Mohon tunggu...
Matias Tamba
Matias Tamba Mohon Tunggu... -

Pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Nuansa dan Komposisi Kekuatan Politik di Indonesia Saat Ini

7 November 2014   19:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:23 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Melihat situasi politik yang ada di Indonesia khususnya komposisi eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (MPR dan DPR), ada baiknya kita menguji pengetahuan dan kemampuan kita  mengenai memahami nuansa politik dan komposisi kekuatan politik yang sedang terjadi di Indonesia. Tujuannya kali ini yaitu untuk menyadari apakah nuansa dan komposisi eksekutif dan legislatif yang ada sekarang ini adalah komposisi yang bermanfaat dan patut disyukuri atau barangkali suatu petaka atau bencana. Mengingat salah satu ciri demokrasi adalah "kekuasaan mayoritas", oleh karna itu demokrasi dapat membuat para minoritas dibawah tirani kaum mayoritas.

Pada awalnya, tujuan berdemokrasi adalah agar setiap masyarakat yang ada dinegri tersebut berpartisipasi dan mempunyai hak-2 yang sama dalam menentukan pemerintahannya, hukum, keamanan, ekonomi dan perangkat-perangkat penting lainnya dalam satu negara seperti tehnologi, pendidikan dll. Mengapa harus mempunyai hak yang sama dalam menentukan hal-hal tersebut?, adalah disebabkan hukum, keamanan, ekonomi, tehnologi, pendidikan, sumber-sumber alam dan lain lain itu berdampak langsung dan tidak langsung kepada setiap individu yang ada di negara tersebut. Begitu juga hukum, keamanan, ekonomi, tehnologi, pendidikan, sumber-sumber alam itu adalah milik dan komponen negara yang harus digunakan untuk kesejateraan bersama namun dapat juga disalah gunakan untuk kepentingan individu dan atau segolongan tertentu.

Setelah melewati masa pesta demokrasi kemarin, ternyata posisi legislatif dan eksekutif yang menang atau yang berkuasa tidak berasal dari satu kekuatan politik. Terlepas dari arah dan tujuan politik dari kedua "kubu" yang masing-masing menguasai legislatif atau eksekutif tersebut, masyarakat sebaiknya mengetahui manfaat apa bagi rakyat dan negara dengan adanya "dua" kekuatan politik yang berbeda tersebut yang sedang menguasai posisinya masing-masing di legislatif atau eksekutif.

Setelah mengetahui, maka rakyat mampu menghindarkan diri dari "pancingan" dan atau di peralat oleh kekuatan politik tertentu untuk mencapai kepentingan-kepentingan individual atau segolongan tertentu yang merugikan. Tujuan lainnya yang tak kalah penting adalah memastikan bahwa rakyatlah yang berperan dalam menentukan pemerintahannya tanpa dibenturkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkuasa diposisi mereka yang dapat mengarah kepada tindakan-tindakan anarkis.

Untuk memastikan apakah situasi politik tidak sehat, dibawah ini beberapa contoh kecurangan yang sering terjadi didalam berdemokrasi:



  1. Membeli suara dengan cara memberi uang, barang-2/jasa-2 tertentu, atau menawarkan liburan kepada para pemilih.

  2. Lebih banyak kampanye negatif/hitam dibandingkan dengan memberikan ide, visi dan misi.

  3. Menyalahgunakan perangkat-perangkat keras/lunak pemilu untuk kepentingan golongan tertentu.

  4. Aparat-aparat pemerintah dan atau petugas pemilu yang tidak jujur untuk kepentingan golongan tertentu.

  5. Terjadinya kekerasan/pengrusakan/pemaksaan oleh golongan tertentu untuk kepentingan mereka.

  6. Adanya isu-isu yang mengancam dan atau menakut nakuti para pemilih.

  7. Menggunakan unsur SARA dalam berpolitik.

Apabila dalam satu pesta demokrasi terjadi salah satu atau bahkan semua contoh kecurangan seperti yang disebut diatas, maka secara natural akan terjadi dendam politik bagi yang kalah. Dendam politik tidak bermanfaat dan sangat merugikan karena hanya sekedar mematahkan, menjatuhkan produk politik dari lawan politiknya tanpa melihat manfaat produk politik tersebut bagi masyarakat luas yang membutuhkannya. Dendam politik ini semakin merugikan rakyat dan negara apabila kedua kekuatan politik itu tidak mendapat titik temu untuk menggolkan produk-produk politiknya yang diperlukan rakyat dan Negara. Apalagi mereka tetap menguasai masing masing posisinya di eksekutif atau legislative dan terus saling salah menyalahkan.

