Mohon tunggu...
Muhammad Syarifudin
Muhammad Syarifudin Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Petroleum Engineer ITB

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudahi parodi, Perangi korupsi, Selamat(kan) Hari Antikorupsi 2015!

15 Desember 2015   20:42 Diperbarui: 15 Desember 2015   21:22 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Republik Indonesia, negara yang telah 70 tahun mencicipi nikmatnya menjadi negara yang merdeka. Tak sedikit lika-liku yang dialami Indonesia dalam perjalanannya sebagai bangsa dan negara kesatuan. Bhineka tunggal ika, pancasila, persatuan, dan kesatuan menjadi prinsip-prinsip yang selama ini terus mengawal negeri ini dalam mencapai mimpi-mimpi mulianya. Berbagai upaya pembangunan dan kemajuan yang relatif berhasil diikuti kesenjangan sosial yang cenderung melebar serta pendekatan legalistik dan transaksional yang konsumtif, kolutif, koruptif, dan manipulatif. Semangat bermusyawarah semakin terkikis.

Sudah cukup fakta-fakta untuk menyengat marwah bangsa dan menusuk rasa keadilan dengan aneka ragam kasus yang terjadi. Korupsi, tindak kriminal, banjir, premanisme, pelanggaran lalu lintas, adalah hal yang tidak asing lagi untuk telinga kami, penghuni bangsa. Dari lapis bawah hingga jajaran teratas tak lepas dari tindakan-tindakan yang sejujurnya, tidak patut dilakukan oleh bangsa yang memiliki martabat. Banyak orang tahu apa yang baik dan berbicara mengenai kebaikan namun nyatanya tindakan tak sejalan dengan ucapan.

Sebagai bangsa yang dianggap memiliki identitas bersama dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan sejarah, Presiden Jokowi pernah menyatakan perlu melakukan gerakan revolusi mental lewat pendidikan untuk memperbaiki karakter bangsa Indonesia. Menurut beliau gerakan ini bertujuan menyuburkan kembali karakter orisinal bangsa yakni nilai-nilai semangat juang optimisme, kerja keras, gotong-royong, ramah, budi pekerti, santun, tata krama, memperkuat tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta memperkokoh karakter bangsa sehingga dapat membuat rakyat sejahtera. Namun, beliau sendiri pun tidak tahu mengapa dan tanpa menyadarinya sedikit demi sedikit karakter itu berubah. Yang lebih parah lagi adalah tidak ada yang mengerem atau mengingatkan. Hal inilah yang merusak mental. Tak penting lagi untuk kita tahu dari mana dan siapa yang memulai kekacauan ini.

Revolusi mental yang dimaksud Presiden Jokowi adalah merubah sudut pandang terhadap kebiasaan yang dilakukan oleh mayoritas dan dianggap benar menjadi melakukan segala sesuatu yang memang mengandung kebenaran hakiki. Perubahan sudut pandang itu harus dimulai dari diri kita sendiri dengan pendidikan karakter di dalam keluarga. Dari keluarga, semua bermula.

 KETEGUHAN YANG SEAKAN MENGHILANG

Di dalam keluarga kepribadian dan kultur manusia dibentuk. Keluarga adalah lembaga pendidikan alamiah dimana proses pendidikannya tanpa didramatisasi atau didesain secara rumit dengan materi meliputi seluruh bidang kehidupan, dengan metode sesuai keadaan yang sesungguhnya, dan evaluasinya dilakukan secara langsung.

Budaya Indonesia yang sarat akan kearifan lokal yang diajarkan secara turun menurun, nampaknya tidak begitu memiliki pengaruh besar saat ini. Tindak korupsi yang seringkali merugikan bangsa dan orang lain, dilakukan oleh mereka tanpa mengenal batasan kelas sosial. Mulai dari mereka yang naik dan turun mobil hingga mereka yang mengemis untuk dapat melanjutkan hidup boleh jadi pernah melakukan tindak korupsi. Perlu diingat, korupsi tidak melulu tentang materi tapi bagaimana kita berani berintegriti.

Masih hangat dalam ingatan, tentang suguhan politik yang kita terima akhir-akhir ini. Orang nomor satu yang mengaku sebagai wakil rakyat, terlibat dalam kasus yang tidak pantas untuk seorang yang berpendidikan setinggi itu. Ternyata pendidikan saja tak cukup untuk menyelesaikan permasalahan moral ini.

Namun jika melihat kesisi yang lain, kita sebagai rakyat juga sering kali tidak sadar telah melakukan tindakan koruptif. Menerobos lampu merah, masih menggunakan jasa calo, berbohong, dan tindakan-tindakan kecil lainnya yang secara tidak sadar telah memupuk karakter kita menjadi pribadi yang koruptif.

Semua kejadian yang kita hadapi, membuat kita termenung, apakah kita tidak pernah mendapatkan pendidikan karakter di dalam keluarga? Rasanya hampir semua orang akan menjawab ‘pernah’. Namun apakah benar-benar pendidikan yang kita dapatkan?

Kebanyakan orang tua cenderung mempersalahkan keadaan anak mereka yang berkarakter buruk. Mereka sering menyatakan cara mereka dibesarkan yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi lain yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Tidak melihat bahwa sudah benarkah cara mendidik yang mereka lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun