Ada hal yang selalu menjadi bahan ocehan dan nyinyiran pihak tertentu untuk menegasikan Puan Maharani, yaitu ketika ia menangis saat subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut oleh pemerintah saat itu (masa pemerintahan SBY) lalu membandingkannya dengan pencabutan subsidi BBM pada pemerintahan saat ini, dan Puan Maharani tampil biasa-biasa saja seperti tak ada pembelaan sebagaimana sebelumnya.
Dua realitas yang "sengaja" dipertentangkan untuk menggambarkan sosok Puan Maharani yang paradoks, tanpa memberikan analisa objektif dan fair terhadap konstelasi perpolitikan yang berubah, kebijakan pro rakyat pemerintah, serta kerja-kerja dan prestasi Puan Maharani yang sejatinya terbukti dan langsung dirasakan oleh rakyat.
Isu itu menggelinding semakin liar, dibenturkan kesana-kemari dengan realitas lain yang sejatinya tidak berhubungan, dikaitkan dengan partai PDI-P yang dinegasikan sedemikian rupa. Tak jelas arah dan juntrungannya. Memang begitulah irama khas dari menggelindingnya isu; yang penting partai atau sosok tertentu dijelekan dulu, kemudian dikapitalisasi menjadi kebencian yang membuncah. Damage has been made.
Pelan tapi pasti, mari kita lebih bijak membaca situasi. Kita bisa saja mengkritisi, tapi tak perlu didasari rasa benci. Jangan sampai kebencian terhadap sesuatu, membuat kita tidak berlaku adil. Untuk alasan itulah, tulisan ini hadir.
Tentu tidak untuk menjadi pengadil, tapi setidaknya ada perspektif lain yang harus kita pahami sehingga tersedia "kaca" yang lebih besar, dan kita sadar, bahwa Puan Maharani telah berbuat banyak untuk negeri jika dibandingkan kita yang hanya bisa ngoceh dan nyinyir, lalu mencaci maki.
Mari kita uraikan pelan-pelan...
Kenapa dulu Puan Maharani menangis?
Ketika masih di DPR, Puan Maharani menangis karena ia sadar betul, bahwa pencabutan BBM yang dilakukan oleh pemerintah saat itu bukan untuk rakyat melainkan untuk kebutuhan lain yang sifatnya tidak mendesak, seperti belanja rutin untuk pegawai, aparatur dan atribut negara.
Kemudian rakyat diberikan "kenikmatan semu" dengan munculnya bantuan-bantuan yang sifatnya tidak produktif. Ketika itu, pemerintah berhasil menukar kesedihan rakyat kecil dengan alasan yang terkesan dibuat-buat sebab faktanya ketika terjadi kenaikan harga BBM justru subsidi terus membengkak. (kompas.com).
Pemerintah berdalih untuk menyehatkan postur anggaran karena subsidi BBM yang tidak tepat sasaran sekaligus untuk membangun infrastruktur guna memberikan pelayanan yang terbaik seperti infrastruktur dasar dan transportasi (detik.com).
Fakta menunjukkan, bahwa ketika itu, tidak banyak pembangunan infrastruktur yang dilakukan. Pada perkembangannya, justru ditemukan proyek pembangunan yang mangkrak. Ini bukan mengulik luka lama, tapi memang begitulah adanya.