Belum genap dua minggu pasca pelantikan  Anies --Sandi,Jumat, 27/10/2017, Alexis ditutup. Penutupan Alexis oleh Anies sebagai bagian dari janji kampanye patut diacungi jempol. Memang harus begitu kalau pemimpin sudah berjanji kepada pendukungnya saat kampanye. Janji seorang pemimpin harus ditepati. Jika tidak, janji-janji itu akan berubah menjadi boomerang yang akan mengganggu jalannya roda kepemimpinan.
Karena ini janji kampanye yang diwujudkan, maka penutupan Alexis bukanlah keputusan hukum,melainkan lebih kental nuansa politis dan sangat emosional. Alexis terlanjur dijadikan bancakan kampanye Anies-Sandi saat Pilgub DKI Jakarta, maka Alexis juga menjadi korban pertama keputusan politik Anies -sandi.
Dari pihak Alexis juga tidak tinggal diam. Mulai dari alasan sebagai penyumbang 30 Milyar /Tahun  PAD DKI, 1000 karyawan dirumahkan, sampai dengan upaya pendekatan dialogis akan diusahakan managemen Alexis. Dan kemungkinan masalah ini akan berlanjut sampai ke meja pengadilan. Keputusan Pemda DKI Jakarta sangat tidak transparan, semena-mena dan sepihak. Karena sampai sekarang Pemda DKI Jakarta belum mau menunjukan bukti otentik pelangaran Perda oleh managemen Alexis.
Prediksi saya, semua itu sudah tertutup. Anies --Sandi tidak akan menjilat ludahnya. Dipastikan ada upaya merasionalkan keputusan yang sudah diambil Pemda DKI Jakarta. Entah dengan cara menganti nama, atau sekedar memindahkan lokasinya, tetapi  Alexis akan kembali dihidupkan, terserah. Tapi yang jelas anies --sandi tidak boleh cacat dimata Rakyat Jakarta.
Lalu apa yang salah dengan Alexis? Alexis tidak salah. Wong Alexis cuman nama bangunan kok.! Yang salah adalah manajemennya. Sebagai pengelola jasa pariwisata dan hiburan, mangemen Alexis telah menodai jasa pariwisata dengan jasa prostitusi. Sudah menjadi rahasia umum bagi kaum lelaki seluruh nusantara yang senang mencicipi tubuh --tubuh molek setingkat artis, mulai dari wanita lokal, Uzbekistan, Cina dan Thailand semua ada di lantai 7 Hotel Alexis.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Di Jakarta hanya Alexis saja yang menyajikan menu jasa  prostitusi terselubung dengan kedok  hotel dan gerai pijat? Hehehehe...Alexis bukan satu-satunya, kebanyakan orang daerah kalau ke Jakarta justeru lebih memilih mengunjungi  Paragon, Classic, Malboro, X2 Club, Milenium Internatinal Executiv Club Gadjah Mada, dan Travel. Dan yang berkantong tipis  akan memilih panti pijat Plus-plus yang bertebaran di sepanjang jalan Jakarta.
Lantas korelasi dengan judul Anies --Sandi gagal Faham dimana? Bagi saya tujuan Anies --Sandi menutup Alexis, karena menginginkan suasana Jakarta yang agamis, dan bermoral. Tujuan ini memang baik dan kita semua menginginkan seperti itu. Tetapi logika  berfikir dan caranya yang keliru. Ibarat seorang tua melarang anaknya yang doyan clubbing, kemudian mengkambing hitamkan Club malam dan menutupnya.Â
Begitu pula dengan Anies -- Sandi,  adalah orang tua, dan warga Jakarta adalah anak-anaknya. Melarang warga Jakarta berbuat maksiat dengan cara menutup tempat maksiat adalah suatu kekeliruan. Karena setidaknya ungkapan "The Gun is not Danger, but The Man." Bahwa senjata tidak berbahaya, yang berbahaya manusia yang memegang senjata itu bisa dijadikan landasan pijak mengdiagnosa penutupan Alexis. Kenapa kita harus hancurkan senjata? saya kira penutupan Alexis oleh  Anies --Sandi tidak sekedar  memenuhi janji kampanye saja. Tetapi lebih dari itu langkah penutupan Alexis sebaiknya tidak menimbulkan masalah baru.
Membuat Jakarta menjadi kota agamis pasti dambaan warga jakarta. Namun dalam perspektif yang lain, keberadaan Alexis malah sebaliknya bisa menjadi tempat uji iman bagi warga Jakarta. Karena bagaimanapun orang yang beriman belumlah dibilang beriman kalau tidak melewati ujian. Darimana kita bisa mengukur sesorang itu tidak berbuat maksiat atau menakar kualitas keimanan seseorang kalau tidak ada media penguji ( Alexis) ? Dari mana Bang Anies -- Sandi  mengukur keimanan warganya....! Wong alat ukurnya ga ada eeeh Bang.
Atau jangan-jangan cara berfikir Bang Anies --Sandi, Â bahwa kalau warga Jakarta tiap hari ngumpul di masjid secara otomatis mereka tidak pernah berbuat maksiat? Wong di Mesjid ga ada setan kok. Mana mungkin mereka tergoda?
Selama ini metode dakwah para Ustad dan Dai selalu selalu hitam putih, halal-haram, dosa-neraka. Umat diajak untuk menghindari hal --hal maksiat, sedangkan naluri kemanusiaan itu sendiri pada hakekatnya senang dengan maksiat. Dan semakin banyak para Ustad dan Dai berdakwah, secara linear kemaksiatan juga semakin merajalela.Harus kita akui bahwa metode dakwa mengalami kegagalan total, karena para Ustad dan Dai kita hanya mampu menakut-nakuti umatnya dengan ancaman neraka kalau berbuat maksiat. Para Ustad dan Dai tidak mampu menunjukan kepada umatnya betapa nikmatnya kalau kita tidak berbuat maksiat.