Namun walaupun ada dendam politik, apakah itu sama sekali tidak bermanfaat?. Terlepas dari dampak negatif yang disebutkan sebelumnya, bila kekuatan kekuatan politik itu mampu menyelesaikan dendam politik tersebut secara dewasa, maka negara tersebut mewariskan perjuangan politik yang sangat berharga ke generasi berikutnya.  Lalu, katakanlah bila tidak ada dendam politik, kedua kekuatan politik itu setuju saja dalam segala hal. Situasi inipun tidak baik, biasanya akan terjadi persengkongkolan untuk berkorupsi. Lagi lagi rakyat yang dirugikan dan negara bisa bangkrut.

Yang lebih sulit diselesaikan dari dendam politik adalah tidak adanya kepercayaan, saling curiga satu sama lain antar kekuatan-kekuatan politik tersebut. Biasanya ini akan terus berlarut larut, meluas dan berbuntut panjang karena tidak adanya kerja sama antar kekuatan politik itu untuk melaksanakan amanah rakyat.

Lalu komposisi politik yang bagaimana sebenarnya yang ideal didalam satu negara agar politik yang Kondusif dan damai itu tercapai?.
Perlu diketahui masyarakat, Kondusif maksudnya adalah hasil akhir dari situasi politik itu cendrung mengarah ke hal yang produktif. Misalnya, undang undang, kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang dibuat dan atau diputuskan oleh kekuatan politik tersebut -eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (MPR dan DPR)- menguntungkan rakyat/negara di bidang ekonomi, keamanan, pendidikan dan tehnologi dan lain lain sebagainya.
Perlu juga diketahui masyarakat bahwa kondisi damai itu adalah salah satu produk akhir atau hasil akhir setelah adanya pertikaian sebelumnya dari kekuatan politik tersebut -ketidak cocokan di eksekutif (Pemerintah) dan atau ketidak cocokan di legislatif (MPR dan DPR)- dalam menentukan kebijakan-kebijakannya. Kesepakatan merekalah yang menjadikan kondisi politik yang damai.

Juga, perlu diketahui bahwa dari segi kekuasaan, masyarakat sebaiknya mengerti ada empat kemungkinan komposisi kekuatan politik yang bisa terjadi di dalam satu negara berdemokrasi, dibawah ini asumsinya judikatif dianggap netral:



  1. Bila eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (MPR dan DPR) dikuasai oleh kekuatan politik yang berbeda, akan terjadi ketidak cocokan, perselisihan dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintahannya dibidang hukum, keamanan, ekonomi, tehnologi, pendidikan dll.

  2. Bila eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (MPR dan DPR) dikuasai oleh kekuatan politik yang berbeda, namun dalam perjalanannya bila kedua kekuatan politik tersebut setuju-2 saja dalam segala hal, situasi inipun bisa tidak baik mengingat timbulnya bahaya persengkongkolan untuk berkorupsi (Dulu dikenal dengan istilah KKN), timbul kekuasaan yang otoriter dll sebagainya yang merugikan rakyat dan negara.

  3. Bila eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (MPR dan DPR) dikuasai oleh kekuatan politik yang sama, situasi inipun tidak baik mengingat gampangnya timbul bahaya persengkongkolan untuk berkorupsi. Begitu juga akan timbulnya kekuasaan yang otoriter dll sebagainya yang merugikan rakyat dan negara.

  4. Bila eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (MPR dan DPR) dikuasai oleh kekuatan politik yang sama, namun para penguasa yang ada didalam kekuatan politik tersebut mempunyai pandangan yang berbeda dalam arti yang tidak setuju-2 saja dalam menentukan kebijakan-2, keputusan-2 pemerintahannya.

Lalu, bagaimana mencapai situasi politik yang Kondusif, damai itu bisa lahir dari keempat jenis komposisi politik diatas?. Atau pertanyaannya adalah, dari keempat komposisi politik diatas, yang mana bisa melahirkan situasi politik yang lebih Kondusif, lebih mengarah ke damai?.

