Jadi, walaupun sudah banyak apresiasi dan pengakuan ditujukan pada kehebatan Gerdema, buku ini tidak berhasil meyakinkan saya untuk menarik kesimpulan serupa.
Sebenarnya ada sajian data hasil evaluasi Gerdema tahun 2012 dan 2013 (Bab VII h. 160-178). Â Tapi, terus terang, saya meragukan validitas data yang disajikan. Â Soalnya tidak disertai keterangan tentang metode pengukurannya (pengumpulan dan analisis data).
Karena itu, Tabel 1 yang menyajikan hasil pengukuran atas 12 indikator kinerja Gerdema 2012 (h. 165-169), menurut saya "terlalu indah untuk dipercaya". Dengan menyajikan informasi kualitatif tentang keadaan "sebelum" dan "sesudah" Gerdema, tabel itu menunjukkan hanya dalam tempo satu tahun semua kondisi langsung membaik, setelah sebelumnya buruk. Â Walau itu dinyatakan di bawah "bendera revolusi", rasanya sulit dipercaya, karena semuanya terlihat terlalu mudah.
Tabel  2-7, yang menyajikan data pemahaman dan persepsi aparat dan masyarakat tentang Gerdema Tahun 2013 (h. 171-176), sebenarnya "masuk akal".  Tapi, karena ini soal pemahaman dan persepsi (Ya/Tidak), maka faktor subyektivitas jadi masalah.  Soalnya, tidak dijelaskan metode pendataannya, sehingga saya boleh meragukan validitasnya.
Alhasil, seperti juga diakui Yansen (h. 15), Â buku ini sebenarnya lebih tepat dibaca sebagai cetak biru Gerdema Malinau, guna memandu gerak para pemangku pembangunan di sana (pemerintah, masyarakat, swasta). Â Dan memang bab-bab dalam buku ini disusun untuk keperluan itu. Â Mulai dari uraian tentang latarbelakang Gerdema (Bab I), teknik perencanaan pembangunan (Bab II), uraian tentang Gerdema sebagai sebuah "revolusi" (Bab III), peran krusial kepemimpinan (Bab IV), profil desa dan hubungan antar lembaga desa dalam konteks Gerdema (Bab V), mekanisme dan indikator keberhasilan Gerdema (Bab VI), sampai evaluasi hasil Gerdema (Bab VIII).
Karena itu, buku ini mungkin lebih cocok sebagai rujukan konseptual bagi para kepala daerah yang punya komitmen membagi kekuasaan otonomnya ke tingkat desa, untuk mewujudkan pembangunan yang berpusat pada rakyat sebagai subyek. Â Perlu dicatat, model Gerdema akan semakin relevan ke masa depan, seiring berlakunya UU No. 6/2014 tentang Desa, yang mengamanatkan pembentukan "otonomi desa".
Jadi, sekali lagi harus saya katakan, "Maaf, tidak ada "revolusi dari desa" di Malinau. Yang ada adalah "revolusi dari atas-desa", yang sangat layak ditiru dan diterapkan para kepala daerah lain di Indonesia, sesuai konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya daerah masing-masing. (*)
Data Buku
Judul: Revolusi dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat.
Pengarang: Dr. Yansen TP, M.Si.
Penerbit: PT Elex Media Komputindo