Identitas Buku : Seni Membaca Kepribadian Seseorang
Tahun Terbit : 2019
Penerbit : Buku Kompas
Jumlah Halaman : 228
Harga : 70.000
Peresensi : M Syifaul Khoir
Karakter adalah tentang kualitas-kualitas. La tidak seperti sifat, watak, atau kepribadian, yang memiliki sifat sisi positif dan negatif. Tokoh yang sangat lurus, Bung Hatta, konsisten dengan jadwal membaca bukunya setiap hari, dan tetap mengajar, walau dalam pembuangan! Itulah karakter kerajinan.
Walau saya sudah sekitar 20 tahun belajar
mengembangkan karakter, saya masih kekurangan hikmah saat menulis buku ini. Sering saya tidak tahu apa yang ditulis.
Maka, ketika akhirnya kata demi kata terangkai jua, saya
memanjatkan puji syukur kepada Than yang Mahakuasa,
atas segala hikmat yang diberikan oleh-Nya.
Dengan diri saya
sendiri, saya tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu
seolah-olah pekerjaan saya sendiri. Tidak! Kesanggupan saya
adalah pekerjaan Allah. Apakah kita adalah pribadi yang sama, di dalam diri dan yang terlihat di luar? Ketika saya muda, saya berusaha memberi kesan positif kepada orang- orang, dan senantiasa berusaha untuk menyenangkan orang.
Maka, saya melakukan hal-hal yang terkadang tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan, atau tidak selaras dengan
prinsip dan nilai yang saya yakini. Saya tidak berkarakter!
Apakah kita bertindak konsisten, ada atau tidak ada orang yang melihat? Dulu, jika ada orang di sekitar, saya akan jadi
orang yang berbeda, dibandingkan ketika saya sendiri. Ketika ada orang lain, saya berusaha tampil dengan baik dan benar.
Sebaliknya, ketika sendiri, saya tergoda untuk berpikir dan/atau melakukan hal-hal yang sebetulnya saya tahu, tidak baik. Jadi, saya tidak konsisten, dengan demikian saya tidak berkarakter! Karakter adalah kualitas yang dapat dan harus dibangun. Walau setiap orang dilahirkan dengan memiliki
berbagai kelebihan bawaan, tetap saja kita perlu mengembangkan diri.
Itulah yang akan dibahas dalam buku ini melalui pengembangan karakter yang perlu diusahakan melalui berbagai cara dalam proses sepanjang hidup. Karakter
diartikan sebagai kualitas, yang berarti hanya hal yang positif, benar, dan baik yang dikategorikan sebagai karakter. Dengan
kata lain, menurut definisi ini, tidak ada yang disebut karakter buruk atau karakter negatif.
Karakter hanyalah sikap dan perilaku yang berkualitas. Bentuk jamak, kualitas-kualitas, menunjukkan bahwa ada banyak sikap dan/atau perilaku berkualitas. Dalam kurikulum Character First! Ada 49 kualitas karakter yang bisa dipelajari dan dijadikan ciri kepribadian kita.
Pengertian berikutnya, dari definisi ini, bahwa kualitas-kualitas itu teguh,
yaitu kuat, kokoh, dan tidak mudah digoyahkan. Artinya, kita disebut berkarakter jika kualitas sikap dan perilaku kita tidak mudah goyah dalam situasi/kondisi apa pun. Keteguhan itu
juga diartikan sebagai kuat dalam jangka waktu yang panjang. Jadi, jika seseorang menunjukkan suatu perilaku positif, tetapi
tidak konsisten, belum dapat dikategorikan sebagai karakter.
Kita sedang tidak mendefinisikan pribadi yang sempurna,
karena hal itu hanyalah mitos. Tidak ada pribadi yang sempurna; setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kualitas yang teguh tidak dimaksudkan sebagai manusia sempurna yang tidak memiliki cacat-cela, melainkan
tentang konsistensi dalam sikap dan perilaku ya teruji dalam kurun waktu yang relatif panjang. Karakter adalah kualitas yang dapat dan harus dibangun.
Walau setiap orang dilahirkan dengan memiliki berbagai kelebihan bawaan, tetap saja kita perlu mengembangkan diri.
Ada yang memang membentuk kualitas tertentu sejak muda sekali, ada pula yang bar mengusahakannya setelah lebih
dewasa dan berumur. Karakter bukanlah sesuatu yang merupakan bawaan sejak lahir dan tidak dapat diubah, seperti
sidik jari anda. Itu adalah sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita untuk membentuknya. Tidak banyak orang yang
bertekad untuk membangun kualitas pribadi sejak kecil, seperti Bung Hatta. Sebagian justru menyadari kelemahannya saat dewasa atau malah sudah berumur. Kita cenderung
bereaksi terhadap aksi yang dialami.
Secara naluriah, kita bereaksi keras saat dikerasi, atau bersikap lembut saat diperlakukan dengan lembut. Maka, Tindakan itu didasarkan pada sesuatu yang terjadi diluar kita. Kita cenderung bereaksi terhadap aksi yang dialami. Secara naruliah, kita bereaksi
keras sat dikerasi, atau bersikap lembut saat diperlakukan dengan lembut. Maka, tindakan itu didasarkan pada sesuatu
yang terjadi di luar kita.
Dalam pengertian merespons, kita melakukannya berdasarkan prinsip dan ada nilai yang ada dihati, bukan membalas aksi yang kita terima. Maka respons kita ditentukan dari dalam, bukan sebaliknya dari apa yang terjadi di luar diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H