Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dua Menteri Melanggar Perda DKI Jakarta

29 Oktober 2014   20:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:16 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ikhwal mulut menteri menyemburkan asap rokok ke udara, sama halnya dengan knalpot bus kota bobrok menyemburkan asap hitam di jalanan Jakarta.Sama-sama mencemari udara.Sama-sama merampas hak warga menghirup udara bersih.

Bedanya hanya soal kuantitas dan kualitas serta konsekuensi hukum.Yang pertama sedikit dan tipis, sedangkan yang kedua banyak dan pekat.Yang pertama melanggar Perda DKI Jakarta Nomor 75/2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok.Sedangkan yang kedua melanggar Perda DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Terkait kasus dua orang menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK yang merokok di lingkungan Istana Negara, yaitu Menteri KKP Susi Pudjiastuti (waktu kejadian 26/10/14) dan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri (waktu kejadian 27/10/14), apa yang bisa dikatakan? Jelas, mereka berdua telah melanggar ketentuan kawasan dilarang merokok sebagaimana diatur dalam Perda DKI Jakarta Nomo 75/2005. Pasal 3 perda tersebut menyatakan: “Sasaran kawasan dilarang merokok adalah tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.”

Istana Negara mestinya adalah “tempat kerja”.Jadi, dilarang merokok di lingkungan tersebut, kecuali di “ruang khusus merokok” yang mungkin disediakan. Itu sebabnya seorang anggota Paspampres menegur keras Hanif Dhakiri, ketika kepergok merokok di Kompleks Istana Negara, seusai sesi foto kabinet.

Merokok, atau tidak merokok, adalah pilihan dan tidak ada yang dapat disalahkan terkait pilihan itu.Tapi tindakan merokok adalah sebuah kesalahan jika nyata-nyata dilakukan di tempat atau kawasan no-smoking, dilarang merokok.Jadi, Menteri Susi dan Menteri Hanif merokok atau menjadi perokok, tidak bisa disalahkan.Tapi, fakta bahwa mereka merokok di tempat dan pada waktu terlarang, jelas merupakan kesalahan.

Sebenarnya, jika ada yang faktual terganggu dengan tindakan kedua orang menteri itu, maka ia boleh mengajukan gugatan “ganti rugi”.Pasal 27 ayat 2 Perda DKI Jakarta Nomor 75/2005 menyatakan: “Setiap orang yang terbukti merokok di kawasan dilarang merokok, dapat dikenakan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan/atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”Lalu, pasal 30 Perda Nomor 2/2005 menetapkan: “Setiap orang atau Badan yang kegiatan usahanya menimbulkan kerugian bagi pihak lain yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.” Tapi, menggugat ganti rugi atas tindakan menteri yang merokok mungkin sama dengan masuk ke dalam perkara yang berketiak ular.Barangkali, itu sebabnya orang lebih suka langsung menjatuhkan sanksi sosial berupa celaan atau kecaman.

Tapi untuk apa sebenarnya ribut soal menteri merokok?Ini menteri Kabinet Kerja, bukan Kabinet Anti-Rokok.Menteri merokok, biarkan saja, asalkan caranya etis, tidak melanggar hukum dan kepantasan.Yang jelas, kalau Menteri Susi dan Menteri Hanif mau merokok, maka menurut perda mereka harus membangun ruang khusus merokok di kantor masing-masing, dan masuk ke dalamnya jika ingin merokok.Menteri Ignatius Jonan adalah contoh yang baik untuk hal ini.Setiap kali ia ingin merokok di sebuah stasiun, dia akan masuk ke ruang kaca perokok yang tersedia di stasiun.

Tapi, lebih baik lagi sebenarnya jika menghentikan kecanduan rokok.Dan ini bukan hal muskil.Saya dulu perokok berat, rata-rata 20 batang kretek filter per 24 jam.Sampai suatu hari di Salatiga, sedang merem-melek menikmati kripik paru, seorang teman bertanya, “Kau tahu gak itu kripik paru terbuat dari apa?”Jawab saya: “Dari paru sapi, tentu saja.”“Bukan,” sanggahnya, “itu dibuat dari irisan paru-paru perokok yang dioperasi di Rumah Sakit Paru-paru, Salatiga.”Mak dhuk, sejak itu rokok serasa empedu basi.

Tapi, bisa jadi juga, untuk orang seperti Menteri Susi, berlaku hukum “semakin merokok semakin kerja, kerja, kerja”.Kalau sudah begitu, ya, biarkan saja, asalkan dilakukan secara etis, dan kalau mungkin estetis.“Why so serious,” Joker’s dad said.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun