Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk melawan bakteri sebagai penyebab infeksi, bukan untuk melawan virus.1 Cara kerja dari antibiotik itu sendiri secara umum dapat berupa membunuh ataupun menyulitkan bakteri penyebab infeksi tersebut untuk hidup di dalam tubuh.1Perbedaan kandungan zat yang terdapat pada antibiotik menyebabkan adanya perbedaan kekuatan dan cara kerja dari obat tersebut sehingga antibiotik memiliki kemampuan membunuh pada bakteri tertentu.2
Penyalahgunaan antibiotik dapat menyebabkan resistensi antibiotik, yang merupakan munculnya kemampuan bakteri untuk bertahan dari efek suatu antibiotik sehingga bakteri tersebut dapat dikatakan kebal/ resisten terhadap antibiotik.1 Penyalahgunaan antibiotik dapat berupa penggunaan yang berlebihan, penggunaan dengan dosis yang tidak tepat, serta macam dan lama pemberian yang tidak sesuai.3 Adanya Resistensi antibiotik ini akan berdampak pada tidak efektifnya antibiotik terhadap penyembuhan penyakit infeksi yang diidap pasien.4
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), hampir separuh penggunaan antibiotik di dunia tidak tepat.5 Berdasarkan data terakhir dari World Health Organization (WHO) mengenai resistensi antibiotik di dunia, asia tenggara memiliki angka tertinggi pada kasus resistensi antibiotik, khususnya pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus terhadap antibiotik methicillin6, padahal bakteri tersebut merupakan spesies bakteri yang paling sering menyebabkan penyakit infeksi, terutama pada kalangan genus/marga bakteri Staphylococcus.7
Bagaimana dengan resistensi antibiotik di negara Indonesia? Di Indonesia sendiri, sudah banyak temuan dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa resistensi obat sudah banyak terjadi. Pada yang dilakukan oleh antimicrobial resistance in Indonesia (AMRIN), sebesar 46-54% penggunaan antibiotik pada anak dinyatakan tidak tepat dan tidak sesuai indikasi.8 Pada penelitian lain yang lebih spesifik yang dilakukan oleh AMRIN, didapatkan bahwa 43% bakteri Eschericia coli di Indonesia sudah mengalami berbagai resistensi terhadap berbagai jenis antibiotik, antara lain ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).9,10 Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan penggunaan antibiotik di Indonesia sudah cukup memprihatinkan dan perlu segera diselesasaikan.4,6
Lalu, bagaimana kebijakan dari pemerintah terhadap masalah ini? Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah sendiri telah membuat kebijakan sebagai langkah pertama yang telah dibuat, yakni Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit.9,11
Di dalam kebijakan tersebut, dijelaskan terdapat dua strategi mengendalikan jumlah resistensi antibiotik/ antimikroba ini, yaitu dengan menggunakan antibiotik secara bijak/ rasional agar mencegah terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik dan meningkatkan ketaatan akan prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi agar bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotik tidak mengalami penyebaran dan menginfeksi ke orang lain.9,11 Selain kebijakan tersebut, Kementrian Kesehatan juga telah membentuk Komite Pengendalian Resistensi Antibiotik (KPRA) guna mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas di masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).11
Akan tetapi, apakah adanya berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan adanya KPRA sudah cukup untuk mengatasi masalah penyalahgunaan antibiotik dan resistensi antibiotik? Tentu saja tidak. Pada suatu studi yang dilakukan di Bengkulu pada tahun 2016, penggunaan antibiotik tanpa indikasi masih terjadi sebesar 27,4% kasus, digunakan secara tepat sebesar 32%, dan pemilihan antibiotik yang tidak tepat sebesar 17,7%.8 Penggunaan antibiotik tanpa indikasi juga banyak ditemukan pada penelitian yang dilakukan di dua pelayanan kesehatan di Bandung dan di Cimahi pada tahun 2014 hingga 2015.12 Hal ini membuktikan bahwa peranan pemerintah berupa pembuatan KPRA dan penetapan kebijakan saja masih kurang mencegah terjadinya resistensi antibiotik oleh bakteri.
Lantas, mengapa hal tersebut bisa terjadi di Indonesia?
"Sudah demam dan flu dua hari, sekarang batuk lagi, kayaknya ketularan infeksi nih, beli antibiotik saja deh biar gak pusing, paling di warung obat ada"
"Kalau sakit demam dan batuk, ke dokter saja dan minta untuk diresepin antibiotik biar bisa sembuh"
"Wow, mujarab juga nih antibiotik, baru diminum dua hari udah baikan, padahal dikasih obatnya untuk tiga hari, sisanya saya simpan saja deh biar kalo sakit-sakit lagi, bisa langsung diminum"
Memang benar, akses terhadap antibiotik sudah cukup mudah di Indonesia, secara bebas tersedia di apotek, kios, atau warung, bahkan ada yang menyimpannya di rumah masing-masing oleh karena jumlah antibiotik yang masih bersisa dan tidak dihabiskan pemakaiannya sesuai resep saat megidap penyakit infeksi sebelumnya.4,6 Ada juga yang mengaku pernah melakukan pemaksaan terhadap dokter untuk dibuatkan resep antibiotik.4,6 Padahal, tidak semua penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri, penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus ataupun patogen lainnya juga memiliki gejala yang sama dengan infeksi bakteri tertentu.
Apalagi penyakit menular/ infeksi masih berada di sepuluh penyakit terbanyak di Indonesia.8 Namun, oleh karena antibiotik banyak diketahui oleh masyarakat sebagai obat mujarab untuk penyakit infeksi, obat ini tak jarang disalahgunakan pemakaiannya. Hal ini dapat menyebabkan menjadi faktor pendorong terjadinya penyalahgunaan antibiotik dan berdampak pada peningkatan resistensi antibiotik di Indonesia.4,6
Kalau begitu, apa yang perlu dilakukan oleh warga Indonesia? Untuk dapat mencegah munculnya resistensi antibiotik, penting dan perlu peranan dari setiap pihak, baik pemerintah, tenaga kesehatan, serta masyarakat. Menurut WHO, terdapat lima hal yang dapat dilakukan untuk mencapai pengobatan penyakit infeksi dengan antibiotik secara aman dan efektif: meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan resistensi antibiotik, menguatkan pengetahuan melalui pengamatan dan penelitian, mengurangi kejadian/ insidensi infeksi, mengoptimalkan penggunaan antibiotik, dan mengembangkan investasi pada pengobatan, alat diagnosis, vaksin, dan intervensi lainnya.13
Peranyang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah tentu berupa pembuatan kebijakan/ dasar hukum peraturan dan pembentukan badan pengawasan seperti KPRA dan programnya (PPRA) yang sudah dijelaskan sebelumnya. Peran untuk tenaga kesehatan adalah mematuhi kebijakan yang ada dalam memberikan antibiotik secara rasional, penguatan kurikulum farmasi4,6, serta sosialisasi/ melakuakan penyuluhan akan resistensi antibiotik sehingga pemberian antibiotik sesuai dengan syarat pemberian antibiotik rasional dan juga dapat meningkatkan pengetahun masyarakat akan pentingnya mencegah munculnya resistensi obat. Peran yang dapat diberikan oleh masyarakat adalah selalu menggunakan antibiotik sesuai dan selalu dengan resep dokter, tidak meminta diresepkan antibiotik bila tidak diperlukan, dan mencegah terjadinya infeksi dengan melakukan sanitasi, menjaga higienitas, mengikuti program vaksinasi dari pemerintah, dan program pencegahan infeksi lainnya.13
Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan awal, antibiotik aman dan efektif bila penggunaannya sesuai dengan pemberian obat rasional. Pemberian antibiotik rasional adalah penggunaan antibiotik sesuai dengan penyebab infeksi, rejimen dosis optimal, lama pemberian optimal, serta efek samping dan dampak munculnya bakteri resisten yang minimal.6 Jika melakukan sebaliknya, sudah tahu kan apa akibatnya?
Daftar referensi:
- Centers for Disease Control and Prevention. Antibiotic resistance question and answers. 2015 [cited on 3rd Sep 2017]. Available from: https://www.cdc.gov/getsmart/community/about/antibiotic-resistance-faqs.html
- Katzung BG, Trevor AJ. Basic and clinical pharmacology. 13th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2015. Section VIII, chemotherapeutic drugs; p 767.
- Negara KS. Analisis implementasi kebijakan penggunaan antibiotika rasional untuk mencegah resistensi antibiotika di RSUP Sanglah Denpasar: studi kasus infeksi Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. Jurnal ARSI. 2014;1(1):42-50.
- Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes dan Kementran berkomitmen untuk kendalikan resistensi antimikroba. 2016 [cited on 3rd Sep 2017]. Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/16112800003/kemenkes-dan-kementan-berkomitmen-untuk-kendalikan-resistensi-antimikroba.html
- Centers for Disease Control and Prevention. Antibiotic aren't always the answer. 2016 [cited on 3rd Sep 2017]. Available from: https://www.cdc.gov/features/getsmart/index.html
- Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Penggunaan antibiotik bijak dan rasional kurangi beban penyakit infeksi. 2015 [cited on 3rd Sep 2017]. Available from: http://www.depkes.go.id/article/print/15081100001/penggunaan-antibiotik-bijak-dan-rasional-kurangi-beban-penyakit-infeksi.html
- Costa AR, Batisto DW, Ribas RM, Sousa AM, Pereira MO, Botelho CM. Staphylococcus aureus virulence factors and disease. Microbial pathogens and strategies for combating them: science, technology and education. Badajoz: Formatex Research Center; 2013. p 702-10.
- Muslim Z, Meinisasti R. rationality of antibiotic usage in paediatrics in Bengkulu, IndonesiaL Gyssens' Criteria and type of therapy analysis. Indian J Pharm Sci. 2016;78(6):840-4.
- Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotik. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.
- Abdulah R. Antibiotic abuse in developing countries. Pharmaceut Reg Affairs. 2012;1(2);e106.
- Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 8 tahun 2015 tentang program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2015.
- Yuniar CT, Anggadiredja K, Islamiyah AN. Evaluation of rational drug for acute pharyngitis associated with the incidence and prevalence of the disease at two community health centers in Indonesia. Sci Pharm. 2017;85(2):22.
- World Health Organization. Global action plan on antimicrobial resistance. Geneva: World Helath Organization; 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H