Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Maaf, Tak Ada "Revolusi dari Desa" di Malinau

29 November 2014   23:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:30 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada "revolusi dari desa"  di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Itulah kesimpulan saya, setelah tuntas membaca buku karangan Bupati Malinau Yansen TP, "Revolusi Dari Desa Saatnya Dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya Kepada Rakyat".

Yang ada, menurut saya, justru "revolusi dari atas-desa".  Yaitu revolusi kepemerintahan (governance) yang diprakarsai dan digerakkan oleh elit kekuasaan atas-desa, dalam kasus ini Bupati Malinau.

Inti "revolusi dari atas-desa" di Malinau itu adalah pembentukan "otonomi desa".  Caranya, Pemerintah Kabupaten menyerahkan sebagian "kue otonomi daerah" kepada Pemerintah Desa. Khususnya di tiga bidang kewenangan ini:  urusan berbagai bidang teknis kepemerintahan/pembangunan,  pembangunan desa (formulasi, implementasi, evaluasi), dan pengelolaan anggaran pembangunan (h. 45).Harus diakui, ini  memang revolusioner.

Pemicu "revolusi" itu adalah keresahan dan "kemarahan"  Yansen sendiri, dalam kapasitasnya sebagai bupati. Resah dan "marah" menyaksikan fakta kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar di Malinau. Padahal, dari pengalamannya 16 tahun sebagai aparat, pemerintah sudah "bekerja keras".

Biang keladinya, menurut Yansen, adalah absennya kemandirian desa dalam kepemerintahan, khususnya terkait pembangunan.  Sementara pemerintah atas-desa sendiri sebenarnya menderita "rabun desa".  Akibatnya, program pembangunan yang datang dari atas-desa tak bertemu dengan kebutuhan nyata masyarakat desa.

Solusinya,  menurut Yansen, adalah pembentukan  "otonomi desa".  Inilah  inti Gerbades (Gerakan Bangun Desa) di Malinau. Suatu gerakan yang "memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada rakyat"  (desa)  untuk menjalankan  pembangunan dengan prinsip "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" (h. 41, 48).

Maka, seakan terkena ajian Bandung Bondowoso, desa-desa di Malinau seketika mengalami perubahan struktural politik menjadi desa-desa otonom. Ditandai dengan keberdayaan politik desa di tiga bidang yang, untuk sementara ini (menunggu implementasi penuh UU No. 6/2014 tentang Desa), spesifik Malinau: menjalankan 33 urusan kepemerintahan, menjalankan pembangunan desa, dan mengelola anggaran desa (Rp 1.2-1.3 milyar/tahun).

Mana Hasilnya?

Lantas, setelah berjalan tiga tahun (2012-2014), wajar jika bertanya sejauh mana Gerbades telah meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi Malinau.

Untuk mengetahuinya, saya membuat matriks yang menyilangkan empat pilar pembangunan Malinau (infrastruktur, sumberdaya manusia, ekonomi rakyat/daerah, kepemerintahan) di ruang baris dan tiga komitmen Malinau (pariwisata, pertanian, rumah sakit daerah) (h. 23-39) di ruang kolom. Hasilnya diperoleh 12 sel yang harusnya berisi data empirik capaian kinerja Gerbades.  Misalnya pada sel ke-1  harus terbaca data empirik capaian pembangunan infrastruktur pendukung sektor pariwisata.  Seterusnya begitu sampai sel ke-12 (kepemerintahan x rumah sakit daerah).

Sayang, ketika matriks itu diterapkan ke isi buku, saya gagal memperoleh data empiris untuk mengisi 12 selnya.  Dengan kata lain, buku ini sama sekali tak menyajikan data empirik yang valid sebagai bukti keberhasilan Gerdema.  Selain itu juga tak menyajikan informasi empirik tentang bagaimana proses Gerdema terjadi di lapangan.

Jadi, walaupun sudah banyak apresiasi dan pengakuan ditujukan pada kehebatan Gerdema, buku ini tidak berhasil meyakinkan saya untuk menarik kesimpulan serupa.

Sebenarnya ada sajian data hasil evaluasi Gerdema tahun 2012 dan 2013 (Bab VII h. 160-178).  Tapi, terus terang, saya meragukan validitas data yang disajikan.  Soalnya tidak disertai keterangan tentang metode pengukurannya (pengumpulan dan analisis data).

Karena itu, Tabel 1 yang menyajikan hasil pengukuran atas 12 indikator kinerja Gerdema 2012 (h. 165-169), menurut saya "terlalu indah untuk dipercaya". Dengan menyajikan informasi kualitatif tentang keadaan "sebelum" dan "sesudah" Gerdema, tabel itu menunjukkan hanya dalam tempo satu tahun semua kondisi langsung membaik, setelah sebelumnya buruk.  Walau itu dinyatakan di bawah "bendera revolusi", rasanya sulit dipercaya, karena semuanya terlihat terlalu mudah.

Tabel  2-7, yang menyajikan data pemahaman dan persepsi aparat dan masyarakat tentang Gerdema Tahun 2013 (h. 171-176), sebenarnya "masuk akal".   Tapi, karena ini soal pemahaman dan persepsi (Ya/Tidak), maka faktor subyektivitas jadi masalah.  Soalnya, tidak dijelaskan metode pendataannya, sehingga saya boleh meragukan validitasnya.

Alhasil, seperti juga diakui Yansen (h. 15),  buku ini sebenarnya lebih tepat dibaca sebagai cetak biru Gerdema Malinau, guna memandu gerak para pemangku pembangunan di sana (pemerintah, masyarakat, swasta).  Dan memang bab-bab dalam buku ini disusun untuk keperluan itu.  Mulai dari uraian tentang latarbelakang Gerdema (Bab I), teknik perencanaan pembangunan (Bab II), uraian tentang Gerdema sebagai sebuah "revolusi" (Bab III), peran krusial kepemimpinan (Bab IV), profil desa dan hubungan antar lembaga desa dalam konteks Gerdema (Bab V), mekanisme dan indikator keberhasilan Gerdema (Bab VI), sampai evaluasi hasil Gerdema (Bab VIII).

Karena itu, buku ini mungkin lebih cocok sebagai rujukan konseptual bagi para kepala daerah yang punya komitmen membagi kekuasaan otonomnya ke tingkat desa, untuk mewujudkan pembangunan yang berpusat pada rakyat sebagai subyek.  Perlu dicatat, model Gerdema akan semakin relevan ke masa depan, seiring berlakunya UU No. 6/2014 tentang Desa, yang mengamanatkan pembentukan "otonomi desa".

Jadi, sekali lagi harus saya katakan, "Maaf, tidak ada "revolusi dari desa" di Malinau. Yang ada adalah "revolusi dari atas-desa", yang sangat layak ditiru dan diterapkan para kepala daerah lain di Indonesia, sesuai konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya daerah masing-masing. (*)

Data Buku

Judul: Revolusi dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat.

Pengarang: Dr. Yansen TP, M.Si.

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Kota Terbit: Jakarta

Tahun Terbit: 2014

Tebal Buku: 180, xxviii, lampiran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun