Mohon tunggu...
@Bapaksocio_
@Bapaksocio_ Mohon Tunggu... Penulis - Pengajar dan juga Pembelajar Aktif

Menyukai kajian seputar isu pendidikan, sosial, budaya, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Orang Aceh dalam Memuliakan Bulan Rajab

10 Februari 2024   10:36 Diperbarui: 10 Februari 2024   17:37 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi Penulis

BULAN Rajab merupakan salah tiga bulan yang sangat dihormati oleh orang Islam, termasuk orang Aceh. Rajab adalah momen dimana umat Islam meningkatkan kualitas dirinya, baik tentang kedekatan kita kepada Allah (taqarrub ilallâh) maupun perbuatan baik (amal saleh) kita kepada sesama. Sebuah peristiwa besar dalam Islam pun terjadi di bulan Rajab, yakni peristiwa Israk dan Mi’raj. Melalui peristiwa inilah Rasulullah SAW menerima perintah shalat lima waktu untuk kemudian disampaikan kepada umatnya.

Bagi orang Aceh, memasuki bulan Rajab sama halnya dengan memasuki ruang waktu yang di dalamnya terdapat momentum untuk membersikan jiwa dari dosa-dosa dalam bermasyarakat. Sehingga di Aceh ada hadih maja –peribahasa Aceh—yang menyatakan; Rajab buleun peugleh tuboh, Sya’ban troh buleun peugleh hatee, Ramadhan adalah bulan ibadat punoh, beusunggoh-sunggoh rakan bohate. (Rajab bulan membersihkan tubuh atau jiwa, Syaban bulan membersihkan hati atau nurani, Ramadhan bulan beribadah penuh, bersungguh-sungguhlah rakan buah hati)

Maka itu, di Aceh ada satu tradisi yang melekat dan sudah menjadi warisan sosial masyarakat Aceh untuk dilaksanakan di bulan Rajab, yakni tradisi toet apam (memasak apam).  Apam, merupakan penganan yang memiliki kemiripan dengan Serabi. Bentuknya bulat, terbuat dari tepung, air putih, garam dan gula pasir serta dicampur santan. Sepintas memang, Apam sangat mirip dengan dengan Serabi, hanya saja ukuran Apam lebih besar.

Apam dalam filosofi orang Aceh

Orang Aceh memandang Apam tidak hanya penganan biasa, yang hanya disantap di bulan Rajab dan menjadi teman saat istirahat dari bekerja. Lebih dari itu, Apam memiliki makna tersendiri bagi orang Aceh.

Apam diyakini oleh orang Aceh, sebagaimana tersebut di dalam buku Pernak Pernik Pidie (2018) berasal dari bahasa Arab yaitu Afwan yang berarti saling memaafkan. Jadi di masa dulu orang Aceh menjadikan bulan Rajab sebagai momen untuk saling bermaafan dengan sesamanya.

Orang Aceh meyakini dan berpandangan, akan sangat mulia rasanya saling meminta maaf terhadap kesalahan dalam kehidupan keseharian antar sesama dengan cara saling berbagi penganan yang bernama Apam. Hal ini juga berkaitan dengan dua bulan selanjutnya, yakni Ramadhan, dimana semua umat Muslim diharapkan sudah suci jiwanya dari segala bentuk dosa dan kesalahan dengan sesamanya, guna mendapatkan pahala ibadah yang berlibat ganda tanpa ada hambatan oleh dosa-dosa sebelumnya. Di bulan inilah, Rajab, orang Aceh membudayakan aktivitas silaturahim dengan warga dan tetangga-tetangganya.

Awalnya, mereka datang ke rumah tetangganya bukan dengan tangan kosong, melainkan membawa makanan yang terbuat dari tepung beras dicampur dan santan. Oleh karena itu dari kebiasaan membawa makanan dalam bersilaturrahmi tersebut, berkembanglah sebutan untuk makanan tersebut dengan sebutan kue Afwan. Disamping itu, di keseharian masyarakat Aceh berkembang satu cerita yang sumbernya masih belum terang berangkat dan berawal dari mana. Namun demikian masyarakat Aceh meyakini dan menyampaikan cerita itu lintas generasi dan turun temurun.

