Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hasil Penelitian, Mayoritas Kita Pembaca Emosional

24 Desember 2014   00:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:36 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapakah yang mampu memaksa mesin algoritma untuk menempatkan sebuah artikel bertengger di ruang Trending Articles Kompasiana?Ternyata bukan Admin, tapi pembaca yang emosional.

Siapakah pembaca emosional itu?Mereka adalah pembaca yang mengedepankan emosi saat pengambilan keputusanmembaca sebuah artikel.Setelah membaca, barulah rasionya mungkin muncul, lalu memberikan komentar yang rasional, atau tak berkomentar sama sekali.Atau mungkin ia malahan tambah emosional, sehingga tanggapannya juga sangat emosional.

Sebaliknya adalah pembaca rasional yang mengedepankan rasio dalam pengambilan keputusan membaca artikel.Tapi setelah membaca, sangat mungkin emosinya terpancing juga, lalu memberikan komentar yang emosional pula.Atau mungkin ia tetap bertahan rasional dan memberikan komentar yang rasional atau tak berkomentar sama sekali.

Kebanyakan dari kita ternyata adalah tipe pembaca emosional itu.Inilah kesimpulan hasil penelitian yang baru saya lakukan di Kompasiana.Sebuah penelitian kecil, lagi sederhana, tentang perilaku baca Kompasioner.

Pertanyaan Menggelitik

Penelitian ini berangkat dari sebuah pertanyaan yang menggelitik.Faktor apa sebenarnya yang menyebabkan sebuah artikel bertengger di ruang Trending Articles (TA)?

Itu pertanyaan yang mengganggukarena dua alasan.Pertama,secara objektif sebenarnya tidak semua artikel TA bermutu tinggi.Cukup banyak di antaranya hanya artikel kategori “reproduksi” (tulis-ulang isu yang sedang hangat/panas) atau “klipping” (kutip sana kutip sini lalu jahit jadi satu).Kedua, umumnya Kompasioner rupanya sangat mendambakan artikelnya masuk TA untuk alasan ukuran prestasi atau sekurangnya kebanggaan.

Dari hasil membaca artikel-artikel TA, saya lantas menemukan kesamaan ciri yaitu “topik panas”dan “judul heboh”.Topik panas itu bisa merupakan isu besar terbaru (misalnya: perpecahan Golkar), atau isu kontroversial (misalnya: Gubernur Tandingan DKI), ataupun isu perilaku tokoh populer (misalnya: Susi Pudjiastuti).Judul hebohitu bisa dalam pengertian atraktif (misalnya:Inilah Tokoh di Balik Perpecahan Golkar?) ataupun provokatif (misalnya:Kutuk Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan!).

Kedua ciri tersebut jelas lebih menunjuk pada aspek emosional ketimbang rasional.Karena topiknya “panas” dan judulnya “heboh”, tanpa pikir panjang Kompasioner langsung “klik” lalu baca.

Atas dasar itu, saya lalu tiba pada sebuah “praduga” (istilah kerennya “hipotesis”) bahwafaktor utama yang memaksa mesin algoritma mendudukkan sebuah artikel di ruang TA adalah perilaku baca emosional para Kompasioner.

Meneliti Secara Sederhana

Cara paling sahih (valid) dan elok (elegant) untuk membuktikan benar tidaknya sebuah praduga tedalah penelitian.Saya menempuh cara itu, walau dalam bentukyang paling bersahaja..

Untuk keperluan penelitian, dua artikel saya yang masuk TA dipilih sebagai kasus untuk dianalisis.Kasuspertama adalah artikel berjudul Direktur Puskaptis Anulir Kemenangan Prabowo-Hatta (Kompasiana, 12 Juli 2014) yang saya tulis tanpa maksud untuk menjadi TA.Artinya, sekalipun ditulis pada waktu sedang panas-panasnya dugaan “rekayasa”hasil hitung-cepat Pilpres 2014 oleh lembaga survei tertentu, antara lain Puskaptis, “topik panas” dan “judul heboh” pada artikel itu sejak awal tidak dimaksudkan supaya menjadi TA.

Sedangkan kasus kedua adalah artikel berjudul Dihina “Kampret”, Pilot Garuda Adukan Ahmad Dhani(Kompasiana, 20 Desember 2014) yang sengaja saya tulis dan rekayasa untuk masuk TA, dengan cara memasukkan ciri “topik panas” dan “judul heboh”.Artikel ini ditulis pada waktu kasus “pengkampretan” pilot Garuda oleh Ahmad Dhani, pentolan grup band Dewa 19masih hangat-hangatnya.

Dua kasus artikel tersebut dapat menunjukkan dengan baik bagaimana perilaku baca emosional dari Kompasioner telah mengantarkannya ke ruang TA.

Husin Yazid:Kasus “Penganuliran”

Artikel Direktur Puskaptis berhasil menjaring 25,764 hit baca, 27 komentar, dan 7 rating.Ini tergolong “luar biasa” untuk sebuah artikel pendek kategori “reproduksi” yang sebenarnya tak bisa dibilang bermutu.Artikel ini saya reproduksi dari sebuah talk-show yang antara lain menghadirkan Husin Yazid, Direktur Puskaptis waktu itu, di sebuah stasiun TV (JakTV, 10/7/2014, malam).

Tapi topik artikel yang sangat panas dan judulnya yang heboh telah memantik emosi banyak Kompasioner untuk mengklik dan membacanya.Topiknya benar-benar sangat panas karena waktu itu sedang terjadi saling klaim kebenaran hasil hitung cepat Pilpres 2014 oleh dua kelompok lembaga survei:satu kelompok melaporkan kemenangan untuk Jokowi-JK, dan satu lainnya melaporkan kemenangan untuk Prabowo-Hatta.

Kelompok yang melaporkan kemenangan untuk Prabowo-Hatta waktu itu diduga telah melalukan pelanggaran etika survei, dengan merekayasa metode dan hasil hitung-cepat, sehingga mendapat kecaman hebat dari khalayak umum, professional, relawan, dan tim kampanye Jokowi-JK.Fakta bahwa Puskaptis ada dalam kelompok ini, telah menempatkan Husin Yazid pada posisi “musuh publik” untuk khalayak pro-Jokowi-JK.

Emosi pembaca juga terekam pada komentar-komentar atas artikel tersebut.Mayoritas komentator diduga adalah Kompasioner pro-Jokowi-JK yang memberi komentar-komentar emosional yang bersifat mengukuhkan isi artikel.Nada komentar-komentar tersebut umumnya menyalahkan, memojokkan, dan meragukan kredibilitas Husin Yazid dan Puskaptis sebagai sebuah lembaga survey.

Ahmad Dhani: Kasus “Peng-kampret-an”

Artikel Dihina “Kampret” berhasilmenjaring 1,493 hit baca, 30 komentar, dan 16rating.Ini capaian yang tergolong “luar biasa” untuk sebuah artikel yang, meminjam istilah Kompasioner Daniel H.t.dalam komentarnya, tergolong “kampret”, alias gak mutu-mutu amat.Ini cuma sebuah artikel hoax jujur, yang ditulis dengan teknik “Seandainya aku jadi dia, maka …”

Artikel itu memang saya tulis dalam situasi “panas” terkait ulah Ahmad Dhani, pentolan grup band Dewa 19, yang memaki pilot Garuda sebagai “kampret” karena ditinggal terbang ke Malang (Rabu, 17/12/2014), karena ia terlambat tiba di bandara, katanya akibat terhambat kecelakaan di jalan tol.

Berita “pengkampretan” itu sudah menyebar luas di media sosial dan dengan cepat mendudukkan Ahmad Dhani lagi di kursi “musuh publik”.Ditambahkan ke berbagai ucapan dan tindakan Ahmad Dhani yang merendahkan Jokowi pada masa kampanye dan pasca-Pilpres 2014, maka kasus “pengkampretan pilot” itu telah menyemburkan liur cercaan ke muka Ahmad Dhani.

Sementara itu “Sang Pilot” segera menjadi “korban” yang mengundang simpati.Apalagi, kemudian, ternyata bukan Ahmad Dhani yang meminta maaf.Tapi pihak Garuda-lah yang meminta maaf kepada Ahmad Dhani atas kejadian itu.Sang Pilot dengan begitu telah “dikorbankan” oleh Garuda pula.Mungkin dengan alasan perusahaan harus minta maaaf atas ketak-nyamanan pelanggan, sekalipun kesalahan di pihak pelanggan itu sendiri.

Maka ketika muncul artikel yang memberitakan Sang Pilot mengadukan Ahmad Dhani ke polisi, bisa diduga emosi pembaca langsung terprovokasiuntuk mengklik dan membacanya.Dan itulah yang sebenarnya terjadi.Sebab kalau mengedepankan rasio, sudah jelas judul artikel mencerminkan kemustahilan atau kebohongan.Tak mungkin Sang Pilot akan mengadukan Ahmad Dhani karena dari pemberitaan jelas kasus itu telah selesai.

Tapi memang ada keinginan terpendam di hati pembaca agar Ahmad Dhani mendapat pelajaran atas ulahnya.Maka ketika muncul artikel yang sungguh tak masuk akal itu, emosi banyak pembaca langsung terprovokasi dan mesin algoritma Kompasiana mendudukkan artikel itu di ruang TA.Sungguh sebuah kehormatan yang tak pantas sebenarnya.Tapi begitulah, praduga saya terbukti kebenarannya.

Sebagian pembaca, sebagaimana disampaikan di ruang komentar, segera menyadarimereka sudah “tertipu”.Tapi mereka tak marah, karena secara jujur saya sudah mengakui artikel itu hoax untuk keperluan penelitian perilaku baca Kompasioner.Lalu ada pembaca yang menganggap artikel itu layaknya masuk kanal “humor” saja.(Tapi, kalau masuk kanal humor, pasti tidak akan TA).

Tapi sebagian pembaca tetap memelihara emosi bahkan setelah selesai membaca artikel itu.Mereka masih juga memberikan komentar serius yang emosional terhadap Ahmad Dhani.Logikanya, setelah tahu hoax, harusnya pembaca cukup tertawa saja seperti dilakukan sejumlah komentator.Tapi begitulah, sering kali emosi mengalahkan rasio. “Hajar dulu, urusan belakangan!”

Saya Menunggu Bantahan

Lantas apa pelajaran yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini?Saya sudah menyimpulkan sebagian besar dari kita adalah pembaca emosional.Tapi apakah salah menjadi pembaca emosional?Tentu saja tidak salah.Ini soal pilihan subyektif para pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun