saya "bermastautin" selama setengah pekan di Hotel Indonesia, Kempinski, Jakarta, memberikan sebuah kesan --juga kenangan---yang terketam dengan kuat pada sanubari saya, khususnya saat berada di Restaurant. Dengan menikmati keteraturan sosial yang ada dan berjalan ajeg di situ, menikmati sarapan dan makan malam yang beraneka ragam, dengan orang yang beraneka ragam pula; ras, agama, suku bangsa, budaya, warna kulit, bola mata, dan setumpuk keragaman lainnya. Saya melihat, betapa indahnya sebuah keberagaman yang terhidang di dalam Restoran yang megah dan modern tersebut. Saya memperhatikan betapa indahnya, orang-orang yang hadir di situ, datang, memilih makanan dan minuman, lalu kemudian duduk melahap secara bersama.
PENGALAMANMereka berbincang dan tertawa bersama, sementara di piringnya bertumpuk makanan yang berbeda. Sebahagiannya penuh dengan sayuran dan buah, sebahagian yang lain penuh dengan makanan yang terbuat dari gandum, juga ada yang makanan olahan daging piringnya, di luar itu  yang piringnya bertumpuk kombinasi dari semua jenis makanan sayur, buah, daging, juga ada.
Dari makanan kita bisa melihat latar belakang, suku bangsa, dan bahkan agama orang-orang. Juga dari makanan, kita bisa mengetahui identitas sosial yang dibawa untuk duduk bersama. Dan dari itu semua, kita dapat memahami bahwa di situ ada keberagaman.
Ya, keberagaman adalah sesuatu yang indah yang Allah hadirkan pada umat manusia. Dari keberagaman tersebut, kita bisa belajar dan mengambil ibrah pendidikan, yang salah satunya adalah, tentang sang Khalik, Allah SWT, yang memiliki Kuasa yang sangat Maha. Ia menciptakan makhluk-Nya dengan "beragam warna". Sehingga, manusia-manusia, yang memiliki daya akal yang sehat, ia mampu mengambil itu sebagai sebuah pelajaran berharga dan membuatnya semakin taat.
Maka itu, sungguh sangat disayangkan, bila keberagaman  justru dipandang sebagai sebuah ancaman yang membahayakan dalam masyarakat.
Tentu, kita kita menampik, beberapa konflik terjadi di berbagai daerah yang masyarakatnya punya keragaman tinggi. Juga, kita harus mengakui, di beberapa daerah yang keragamannya tinggi, masyarakatnya berjalan dengan adem ayem tanpa ada pertengkaran dan gesekan apapun pun.
Keberagaman, sejatinya  menjadi modal bagi masyarakat di daerah manapun itu untuk ditujukan dan menggapai kemajuan hingga ke puncak peradaban yang tinggi.
Pertanyaanya? Mengapa realitas yang sama (red; keberagaman) menghadirkan keadaan yang berbeda pada wilayah yang satu dengan lainnya. Saya kira, jawabannya adalah pada cara pengelolaanya keberagaman.
Keberagaman itu membutuhkan pengelolaan yang benar dan tepat. Sering kita dengar, bahwa keberagaman yang mampu dikelola dengan baik, ia menjadi anugerah yang dampaknya positif bagi masyarakat. Sebaliknya, keberagaman yang tidak mampu dikelola dengan baik, ia menjadi musibah yang dampaknya negatif bagi masyarakat tersebut. Slogan ini benar adanya.
Lantas, pertanyaan selanjutnya, bagaimanakan cara mengelola keberagaman? Â Mengelola keberagaman tidak sesusah yang kita bayangkan. Sosiologi, sebagai ratunya ilmu sosial, menawarkan formula yang bisa kita aplikasikan dalam hubungan antar sesama. Ia hanya membutuhkan kita untuk membangun, dan seterusnya, membudayakannya. Yakni beberapa sikap dalam kehidupan masyarakat secara komunal. Seperti sikap toleransi, empati sosial, dan nasionalisme, adalah sederetan sikap yang mesti kita kembangkan dalam masyarakat kita, agar keberagaman tidak menjadi musibah dan malapetaka.
Toleransi, sebagai suatu sikap yang menerima perbedaan, menjadi hal dasar dalam merawat keberagaman yang ada. Indonesia, terkenal pada berbagai negara di dunia karena berhasil dalam mengedepankan sikap toleransi. Pun, belum ada negara di dunia yang memiliki dan mengakui agama resmi sejumlah dan sebanyak Indonesia.
Kehidupan beragama di Indonesia dengan tingkat toleransinya sudah berjalan dengan ajeg dalam kurun waktu yang sangat lama. Hanya saja, gerak dan rotasi perpolitikan di Indonesia dewasa ini agak dan terlihat kurang baik bagi keberagaman kita.
Masyarakat kita sudah mulai dan mudah untuk melakukan tidak yang disosiatif; menghujat satu sama lainnya, saling merendahkan, dan memiliki sikap fanatik buta terhadap satu dua ketokohan yang dibangun oleh media massa dan segolongan kelompok di alam nyata. Kita harus mengakui itu. Oleh karenanya, pola yang sudah, yang sudah berjalan dengan baik, harus mampu dan terus kita jaga untuk kemudian diadopsi oleh anak-anak kita sebagai suatu kebiasaan dan menjadi bagian dari kebudayaannya.
Selain itu, sikap-sikap yang muaranya pada perpecahan dan pengikisan bangunan keberagaman juga perlu dihindari, diminimalisir, dan dihilangkan. Seperti rasisme, etnosentris, fanatisme buta, dan sikap-sikap yang berangkat dan bersumber dari kedaerahan.
Lazimnya, kita dengan budaya kita --yang sudah kita anggap alamiah dan nyaman itu, bertemu dengan budaya orang lain, maka yang hadir dalam pikiran kita adalah, budaya kita lebih tinggi ketimbang orang lain. Pun, sikap yang muncul dari pikiran-pikiran semacam itu, tak lain dan tak bukan, sikap diskriminasi yang ujungnya membeda-bedakan perlakuan.
Maka itu, sebagai warga dari negara yang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa memiliki keberagaman tinggi, kita harus bertanggung jawab dan mengambil peran untuk terus menjaganya. Pikiran dan sikap yang membeda-bedakan, menilai rendah, dan mengkultus satu dan lainnya, sudah sepatutnya kita buang jauh-jauh dari benak kita. Jangan sampai pikiran itu menjadi muasal pada perlakuan kita yang pada akhirnya lahir pertikaian-pertikaian yang merusak tatanan sosial kehidupan. Nyanban
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H