Syahdan, disebutkan bahwa dulu ada seorang pemuda yang dihukum oleh warga melakukan sebuah pelanggaran besar. Ia tidak pergi ke mesjid untuk menunaikan ibadah shalat jumat selamat tiga kali berturut-turut. Tiga kali tidak shalat jumat dan berturut-turut bagi seorang laki-laki normal, sudah dicap sebagai kafir. Karena itu ia dihukum oleh warga disekitarnya untuk meminta maaf atas kesalahannya tersebut.  Hukuman yang diberikannya adalah memasak sebanyak 1000 kue sebagai permohonan maaf (Afwan) untuk kemudian diantar ke mesjid dan dinikmati bersama.

Namun demikian, seiring berjalan waktu, lama-kelamaan sebutan afwan ini mengalami pergeseran (mungkin karena pengucapannya yang berbeda-beda), sehingga namanya “terplesetkan” dari yang semulanya afwan  menjadi  Apam.

Kini, tradisi berbagi dan memasak Apam sudah menjadi bagian kebudayaan orang Aceh, yang setiap bulan Rajab orang Aceh ramai-ramai memasak Apam. Khususnya di Pidie, dengan budaya Acehnya yang sangat khas, tradisi memasak Apam dilembagakan oleh pemerintah daerah dalam sebuah perda (peraturan daerah) sebagai suatu kegiatan yang wajib dilaksanakan di instansi pendidikan dan masyarakat (di level kampong) di setiap bulan Rajab. Pun demikian, seiring dengan tradisi dan budaya itu, bulan Rajab sudah dikenal dengan sebuah bulan Apam oleh orang Aceh.

Tradisi Toet Apam di Pidie

Pidie, dengan segala kekhasannya, sangat mewarnai tradisi di bulan Rajab dalam hal toet Apam (masak Apam). Orang Pidie menjadikan prosesi masak Apam itu dilakukan secara bersama dan ramai-ramai di tempat yang sudah disepakati bersama. Dan lazimnya, tempat yang mereka pilih adalah ruang publik seperti Meunasah atau Bluko (poskamling).

Disini mereka memasak secara sama-sama, berbagi dengan sesama dan siapapun warga yang melintas di hadapan mereka, serta menikmatinya bersama di tempat tersebut. Dari sini, kita juga melihat satu nilai pokok masyarakat yang masih berkembang di Pidie Aceh yakni nilai kebersamaan dan kegotong-royongannya.
Oleh karena pelembagaan dan tradisi toet apam inilah, Pidie berhasil mendaftarkan, mempertahankan dan kemudian mendapatkan penghargaan untuk jenis warisan budaya yang satu ini. Tradisi toet apam di Pidie mendapatkan status Warisan Budaya Takbenda (WBTb) yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI tepatnya, pada tahun 2022.

Nah, apabila kita melihat cara memasak Apam yang terbilang sangat unik dan masih sangat tradisional –meskipun sekarang teknologi sudah masuk dan modern dalam hal masak-memasak. Orang Aceh masih menggunakan tungku serta ceuprok tanoh (wadah tanah liat) adonan Apam dimasak di atas arang dibantu dengan ubeue (daun kelapa kering). Cara memasak ini dapat membuat bagian bawah Apam terasa renyah dan wangi, serta bagian dalamnya empuk, dan bagian atasnya terlihat berpori.

Begitu juga dengan cara menikmati Apam. Orang Aceh memiliki caranya tersendiri, yang apabila digeneralisi maka caranya terbagi ke dalam dua golongan. Pertama, golongan Apam yang dimakan dengan dengan kuah santan, untuk jenis ini disebut dengan istilah Apam Meukuwah. Kedua, Apam yang dimakan dengan membubuhkan kelapa parut dan dicampur dengan gula, untuk jenis ini disebut dengan istilah Apam U. Baik apam meukuwah dan apam  u, keduanya memiliki sensasi dan rasa yang sama ketika kita menikmatinya. Yaitu, Apam yang kenyal dan gurih. Nyanban

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun