Pengangkatan seorang buzzer sebagai staf khusus menteri komunikasi memicu pertanyaan fundamental tentang apa yang kita anggap sebagai “keahlian komunikasi” di era digital. Alih-alih berorientasi pada dialog terbuka dan kejujuran, "keahlian" ini justru lebih terarah pada kemampuan untuk memanipulasi opini publik secara terkoordinasi. Artikel ini bertujuan untuk membongkar praktik sistematis manipulasi opini di ruang digital Indonesia, dengan menelusuri taktik dan strategi para buzzer, motif di balik operasi mereka, dan alasan di balik pilihan politisi dan pemerintah untuk menggunakan instrumen manipulatif ini alih-alih melibatkan publik dalam diskusi yang transparan dan akuntabel.
Kontras dalam Dunia Maya: Pengguna Media Sosial Otentik dan Buzzer Politik
Dalam riuhnya dunia digital, kita harus mampu membedakan antara pengguna yang otentik dengan buzzer bayaran. Pengguna media sosial yang otentik memiliki ciri khas:
- Motivasi yang Tulus: Mereka berbagi pandangan dan pengalaman berdasarkan keyakinan pribadi, bukan karena imbalan atau agenda tersembunyi
- Tujuan Dialog: Mereka berinteraksi dengan tujuan berdiskusi, bertukar perspektif, dan membangun pemahaman bersama
- Identitas yang Terbuka: Mereka menampilkan persona online yang konsisten, dan mudah dipertanggungjawabkan
- Etika Komunikasi: Mereka menghargai perbedaan pendapat dan menghindari trolling atau intimidasi
Sebaliknya, para buzzer politik beroperasi dengan agenda yang tersembunyi dan terkoordinasi. Penelitian Wijayanto & Berenschot dalam “Cybertroops and Public Opinion Manipulation Through Social Media in Indonesia” menunjukkan bahwa mereka menggunakan:
- Lonjakan Percakapan yang Artifisial: Dengan memanipulasi tren, mereka menciptakan ilusi dukungan publik yang masif terhadap isu atau tokoh tertentu, yang jauh dari percakapan organik
- Konten yang Terkoordinasi: Mereka menggunakan konten yang diproduksi dan disebarkan secara terpusat untuk menciptakan buzz, seperti yang diungkapkan dalam penelitian Amalia, Esti & Camil dalam “The Industry of Political Buzzing in Indonesia and Its Impact on Social Media Governance: Examining Viral Tweets,” dengan “strategi untuk membuat konten menjadi tren” melalui “organisasi hashtag dan penyebaran masif oleh (ro)bot atau software dan (akun yang baru dibuat oleh) manusia
- Akun Palsu dan Anonim: Mereka beroperasi menggunakan akun palsu dengan tujuan menyembunyikan identitas asli, dan menghilangkan pertanggungjawaban atas ujaran kebencian yang mereka sebarkan
- Polarisasi dan Dehumanisasi: Mereka memecah belah publik dengan menggunakan narasi-narasi yang merendahkan, memicu kebencian dan kemarahan. Penelitian Fera Belinda et al. dalam “Manipulation of Information in the 2024 Election in Indonesia: Political Dynamics in the Post-Truth Era,” menyoroti bagaimana mereka menggunakan narasi polarisasi dan dehumanisasi untuk menyerang lawan politik.
Taktik Buzzer: Memanipulasi Persepsi dengan "Keahlian Komunikasi" yang Disalahgunakan
Para buzzer politik bukanlah ahli komunikasi yang etis, melainkan manipulator opini yang terlatih menggunakan taktik-taktik untuk mengendalikan persepsi publik. Mereka menguasai berbagai strategi untuk menciptakan buzz, dengan menggunakan prinsip-prinsip teori komunikasi untuk mencapai tujuan mereka:
- Tagar Sebagai Alat untuk Mengontrol Agenda Publik: Para buzzer menciptakan tagar yang strategis untuk memanipulasi algoritma media sosial dan mengarahkan perhatian publik ke isu-isu yang mereka inginkan. Taktik ini selaras dengan Agenda Setting Theory, di mana media (dalam hal ini, buzzer) memiliki kekuatan untuk menentukan isu apa yang dianggap penting
- Tautan dan Tangkapan Layar yang Menyesatkan untuk Membentuk Persepsi: Untuk memberikan kesan kredibel pada pesan mereka, para buzzer menyisipkan tautan atau tangkapan layar yang dimanipulasi atau berasal dari sumber yang tidak kredibel, hal ini merupakan penerapan dari Framing Theory, dimana bagaimana isu dipresentasikan akan mempengaruhi cara publik menginterpretasikan isu tersebut
- Provokasi dan Konflik Tiruan: Para buzzer menggunakan teknik-teknik untuk menciptakan konflik atau perdebatan di antara pengguna media sosial, untuk memancing keterlibatan publik dan membuat isu mereka lebih diperhatikan
- Eksploitasi Algoritma untuk Mencapai Virality: Para buzzer memahami bagaimana algoritma media sosial bekerja, dan mereka menggunakannya untuk menciptakan lonjakan aktivitas dan membuat isu mereka menjadi trending topic
"Merekayasa Persetujuan": Operasi Tersembunyi untuk Mengendalikan Opini Publik
Para buzzer politik bukan dipekerjakan untuk melakukan komunikasi yang jujur, melainkan untuk "merekayasa persetujuan" (engineering consent). Wijayanto & Berenschot dalam penelitian mereka "Cybertroops and Public Opinion Manipulation Through Social Media in Indonesia" mendeskripsikan praktik ini sebagai "operasi media sosial yang dibayar telah 'merekayasa persetujuan' yang melibatkan penyebaran disinformasi dan fitnah (terutama) selama kampanye pemilu, pelecehan terhadap suara-suara oposisi dan politisi, serta operasi pengaruh untuk menghasilkan dukungan bagi kebijakan pemerintah."
Tujuan dari operasi ini menurut dalam penelitian Rakhmani dan Saraswati dalam "Authoritarian Populism in Indonesia: The Role of the Political Campaign Industry in Engineering Consent and Coercion" adalah untuk:
Menyebarkan Disinformasi dan Fitnah: Para buzzer menggunakan kebohongan, teori konspirasi, dan manipulasi visual untuk mendiskreditkan lawan politik atau untuk mempromosikan agenda yang diinginkan.
Melakukan Intimidasi dan Pembungkaman: Mereka menggunakan serangan pribadi, ancaman, dan doxing untuk membungkam suara-suara kritis dan mempersempit ruang untuk berdiskusi.
Operasi Pengaruh Terselubung: Para buzzer memanipulasi algoritma media sosial, menggunakan microtargeting dan memanfaatkan influencer untuk memperkuat narasi yang mereka promosikan. Mereka memanfaatkan Two-Step Flow Theory dimana pesan-pesan mereka disampaikan melalui para influencer yang dianggap kredibel oleh pengikutnya.