MEMASUKI bulan bulan penghujan (September, November dan Desember) orang Pidie sudah terlihat sibuk dengan aktivitasnya yakni "meugoe". Ya bagi orang Pidie, meugoe (turun sawah) dan sederetan aktivitas adat-adatnya, bisa dikatakan, sudah menjadi semacam ritus budaya; dilembagakan dan dibanggakan hingga sekarang.
Di momentum turun sawah ini, jangan heran apabila kita memasuki daerah-daerah pelosok di Pidie, pemandangan indah nan memanjakan mata terlihat begitu menganggukan, di mana orang-orang terlihat berkelompok dalam ukesibukannya beut bijeh (cabut benih padi) dan sebagian sedang dalam proses pula padee (menanam padi).
Pidie dan meugoe memang tidak bisa dipisahkan. Hal ini karena sebagian besar masyarakat Pidie memiliki kesibukan dan kehidupan ekonominya pada sektor tersebut. Bahkan, pada logo Pidie tersemat slogan "Pangulee buet ibadat, Pang ulee hareukat meugoe". Yang berarti bagi orang Pidie, ibadah dan bertani sebagai perbuatan sebaik-baiknya dan sebaik-baiknya mata pencaharian.
Oleh karena itu, jangan heran, bila saat musim turun sawah tiba, khususnya ketika mulai masa cocok tanam padi, maka pasar-pasar di Pidie yang pada hari-hari biasanya ramai menjadi mereda --dan bahkan sepi---dari para pembeli. Jalan-jalan di pusaran Pasar pun terlihat lebih lowong dari biasanya. Namun demikian, akan ada saatnya Pasar-pasar yang sepi itu ramai kembali, bahkan lebih ramai dari hari-hari biasanya, yakni ketika tiba dan usainya musim panen padi.
Sebagai wilayah yang masih memegang teguh adat dan budaya, Pidie memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri dalam hal cocok tanam, yang masih dijaga oleh masyarakat Pidie hingga saat ini, yakni budaya meugoe. Budaya meugoe merupakan bentuk keteraturan sosial yang mengatur cara bercocok tanam di sawah, mengatur pola hubungan sesama petani di sawah, mengatur pola pengaliran dari sawah seseorang ke sawah orang lain, serta mengatur sanksi adat bagi pelanggar atau orang yang berkelahi dalam lingkungan persawahan.
Peran Keujruen Blang
Para petani di Pidie, ketika hendak meugoe (turun sawah), maka mereka terlebih dahulu menunggu proses dari Keujruen Blang, yang mana Keujruen Blang ini merupakan orang yang sangat paham tentang duduk perkara perihal meugoe dan blang. Dengan demikian, posisi Keujruen Blang adalah posisi yang ditempati oleh meusoe-soe ureueng, yang dalam arti lain, tidak ditempati oleh sembarang orang.
Sedikit mengulas tentang cara kerja Kejruen blang. Keujruen Blang sebelum memberi perintah (red;amaran) untuk turun sawah kepada, maka lazimnya masyarakat sudah terlebih dahulu bermusyawarah dengan orang yang disebut Malem --yang dipercaya paham akan kondisi cuaca dan memiliki insting baik untuk waktu ideal turun ke sawah.
Adalah sebuah pantangan dan dikatakan hana roih (red; pamali) bila tidak mengindahkan pola keteraturan yang sudah menjadi warisan sosial di bidang meugoe ini. Barangsiapa yang melangkahi proses keujruen blang dalam aktivitas meugoe, diyakini oleh orang Pidie akan berakibat gagal atau tidak maksimalnya hasil panen nantinya.
Setelah mendapat instruksi Keujruen Blang, baru kemudian para petani memulai aktivitas meugoe, yang diawali dengan acara peugleh lueng (pembersihan anak sungai), peutron langai (pembajakan lahan sawah), pileh bijeh (memilih benih), tabu bijeh (menabur benih) , seumula (menanam padi), keunduri blang (keunduri blang) dan koh pade (memanen).