Apakah yang di maksud kieh ?
Kieh dalam konteks keahlian berbahasa adalah bentuk kesantunan berbahasa orang Minangkabau, kata Profesor Oktavianus (2013) ahli bahasa dari Universitas Andalas Padang. Geoffrey Leech (1983) mendefinisikan kesantunan sebagai strategi untuk menghindari konflik yang dapat diukur hasrat berkata-kata yang berpotensi menghadirkan situasi konflik.
Contoh perkataan kiehÂ
"Kok anok kalian, bara den tabayia?", Arti dari kalimat tersebut adalah "jika kalian bisa diam, berapa uang yang harus saya bayarkan?. Jadi ketika ada anak muda yang berisik di suatu keadaan dan tempat lalu ada seseorang yang merasa terusik, lalu dia berkata seperti kieh tersebut, itulah artinya.
penggalan situasi di atas sudah cukup langka. Peristiwa dramatik itu hanya terjadi di masyarakat kebudayaan yang homogen dan tingkat keintiman sosial yang amat rapat.
Lalu contoh lain adalah ketika ada sekumpulan mahasiswa sedang terlibat dalam pembicaraan yang hangat dan santai. Salah satu di antara mereka sedang dijadikan banca'an, dijadikan bahan kelakar dan gurauan. Lalu yang dijadikan bahan kelakar itu berucap, "Kok anok kalian, bara den tabayia?" Nah, tebaklah apa maknanya. Biasanya kalimat itu diungkapkan dengan bahagia. Intinya, bicaralah terus tentang diriku. Aku amat menikmatinya.
Menyampaikan sesuatu dengan terang-terangan, bukak kulik tampak isi bukanlah kebiasaan dan karakter masyarakat Minangkabau. Jika ingin menyampaikan nasehat atau teguran biasanya dalam berbagai bentuk kiasan (kieh), metafora atau sindiran. Itulah sisa-sisa kearifan yang dimiliki masyarakat Minangkabau yang diharapkan terus terjaga sepanjang masa. Jadi orang Minang jarang untuk membicarakan lamgsung dengan kata yang sebenarnya, akan tetapi selalu memakai kata-kata kiasan seperti contoh di atas.
Kieh sebagai maxim kesantunan berbahasa
Kieh dalam konteks keahlian berbahasa adalah bentuk kesantunan berbahasa orang Minangkabau, kata Profesor Oktavianus (2013) ahli bahasa dari Universitas Andalas Padang. Geoffrey Leech (1983) mendefinisikan kesantunan sebagai strategi untuk menghindari konflik yang dapat diukur hasrat berkata-kata yang berpotensi menghadirkan situasi konflik.
Kemampuan berkias orang Minang digunakan agar terjauhi dari konflik social, apabila tidak memakai kata kiasan maka barangkali orang yang di singgung tersebut akan sakit hatinya, maka daripada itu orang Minang selalu memakai kata kiasan dalam menegur seseorang yang melakukan kesalahan.
Seperti dalam kiasan Minang berikut, kok mangecek maagak-agak (jika berbicara dengan diksi seperlunya), pikia dulu kalau bakato (berpikir dulu sebelum bicara), tapi usah katokan nan tapikia (tak semua yang terpikirkan harus dikatakan), sabab luko di pisau tampak darah (sebab, luka terkena pisau tampak darahnya), duo tigo taweh panawa (hanya butuh dua tiga tawas penawar luka), tapi luko di lidah sulik ubeknyo (tapi luka karena ucapan lidah sulit diobati)
Orang Minang sangat di anjurkan berhati-hati dalam berbicara agar seseorang yang di ajak bicara tidak mudah tersinggung oleh apa yang kita ucapkan seperti ungkapan bakato siang caliak-caliak, bakato malam danga-dangaan. Artinya, lihat situasi dulu sebelum berbicara.
Akan tetapi cara bicara atau kebudayaan berkias ini telah luntur atau sedikit saja seorang yang memahami atau memakai kiasan dalam bertutur katanya. Maka dari itu sebagai generasi penerus Minangkabau marilah kita budayakan kebiasaan yang baik ini, agar kelestarian budaya Minang masih ada hingga anak cucu kita nanti.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H