Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi Anti-Revolusi Mental Jika Tak Naikkan Harga BBM

13 November 2014   17:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:53 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_374994" align="aligncenter" width="562" caption="Foto oleh Nadia Zahra (Kompas.com)"][/caption]

Presiden Jokowi harus tegas di tengah pro-kontra kenaikan harga BBM bersubsidi.Pada seorang pemimpin, yang dipegang itu “perkataan”-nya.Pak Jokowi pernah mengatakan subsidi BBM tidak adil, karena terutama dinikmati kelas menengah.Karena itu subsidi BBM harus dipotong, untuk dialihkan pada pembiayaan pembangunan masyarakat ekonomi lemah, terutama di pedesaan dan daerah pinggiran.Dengan kata lain: Harga BBM bersubsidi dinaikkan!

Ada indikasi yang jelas, selain pernyataan Wapres Jusuf Kalla, bahwa harga BBM bersubsidi akan dinaikkan, mungkin di penghujung November 2014 ini.Yaitu sosialisasi dan distribusi kartu-kartu KIS, KIP, dan KKS, sebagai instrumen alih-subsidi BBM kepada kelompok prioritas target pembangunan, yaitu keluarga miskin. Logikanya, dari mana dana untuk mengisi rekening pemagang kartu-kartu itu, kalau bukan dariporsi alih-subsidi BBM?

Jadi, sudah tepat jika Pak Jokowi tidak terpengaruh oleh suara atau gerakan anti-kenaikan harga BBM bersubsidi yang, menurut saya, sebenarnya punya tendensi mempertahankan irrasionalitas demi keuntungan pribadi atau kelompok.Mengapa saya sebut irrasionalitas? Karena alasan “kuno” bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi akan menaikkan harga barang-barang sehingga akan lebih menyengsarakan rakyat miskin sebenarnya adalah bagian dari upaya kelompok-kelompok status quo untuk mengkonstruksi keadaan sosial, ekonomi, dan politik, agar tetap nyaman untuk kepentingannya sendiri.

Ambil contoh soal harga cabe yang sedang diributkan hari-hari ini.Sebuah stasiun TV memberitakan bahwa harga cabe naik sampai 100% karena pedagang mengantisipasi kenaikan harga BBM bersubsidi.Yang hendak dikatakan adalah: Lihat, baru isu kenaikan harga BBM saja, harga barang-barang sudah langsung naik.Apalagi kalau harga BBM benar-benar dinaikkan, maka harga barang akan naik lagi.

Dimana rasionalitasnya secara ilmu ekonomi: harga barang naik dua kali, sebelum dan sesudah harga BBM dinaikkan?Dan kalau harga BBM tidak jadi naik, apakah ada dalam sejarah ekonomi kita lantas harga barang yang sudah naik kemudian diturunkan lagi?Tidak ada!Dulu Presiden SBY membatalkan kenaikan harga BBM, dan harga barang-barang tidak ikut turun.Tapi sisi paling irrasional dari berita cabe-cabean ini adalah tidak diungkapnya fakta bahwa produksi cabe nasional memang sedang menurun karena faktor cuaca, sehingga pasokan berkurang, dan harga (sesuai hukum permintaan-penawaran) melonjak naik.

Yang ingin saya katakan, suara dan gerakan kontra kenaikan harga BBM bersubsidi itu, kalau diikuti justru akan memelihara atau menguatkan irasionalitas dalam kepala bangsa ini.Dan kalau irasionalitas semacam itu dipertahankan, maka berarti anti-revolusi mental. Ini mengingat revolusi mental pada dasarnya adalah mengubah secara radikal pola pikir yang irrasional (sarat KKN sehingga inefisien) menjadi rasional (tanpa KKN sehingga efisien).

Itu sebabnya dikatakan Jokowi anti-revolusi mental jika tidak menaikkan harga BBM bersubsidi.Berikut adalah sejumlah gejala anti-revolusi mental yang dapat diamati jika Jokowi tidak jadi menaikkan harga BBM bersubsidi.

