“Revolusi mental yang jadi jargon doang.”Ini bukan pernyataan saya, tapi komentar rekan Kompasioner Safinatun Naja Akaleva (SNA) atas "Humor Revolusi Mental #051: Bilangan Bulat"yang saya terbitkan di Kompasiana (11/01/2015).
Menanggapi rekan SNA, saya hanya berujar ringan, “Hehehe, makanya Mbak, ayo kita mulai revolusi mental dari diri sendiri dengan tertawa.”
Pernyataan rekan SNA menarik untuk diulas karena dua alasan.Pertama, memang ada benarnya pernyataan SNA karena, di tengah berbagai isu besar nasional kini, gagasan revolusi mental Pak Jokowi memang seolah tenggelam.Kedua, komentar SNA mengesankan revolusi mental itu semata-mata urusan pemerintah yang tak ada sangkut pautnya dengan individu warga.
Dua alasan tersebut sebenarnya kait-mengait.Dalam artikel “Revolusi Mental”-nya, kalau dibaca cermat, sebenarnya Jokowi sudah menegaskan bahwa revolusi mental itu dimulai dari individu-individu anggota keluarga Indonesia.Jadi, mengatakan revolusi mental itu “jargon doang”, sementara kita sebagai individu warga tidak melakukan suatu apapun untuk merevolusi mentalitas pribadi, sama saja dengan menggugat diri sendiri: “Kenapa aku ngomongdoang, ya.Kenapa gak mulai dari diri sendiri?”
Karena itulah saya mengajak rekan SNA, juga rekan Kompasioner lain, untuk mulai revolusi mental dari diri sendiri dengan tertawa.Dengan cara tertawa?Mengapa tidak?Jangan berpikir terlalu panjang dan lebar (p x l = L) soal revolusi mental.Nanti malah tak terjangkau, akibatnya gagal revolusi.Mulailah dari satu titik dalam diri kita, yaitu titik geli yang membuat kita tertawa.Begitu kita tertawa, maka secara tak sadar, atau di bawah sadar, saat itu kita sedang dan sudah mengalami revolusi mental. Istilah kerennya, revolusi mental bawah sadar, unconsciuos mental revolution (jika Bah. Ind. dirasa kurang keren).
Mengapa orang sering bilang, “Tertawa itu resep awet muda dan panjang umur?”Saya kira, saya tak perlu jelaskan lagi soal yang sudah jadi pengetahuan umum ini.Saya hanya sekadar mau tegaskan, bahwa tertawa itu mengalirkan energi optimisme ke sekujur jiwa dan raga kita, sehingga hidup mendadak teralami lebih indah.Tentu, ini berlaku untuk kasus “tawa sehat”, tak menyakiti orang lain.
Beda halnya jika tawa kita tergolong “tawa sakit”, menyakiti orang lain.Sangat mungkin yang terjadi bukan “tertawa itu resep panjang umur”, tapi sebaliknya “tertawa itu resep pendek umur”.Apakah kita bisa berharap panjang umur jika, misalnya, menertawakan seorang psikopat yang selalu murah hati menanamkan sebutir peluru di jantung siapa saja yang menertawakannya?
Sudah pasti, salah satu sumber tawa sehat adalah humor yang sehat.Humor yang tak menyakiti seseorang atau sekelompok orang, karena merasa terhina, entah dari segi fisik, etnis, agama, ras, gender, profesi, status sosial, atau hal lain.Karena itu, kalau menginginkan terjadinya revolusi mental bawah sadar, tulis dan bacalah humor sehat, antara lain di kanal humor Kompasiana.
Sekarang, mengapa saya sebut tertawa itu proses revolusi mental bawah sadar? Komentar rekan Kompasioner R. Edy Sunarto terhadap humor yang sama bisa menjadi titik masuk untuk menjawab pertanyaan ini.Kata rekan Edy, yang juga suka menulis humor : “Jika begitu, Revolusi Mentalku jangan-jangan di bawah standar baku Kompasiana ya sob? Nasiblah klo begitu. Tapi tertular semangat optimisme, maju terus. Tanpa mundur maju karena aku bukan Syahrini.”Cukup jelas bukan? Setelah membaca humor, optimisme rekan Edy langsung terpacu, maju terus pantang mundur.Setidaknya, sepanjang saya ikuti, produksi humornya mulai meningkat.Itu terjadi karena tanpa sadar, dengan tertawa, energi optimisme telah menjalari jiwa-raganya.
Bagi yang suka rapat kerja dengan pimpinan, coba ingat-ingat kembali situasi rapat-rapat yang lalu.Mestinya, rapat yang diawali dan diakhiri dengan tertawa adalah rapat yang produktif, karena semua orang tanpa sadar terangsang untuk lebih kreatif.Sebaliknya, rapat yang diawali dan diakhiri dengan kemarahan adalah rapat yang kontra produktif, karena semua orang tanpa sadar tertekan menjadi apatis.Tapi ingat, rapat yang sepenuhnya berisi gelak-tawa, dari awal sampai akhir, pasti bukanlah sebuah rapat melainkan acara lawak.
Intinya di sini, jika dihadapkan pada sebuah masalah, cari dulu sisi jenakanya.Kalau sudah ketemu, biarkanlah urat geli bekerja, dan tertawalah.Setelah itu, pasti masalah akan lebih terang-benderang, dan akan lebih mudah untuk memahaminya dan menemukan pemecahannya.Kalau tak ketemu juga sisi jenakanya, bukalah kanal humor Kompasiana, pilih salah satu humor, lalu baca, dan tertawalah. Nah, tidak perlu menunggu Jokowi untuk merevolusi mental kita, bukan? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H