Percaya atau tidak, komposisi politik yang pertama yang ideal, karena:



  1. Adanya proses filtrasi atau penyaringan dalam membuat keputusan-2. Dengan kata lain keputusan-2 itu tidak dibuat semaunya saja.

  2. Adanya unsur penyeimbang, maksudnya keputusan-2 atau kebijakan-2 yang akan dibuat tidak untuk kepentingan individu atau golongan tertentu saja.

  3. Adanya proses chek and re-check (uji ulang). Dari ketidak cocokan dan perselisihan tersebut para pelaku-pelaku politik diuji untuk melahirkan kesepakatan atas kebijakan-kebijakan, peraturan-peraturan yang dikeluarkannya. Menguji produktifitas kebijakan-kebijakan, peraturan-peraturan  tersebut.

  4. Mencegah persengkongkolan untuk berkorupsi.

  5. Memberikan pelajaran kedewasaan berpolitik dan contoh negarawan yang dapat diteladani bagi generasi berikutnya.

  6. Adanya pengawasan oleh masing masing kekuatan politik terhadap lawan politiknya.

  7. Adanya tekanan dari kekuatan politik lawan.

Dari point-point diatas, point 2, 6 dan 7 yang tidak dimiliki komposisi politik keempat yang kelihatannya juga baik.

Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir bila komposisi politik yang pertama terjadi di Indonesia seperti yang terjadi sekarang ini. Namun bila pada akhirnya tidak terjadi kecocokan dari kekuatan-2 politik tersebut, kapan saatnya masyarakat tahu dengan pasti bahwa rakyatlah yang harus turun tangan berperan dalam "menentukan" pemerintahannya kali ini tanpa tindakan anarkis dan atau diperalat oleh kekuatan-2 politik tersebut yang hanya bertujuan untuk mencapai kepentingan individual atau kepentingan golongan mereka sendiri.

Pertimbangannya adalah sebagai berikut:



  1. Bila kekuatan-2 politik tersebut mengadu domba dan atau memecah belah rakyatnya sendiri.

  2. Bila kekuatan-2 politik tersebut melakukan kekerasan/pemaksaan dalam upaya mencapai keputusan-2 nya.

  3. Bila kekuatan-2 politik tersebut bersengkongkol untuk korupsi.

  4. Bila kekuatan-2 politik tersebut sudah mengarah ke SARA.

  5. Bila kekuatan-2 politik tersebut tidak mementingkan agenda rakyat.

  6. Bila kekuatan-2 politik tersebut melakukan gerakan politik diluar UU atau hukum.

Akhirnya, keberhasilan suatu negara bernegara tidak sama sekali hanya tergantung dari sistem dan alat politik yang dimilikinya, tetapi kemampuan manusianya menggunakan sistem dan alat politik itu sendiri.

Katakanlah, sebaik apapun "sistem/perangkat" yang dimiliki tetapi dikelola oleh orang yang tidak benar maka hasilnya pun tidak benar, tetapi selemah apapun "sistem/perangkat" yang dimiliki tetapi dikelola oleh orang benar maka hasilnya akan benar. Jadi, obat atau remedi dari kericuhan politik yang berakar dari dendam politik, saling curiga dan tidak adanya kepercayaan antar lintas politik diatas adalah tergantung manusianya. Oleh karena itu pencegahanlah yang perlu dilakukan sejak dini yaitu dengan memastikan praktek-praktek dari 7 situasi politik yang tidak sehat diatas diberantas dengan mengutamakan hukum diatas segalanya. Dan itu adalah tugas yang paling berat yang dilakukan oleh rakyat berkerja sama dengan aparat yang benar.

Mudah-mudahan suatu saat nanti kita memiliki kedua "sistem dan manusia" yang benar, tetapi kalau hanya satu saja yang ada maka mudah-mudahan manusianya yang benar.

Seperti apa manusia yang benar yang dimaksud?. Sekedar intermezzo.
Aaah... sepertinya tidak jauh dari syair yang terdengar di "Dia Lelaki Ilham Dari Sorga" oleh kang Ebiet...hahaha.

Pengamat/Matias Tamba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun