Puisi bersifat personal (subjektif), baik bagi penulisnya maupun bagi pembacanya. Pengalaman hidup yang telah dilalui seseorang akan mempengaruhi cara ia akan berinteraksi dengan sebuah puisi yang dibacanya. Ketika seseorang membaca sebuah puisi maka keterlibatan emosinya bersifat unik. Tiap pembaca mempunyai respon emosional tersendiri terhadap sebuah puisi yang sama; antara satu pembaca dengan pembaca yang lain boleh berbeda responnya. Sebuah puisi akan masuk ke hati tiap orang dengan cara berbeda-beda. Karena itu sebuah puisi akan menjadi 'milik' pembacanya. Kepemilikan disini bukan kepemilikan hak cipta atas puisi yang dibaca akan tetapi kepemilikan penghayatan dan interpretasi terhadap puisi itu sendiri.
Sebuah puisi akan berperan sebagai bahan acuan untuk menengok atau membangkitkan kembali ingatan terhadap potongan perjalanan hidup sang pembaca puisi itu sendiri. Puisi tersebut mampu memberikan bahan baku untuk proses penggalian penghayatan terdalam dari pembacanya. Hal itu secara khas akan  dialami oleh masing-masing pembaca puisi.
Sebuah puisi sepatutnya mampu berinteraksi dengan pembacanya. Maksudnya, sang pembaca puisi selayaknya mendapat bahan untuk menggali dalam dirinya penggalan pengalaman hidup yang telah dilalui ketika berhadapan dengan untaian kata yang dijumpai dalam sebuah puisi. Karena itu proses pemilihan kata dalam penulisan sebuah puisi menjadi tahapan yang sangat penting. Kata yang terpilih hendaknya memungkinkan pembaca tersugesti untuk membawa pengalaman penyair menjadi acuan untuk menukik ke kedalaman pengalaman pembaca sendiri. Pemilihan kata bukan sekedar berururusan agar kata-kata tersebut membentuk kesatuan yang berirama. Inilah bentuk interaksi yang terjalin antara penulis dan pembaca puisi.
Puisi yang bagus memungkinkan sang pembaca menengok kembali secara spontan ke riwayat perjalanan hidupnya sendiri dengan cara yang menyentuh rasa keindahan. Berikut ini ada salah satu contoh puisi pendek yang bagus sekali karya Chairil Anwar yang berjudul Nisan.
Nisan
untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta.
Oktober 1942