Pertama, DPR akan tetap mempertahankan pikiran irrasional bahwa kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat miskin.Padahal, DPR seharusnya berpikir bagaimana membuat peraturan perundangan yang dapat menjamin agar kenaikan harga BBM tidak menyengsarakan rakyat miskin.Misalnya, bisa menjamin bahkan jika seluruh subsidi BBM dihapus, harga-harga kebutuhan pokok tidak naik, sehingga rakyat miskin tak menderita. Tapi, begitulah, DPR kita itu bukan “learning organization” rupanya, jadi malas berpikir untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Kedua, pengusaha akan tetap mempertahankan pikiran irrasional bahwa kenaikan harga BBM akan menaikkan harga barang.Numpang tanya, memangnya berapa persen kontribusi BBM terhadap biaya produksi per unit barang?Kalau harga cabe naik sampai 100 persen, apakah memang kenaikan harga BBM terhadap biaya produksi/distribusi cabe sampai 100 persen?Lagi pula, pengusaha seharusnya berpikir bagaimana meningkatkan efisiensi produksi, sehingga kenaikan harga BBM tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya produksi, kecuali mengurangi nol koma nol sekian persen laba.Tapi begitulah, dasar mayoritas pengusaha kita rupanya tetap tergolong kapitalisme semu (Yoshihara Kunio) atau kapitalisme birokratis (R. Robison) , yaitu kapitalis yang inefisien karena hanya bisa hidup dan besar berkat fasilitas negara, termasuk BBM bersubsidi, sehingga malas berpikir untuk selalu meningkatkan efisiensi produksi untuk menjadi kapitalis sejati.

Ketiga, pemerintah akan tetap mempertahankan pikiran irasional bahwa stabilitas harga BBM akan menjamin stabilitas harga barang (dan jasa), sehingga menciptakan stabilitas politik, dengan hasil kekuasaannya tidak digoyang rakyat dan DPR.Tadi sudah dikatakan bahwa korelasi kenaikan harga barang dengan kenaikan harga BBM adalah hasil kontruksi yang irrasional.Kalau pemerintah termakan pikiran irasional ini, berarti anti-revolusi mental, karena malas berpikir rasional.Bukan hanya dalam soal harga BBM terjadi irasionalitas.Dalam kasus lain, yaitu kenaikan gaji pegawai negeri, harga barang juga ikut-ikutan naik.Padahal apa hubungan kenaikan gaji pegawai negeri dengan biaya produksi barang?Tidak ada.Kenaikan itu hanya untuk mengimbangi inflasi harga-harga sebenarnya, meningkatkan daya beli, agar pegawai negeri tidak menjadi golongan miskin relatif.Dan pemerintah, juga DPR selalu diam atas persoalan seperti ini, seolah-olah itu adalah mekanisme pasar biasa, kerja invisible hand versi Adam Smith yang tidak bisa dikendalikan pemerintah.Pemerintah yang masih berpikir seperti ini, adalah pemerintah yang malas berpikir, anti-revolusi mental, alias OMO (ogah move on).

Keempat, rakyat akan mempertahankan pola hidup irrasional, inefisien dan tidak produktif.Inefisien karenamisalnya satu keluarga terdiri dari empat anggota dewasa, empat mobil sekali jalan, boros alias irrasional (“Emang masalah buat loe,” katanya).Atau begini: jalan seratus meter naik motor, seribu meter naik mobil.Alasannya, transportasi umum brengsek.Pemerintah disalahkan tidak berhasil membangun transportasi umum yang efisien (malahan melarang sepeda motor melintas jalan protokol).Tidak produktif karena berpikir, “Sudahlah, harga barang tidak akan naik kalau harga BBM tidak naik,” atau, “Kalau kita miskin, pemerintah pasti bantu.”Akibatnya, terbentuk mentalitas “pengemis”, yang selalu berharap belas kasihan pemerintah atau keadaan.Dipikirnya hujan pasti akan turun dari langit kalau awan ada di atas kepalanya, karena itu tak perlu usaha. (Gak tahu hujan buatan aja bisa gagal).

Jadi, pada intinya, kalau Pak Jokowi tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, berarti dia anti-revolusi mental.Kalau begitu, jangan pernah mimpi bangsa ini akan menjadi bangsa produsen yang efisien.Dan jangan mimpibahwa tahun 2019 bangsa ini akan menjadi bangsa yang mandiri secara ekonomi.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun