Mohon tunggu...
Muhammad Syarifudin
Muhammad Syarifudin Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Petroleum Engineer ITB

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudahi parodi, Perangi korupsi, Selamat(kan) Hari Antikorupsi 2015!

15 Desember 2015   20:42 Diperbarui: 15 Desember 2015   21:22 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halo Halo Bandung!

 

Turut berduka bagi negeri kita yang sedang tersandung

Kejujuran tak kunjung datang pada sebuah komidi dan parodi yang tak berujung

Suguhan politik tak tentu juntrung

Seperti badai yang datang dikala mendung

 

Hai putra bangsa insan persada tetaplah peduli dan janganlah kau menjadi bingung

Terkecoh oleh berita berita si belang hidung

Awas hati hati ada yang sedang berebut untung

Sedangkan rakyat yang lapar hanya sabar dan juga bingung

 

Bahtera kemandirian bangsa kita tak berpelampung

Para dewan yg seharusnya bersidang tak jua berbatang hidung

Masyarakat jadi bingung dan juga linglung

melihat negeri ini terkatung atung

 

Bulan sudah berada pada angka duabelas

Sedangkan tanggung jawab RUU hanya menjadi rencana tak berbekas

Sang wakil rakyat mengapa tidak bergegas

Untuk segera kembali bertugas

 

E e e... Korupsi bukan hanya tentang materi

Juga menyoal tentang berani berintegriti

Bila kendali dan disiplin tak juga berfungsi

Karena inefisiensi proses dan komidi parodi

 

Berapa banyak yang merugi

Dari lalai yang begini

Janganlah kita lelah berkerjakeras dan berhenti

Melawan setiap denyut nadi korupsi

 

Meski kami sedang UAS nggak berarti kami Malas

Meski kami akan libur, tapi kami tidak tidur

Tolak hey tolak semua bentuk Korupsi

Jangan berhenti tuk tetap sederhana mawas diri

 

Kami tak akan berhenti menuntut

Segala laku adil yang tak patut

Korupsi yang membuat negeriku karut marut

 

Sudahi parodi, Perangi korupsi, Selamat(kan) Hari Antikorupsi 2015!

 

Sedikit untaian kekecewaan, harapan, dan semangat dari saya, mahasiswa pemimpi. Mahasiswa yang dengan naif memimpikan negeri Indonesia tercinta lepas dari jerat dan belenggu tindakan terendah yang dapat dilakukan manusia, korupsi!

Republik Indonesia, negara yang telah 70 tahun mencicipi nikmatnya menjadi negara yang merdeka. Tak sedikit lika-liku yang dialami Indonesia dalam perjalanannya sebagai bangsa dan negara kesatuan. Bhineka tunggal ika, pancasila, persatuan, dan kesatuan menjadi prinsip-prinsip yang selama ini terus mengawal negeri ini dalam mencapai mimpi-mimpi mulianya. Berbagai upaya pembangunan dan kemajuan yang relatif berhasil diikuti kesenjangan sosial yang cenderung melebar serta pendekatan legalistik dan transaksional yang konsumtif, kolutif, koruptif, dan manipulatif. Semangat bermusyawarah semakin terkikis.

Sudah cukup fakta-fakta untuk menyengat marwah bangsa dan menusuk rasa keadilan dengan aneka ragam kasus yang terjadi. Korupsi, tindak kriminal, banjir, premanisme, pelanggaran lalu lintas, adalah hal yang tidak asing lagi untuk telinga kami, penghuni bangsa. Dari lapis bawah hingga jajaran teratas tak lepas dari tindakan-tindakan yang sejujurnya, tidak patut dilakukan oleh bangsa yang memiliki martabat. Banyak orang tahu apa yang baik dan berbicara mengenai kebaikan namun nyatanya tindakan tak sejalan dengan ucapan.

Sebagai bangsa yang dianggap memiliki identitas bersama dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan sejarah, Presiden Jokowi pernah menyatakan perlu melakukan gerakan revolusi mental lewat pendidikan untuk memperbaiki karakter bangsa Indonesia. Menurut beliau gerakan ini bertujuan menyuburkan kembali karakter orisinal bangsa yakni nilai-nilai semangat juang optimisme, kerja keras, gotong-royong, ramah, budi pekerti, santun, tata krama, memperkuat tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta memperkokoh karakter bangsa sehingga dapat membuat rakyat sejahtera. Namun, beliau sendiri pun tidak tahu mengapa dan tanpa menyadarinya sedikit demi sedikit karakter itu berubah. Yang lebih parah lagi adalah tidak ada yang mengerem atau mengingatkan. Hal inilah yang merusak mental. Tak penting lagi untuk kita tahu dari mana dan siapa yang memulai kekacauan ini.

Revolusi mental yang dimaksud Presiden Jokowi adalah merubah sudut pandang terhadap kebiasaan yang dilakukan oleh mayoritas dan dianggap benar menjadi melakukan segala sesuatu yang memang mengandung kebenaran hakiki. Perubahan sudut pandang itu harus dimulai dari diri kita sendiri dengan pendidikan karakter di dalam keluarga. Dari keluarga, semua bermula.

 KETEGUHAN YANG SEAKAN MENGHILANG

Di dalam keluarga kepribadian dan kultur manusia dibentuk. Keluarga adalah lembaga pendidikan alamiah dimana proses pendidikannya tanpa didramatisasi atau didesain secara rumit dengan materi meliputi seluruh bidang kehidupan, dengan metode sesuai keadaan yang sesungguhnya, dan evaluasinya dilakukan secara langsung.

Budaya Indonesia yang sarat akan kearifan lokal yang diajarkan secara turun menurun, nampaknya tidak begitu memiliki pengaruh besar saat ini. Tindak korupsi yang seringkali merugikan bangsa dan orang lain, dilakukan oleh mereka tanpa mengenal batasan kelas sosial. Mulai dari mereka yang naik dan turun mobil hingga mereka yang mengemis untuk dapat melanjutkan hidup boleh jadi pernah melakukan tindak korupsi. Perlu diingat, korupsi tidak melulu tentang materi tapi bagaimana kita berani berintegriti.

Masih hangat dalam ingatan, tentang suguhan politik yang kita terima akhir-akhir ini. Orang nomor satu yang mengaku sebagai wakil rakyat, terlibat dalam kasus yang tidak pantas untuk seorang yang berpendidikan setinggi itu. Ternyata pendidikan saja tak cukup untuk menyelesaikan permasalahan moral ini.

Namun jika melihat kesisi yang lain, kita sebagai rakyat juga sering kali tidak sadar telah melakukan tindakan koruptif. Menerobos lampu merah, masih menggunakan jasa calo, berbohong, dan tindakan-tindakan kecil lainnya yang secara tidak sadar telah memupuk karakter kita menjadi pribadi yang koruptif.

Semua kejadian yang kita hadapi, membuat kita termenung, apakah kita tidak pernah mendapatkan pendidikan karakter di dalam keluarga? Rasanya hampir semua orang akan menjawab ‘pernah’. Namun apakah benar-benar pendidikan yang kita dapatkan?

Kebanyakan orang tua cenderung mempersalahkan keadaan anak mereka yang berkarakter buruk. Mereka sering menyatakan cara mereka dibesarkan yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi lain yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Tidak melihat bahwa sudah benarkah cara mendidik yang mereka lakukan.

Cara mendidik yang terkadang hanya berupa ucapan dan tidak ditularkan melalui contoh perilaku orang tua. Hal ini lah yang kiranya membuat generasi muda, sang penerus bangsa, seakan lupa, ada nilai kearifan lokal yang seharusnya tetap kita jaga. Kearifan lokal yang jika terus dipupuk akan menjadi nilai integritas yang akan terus menjaga kita beretika.

 TIGA NILAI UTAMA

Dapat dikatakan karakter yang saya mliki dan pegang sampai saat ini merupakan hasil pendidikan keluarga saya yang terbentuk melalui pembiasaan yang membutuhkan waktu,  komitmen, dan disiplin untuk membentuknya dan merupakan tanggung jawab utama dan terutama dari orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan anak-anaknya selain sekolah dan masyarakat.

Dari apa yang saya rasakan selama ini, ada tiga nilai-nilai utama yang coba diteruskan oleh orang tua saya melalui nasihat dan perilaku. Berikut adalah tiga nilai utama dalam pembentukan karakter antikorupsi

1. Menanamkan Nilai Kejujuran ( Kejujuran, berani, tanggung jawab).

Secara teori, semua orang akan tahu dan setuju bahwa kejujuran adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh setiap individu. Sayang, tidak semuanya dapat berani untuk berkomitmen menanamkan kejujuran disetiap perilakunya.

[caption caption="Sumber Gambar : http://4.bp.blogspot.com"]

[/caption]

Seringkali, keteguhan kita untuk bersikap jujur luntur ketika kita berada dalam kondisi salah dan terdesak. Namun kedua orang tua saya selalu menanamkan bahwa, tidak ada toleransi untuk ketidak jujuran, dan kami tidak mengenal istilah ‘Bohong Putih’ yaitu berbohong untuk kebaikan.

Kedua orang tua saya sangat menekankan, sejelek apapun dan sepahit apapun kondisi yang kita alami, tetaplah berani untuk berkata jujur.

2. Menghargai Segala Proses (Kerja Keras, Disiplin, Sabar, Mandiri).

Sistem pendidikan yang ada di Indonesia, menimbulkan tuntutkan besar terhadap siswa. Siswa dituntut untuk terus menguasai seluruh mata pelajaran yang di rancang oleh kurikulum pendidikan.

Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang tinggi juga tidak kalah  gencar disuarakan oleh para pendidik dan orang tua. Sistem yang ada, orang tua yang absen dalam memberikan solusi, tidak jarang membuat siswa memilih jalan pintas untuk memuaskan guru dan orang tua dengan segala tuntutannya.

[caption caption="Sumber Gambar : https://pmblab.files.wordpress.com"]

[/caption]

Orang tua saya, tidak pernah sekalipun menuntut saya untuk mendapatkan nilai akademik yang bagus. Namun hal ini bukan berarti saya sebagai anak tidak lagi memiliki semangat untuk berprestasi, justru saya dapat menjalani segala proses pembelajaran dengan lebih tenang tanpa tuntutan berlebihan.

Dapat berprestasi bukan karena takut, namun untuk dapat membanggakan beliau, dan dapat menghargai setiap proses yang saya lalui. 

3. Kesederhanaan itu Penting (Sederhana, Adil, Kepedulian).

Pernyataan ini bukan berarti kita tidak boleh menikmati karunia materi yang diberikan Tuhan. Tapi perlu ada batasan-batasan yang membuat diri kita tidak terlena oleh karunia dari Sang Maha Pengasih.

Membiasakan diri hidup sederhana, baik dalam pembicaraan, tingkah laku maupun dalam pergaulan adalah merupakan sikap hidup yang utama dan menjadi pangkal keselamatan. Hidup sederhana artinya hidup dalam ukuran atau kadar yang wajar, tidak melebihi dan tidak mengurangi. 

[caption caption="Sumber Gambar : http://bahasa.aquila-style.com"]

[/caption]

Sikap hidup seorang dalam menghadapi orang lain disebut sederhana adalah apabila dalam berbicara dan bertingkah laku ia tidak sombong, angkuh dan arogan, tidak menilai diri sendiri terlalu terlalu tinggi, sedang menilai orang lain rendah, remeh, dan tidak ada harganya sama sekali. Tetapi disamping itu, iapun tidak menilai diri sendiri terlalu rendah, terlalu remeh, terlalu hina, sehingga ia senantiasa dalam keadaan kecut, takut dan merasa diri sendiri tidak ada harganya dalam berhadapan dengan orang lain.

Dengan sikap sederhana, kita dapat lebih menghargai hal-hal kecil yang kita miliki, lebih dapat bersyukur atas segala keadaan yang ada, dan diharapkan rasa empati yang tumbuh ini dapat menjadi modal awal kita untuk dapat berguna bagi sesama.

Ketiga nilai ini tidak akan melekat begitu saja pada diri seorang anak. Perilaku dan contoh dari orang tua menjadi kunci. Perlu waktu, komitmen, dan kesabaran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai dasar yang menjadi modal para generasi penerus dalam menjalankan kehidupannya. 

 HARAPAN MASIH ADA

[caption caption="SSumber Gambar : http://bahasa.aquila-style.com"]

[/caption]

Sesungguhnya apa yang kita tuai saat ini adalah yang kita tanam dihari lalu, dan yang kita nikmati dimasa mendatang akan bergantung dari apa yang kita lakukan saat ini.

Memang bukan usaha yang singkat dan mudah untuk mencapai karakter ideal demi meneruskan cita-cita negeri ini. Tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Dengan keteguhan hati, niat putih, dan harapan yang tiada batas, karakter yang memiliki sifat integritas tentunya dapat kita capai. Melalui pendidikan karakter di dalam keluarga semua harapan ini dipertaruhkan

Pendidikan melalui contoh di dalam keluarga, inilah pendidikan karakter yang sesungguhnya. Pendidikan di dalam keluarga adalah fondasi utama pendidikan karakter yang memberi pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup seperti kejujuran, kepedulian, kemandirian, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, adil, dan sabar. Semua ini bertujuan untuk membentuk karakter dan budi pekerti individu yang perlu dikembangkan dan dibina sejak usia dini.

Harapan masih ada. Mimpi-mimpi mulia para pendiri bangsa mulai menemukan titik terangnya. Generasi muda, generasi yang akan mengemban beban untuk mewujudkan harapan-aharapan tersebut sudah berani menunjukkan taringnya. Sedikit demi sedikit kami berani untuk meninggalkan hal-hal kecil yang merusak kepribadian kami. Mencontek, berbohong, melanggar aturan, dan lain hal sebagainya, rasanya telah hilang dalam kamus kami.

Satu hal yang harus kita pegang, ketika kehilangan kekayaan, kita tidak kehilangan apa-apa. Ketika kehilangan kesehatan, kita kehilangan sesuatu. Ketika kehilangan karakter, kita kehilangan segalanya, demikian Billy Graham bertutur.

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya acara Festival Antikorupsi 2015 dapat kita sambut sebagai wadah pengingat. Pengingat akan mimpi-mimpi yang kita bawa untuk bangsa, pengingat untuk mengakhiri segala parodi yang ada, pengingat bahwa harapan masih tetap ada, dan pengingat bahwa kita berhak dan mampu untuk dengan bangga dan lantang menjawab tantangan yang ada, bahwa kami bukanlah generasi instan, bahwa korupsi bukanlah budaya kami!

Sudahi Parodi, Perangi Korupsi, Selamat(kan) Hari Antikorupsi 2015!

Bandung, 15 Desember 2015

Muhammad Syarifudin

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun