Kain tenun Sumba ini tidak hanya digunakan dalam keperluan sehari-hari oleh masyarakat sumba, melainkan juga untuk keperluan penyambutan kelahiran, perayaan pernikahan bahkan untuk pengantar orang yang sudah meninggal.Â
Pemakaian kain tenun ini untuk orang yang sudah meninggal yaitu dengan cara membaluti seluruh tubuhnya dengan kain bermotif udang. Motif udang bermakna sebagai kebangkitan setelah kematian dan kehidupan abadi setelah keluar dari dunia fana.Â
Sebagian masyarakat sumba juga bertumpu kepada kain tenun ini sebagai mata pencahariannya. Dengan membuat dan menjual kain tenun, mereka dapat menyekolahkan anaknya dan memberi makan keluarga.
Pembuatan kain tenun sumba ini biasanya dibuat oleh remaja perempuan dan ibu-ibu. Anak-anak berusia 8-10 tahun sudah mulai diajarkan membuat kain tenun agar mahir dalam membuatnya.
Saat ini, kain tenun Sumba semakin marak dipakai oleh masyarakat khususnya kaum milenial. Motif kain tenun Sumba yang unik dan bahannya yang berbeda dengan jenis kain yang lain berhasil menarik perhatian masyarakat.Â
Selain itu, sekarang masyarakat lebih tertarik menggunakan pakaian yang berbahan dasar alami agar tidak merusak lingkungan. Bahkan sudah banyak pameran yang menampilkan kain tenun Sumba ini.Â
Tahun 2017 kemarin, pameran kain tenun Sumba timur diselenggarakan oleh Dian Sastrowardoyo. Acara tersebut bertajuk ‘Lukamba Nduma Luri – benang yang memberi ruh, kain yang memberi hidup’.Â
Harapan Dian Sastrowardoyo melalui acara yang telah dilaksanakan tersebut, masyarakat modern terutama di perkotaan bisa lebih mengapresiasi kain tenun Sumba.Â
Tidak hanya di Indonesia, kain tenun Sumba juga melenggang sampai ke benua Eropa. Museum Basel di Swiss memiliki 5000 lembar kain tradisional di Indonesia dan 2000 di antaranya merupakan kain tenun Sumba.Â
Kain tenun Sumba juga banyak dimiliki sejumlah kolektor dan museum di Belanda, Australia, dan Amerika Serikat. Hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi bangsa kita untuk selalu melestarikan budaya kita.Â