan pesohor semacam itu dinilai memiliki nilai jual tinggi di TV. Rating-nya pasti tinggi, sehingga akan menangguk untung dari banjir iklan sponsor.Bisa dibayangkan, seberapa besar perolehan fee sang mempelai dari siaran itu.

Gejala komoditisasi ritus pernikahan itu bersifat masif, tidak saja di perkotaan, tapi juga mulai menjalar ke pedesaan.Karena itu, tidak perlu heran kalau ada bupati “menjual” ijin poligami Rp 1 juta per lembar.Ritus pernikahan kini adalah komoditas, sumber rejeki yang halal dan legal.

Gejala Desakralisasi?

Kadar kesakralan sebuah ritus pernikahan memang terpulang pada subjektivitas mempelai dan keluarganya.Namun, secara obyektif, tak bisa dipungkiri adanya gejala desakralisasi.Ketika ritus pernikahan menjadi komoditas, maka pada akhirnya yang diukur adalah makna ekonomi yaitu nilai jual.Nilai kesakralan, juga kepuasan sosial budaya, menjadi nomor dua.

Kini, kalau orang pergi ke pesta pernikahan, maka yang pertama dinilai adalah mewah atau tidak.Bukan sakral atau tidak.Ritual keagamaan ataupun adat pernikahan memang dilakukan lengkap.Tapi undangan cenderung tidak melihatnya sebagai peristiwa keagamaan atau budaya yang sakral, melainkan sebuah pertunjukan seni-budaya nikah.

Gejala desakralisasi itu, untuk sebagian, sudah tercermin dari riwayat nasib pernikahan sejumlah pesohor .Hanya berselang hitungan bulan, atau satu dua tahun setelah menjalani ritus pernikahan mewah yang disaksikan jutaan pasang mata pemirsa TV, sudah muncul berita pisah ranjang atau perceraian.Seolah-olah menikah adalah membeli komoditas, dan kemudian membuangnya setelah bosan, tak peduli semahal apa harganya. Sampai-sampai ada “hukum” aneh:“Semakin tinggi biaya pernikahan, semakin tinggi resiko bercerai.”

Kembali ke Perbub Lombok Timur, hal yang harus dikritik di situ terutama adalah adanyalegalisasi poligami oleh negara, sebagai sumber PAD, yang bermakna desakralisasi ritus pernikahan menjadi sekadar komoditas.Kita semua tahu, di Indonesia ritus pernikahan adalah domain agama dan adat yang bersifat sakral.Kasus Perbub Lombok Timur itu menunjukkan tindakan negara yang kebablasan, sehingga harus segera dikoreksi agar tidak meluas. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun