Mohon tunggu...
vSukamtiningtyas
vSukamtiningtyas Mohon Tunggu... Freelancer - Pemikir strategis, marketer profesional dan konsultan kreatif untuk UMKM

Penyusun strategi konten, social media dan brand yang percaya bahwa strategi BUKAN rencana atau Planning. Menulis tentang influencer marketing, social media, dan krisis komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buzzer Politik: Ahli Strategi Komunikasi atau Manipulator Opini?

19 Januari 2025   14:28 Diperbarui: 20 Januari 2025   13:26 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi Pendengung Politik. Sumber: Pressmaster dari Pexels

Dalam memanipulasi emosi publik, para buzzer seringkali menggunakan berbagai jenis narasi, seperti yang dijelaskan dalam penelitian Belinda et al dalam "Manipulation of Information in the 2024 Election in Indonesia: Political Dynamics in the Post-Truth Era," yaitu:

  • Narasi Harapan dan Kebencian: Mereka menggunakan narasi yang membangkitkan emosi yang kuat untuk meyakinkan publik tentang tujuan mereka dan menimbulkan reaksi emosional dari target audiens
  • Wedge Driver: Menciptakan narasi untuk memecah belah dan menanamkan kebencian pada kelompok tertentu
  • Pipe Dream: Menawarkan narasi yang menjanjikan harapan palsu yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, demi mendapatkan dukungan publik
  • Black Campaign: Menggunakan narasi yang menyerang karakter dan reputasi lawan politik dengan menyebarkan kebohongan.

Mengapa Politisi dan Pemerintah Lebih Memilih Media Sosial dan Buzzer?

Para politisi dan pemerintah memilih media sosial dan buzzer sebagai alat untuk memanipulasi opini publik secara efektif dan efisien. Media sosial tidak hanya menawarkan jangkauan yang luas, tetapi juga memberikan cara yang lebih tertarget dan mudah untuk menyebarkan pesan mereka. Tapsell dalam "Social Media and Elections in Southeast Asia: The Emergence of Subversive, Underground Campaigning" menjelaskan bahwa daya tarik penggunaan sosial media sebagai media utama penyebaran informasi dari buzzer terletak pada:

  • Jangkauan Luas dan Cepat dengan Biaya Rendah: Media sosial memungkinkan para politisi untuk menjangkau jutaan orang dengan cepat dan biaya yang relatif lebih rendah dibandingkan media tradisional
  • Penargetan yang Presisi: Algoritma media sosial memungkinkan para politisi untuk menargetkan kelompok demografi dan psikografis tertentu, dengan pesan yang disesuaikan untuk memanipulasi emosi dan keyakinan target audiens
  • Lingkungan yang Minim Pengawasan: Media sosial menyediakan ruang yang lebih leluasa untuk menyebarkan informasi yang tidak akurat dan menyesatkan, karena minimnya regulasi dan pengawasan
  • Keterlibatan Emosional: Konten media sosial dirancang untuk memicu emosi, meningkatkan kemungkinan interaksi dan penyebaran, seringkali lebih efektif daripada pendekatan rasional
  • Sifat Bawah Tanah & Pengelakan Kontrol: Media sosial beroperasi secara relatif "bawah tanah," menyulitkan pelacakan dan pertanggungjawaban, serta memungkinkan pengelakan kontrol media yang ketat

Para pengguna layanan Buzzer bisa mendasari keputusannya pada beberapa teori komunikasi dalam memahami cara orang memproses informasi. Teori Agenda Setting tentang bagaimana media tidak memberitahu apa yang harus kita pikirkan, tetapi memberitahu tentang apa. Prakteknya adalah dengan memilih, menentukan dan menekankan isu mana yang harus dianggap penting oleh publik. Yang kedua adalah teori Framing yang digunakan untuk membentuk persepsi publik terhadap isu tersebut dengan cara mempresentasikan atau "membingkai" isu sedemikian rupa sehingga memengaruhi bagaimana orang memahami dan menafsirkannya. Ketiga adalah bagaimana teori Two-Step Flow yang dapat digunakan untuk menyebarkan pesan melalui Influencer yang dipercaya karena penekanan pada pentingnya komunikasi antarpribadi dan pengaruh sosial dalam membentuk opini publik.

Ekosistem Tersembunyi di Balik "Opini Publik" Semu

Di balik setiap buzzer, terdapat sebuah ekosistem tersembunyi yang kompleks yang terdiri dari berbagai pemain dengan peran yang saling terkait. Amalia, Esti & Camil dalam "The Industry of Political Buzzing in Indonesia and Its Impact on Social Media Governance: Examining Viral Tweets," mengungkapkan bahwa ekosistem ini meliputi:

  • Klien: Politisi, partai politik, atau pemerintah yang memiliki agenda atau target yang ingin dicapai
  • Agensi Pemasaran: Para perantara yang menghubungkan klien dengan buzzer dan influencer, serta menyusun strategi kampanye
  • Koordinator: Individu yang bertugas mengawasi kinerja para buzzer, mengatur jadwal posting, dan memastikan pesan tersampaikan secara efektif
  • Pembuat Konten: Individu yang menciptakan konten kampanye, seperti meme, hashtag, gambar, dan teks
  • Buzzer: Individu atau akun online yang bertugas menyebarkan konten dan menciptakan "buzz," seringkali memiliki latar belakang sebagai jurnalis atau blogger, seperti yang dijelaskan dalam penelitian Amalia, Esti dan Camil
  • Influencer: Figur publik yang memiliki pengikut yang banyak dan dipercaya oleh masyarakat. Yang menarik adalah mereka dibayar lebih tinggi, yaitu hingga 20 juta rupiah untuk sekali endorsement, sementara buzzer dibayar 2,5 - 3 juta rupiah per bulan, seperti yang diungkapkan Amalia, Esti & Camil dalam penelitian mereka.

Alih-Alih Dialog, Mereka Justru Membangun Benteng Narasi: Ada Apa Dibalik Penggunaan Buzzer?

Penggunaan buzzer dan influencer oleh para politisi bukanlah sekadar strategi komunikasi, melainkan sebuah pilihan yang mencerminkan sikap menghindari keterbukaan dan dialog yang jujur dengan publik. Sikap memlilih buzzer sebagai metode komunikasi oleh pemerintah dan politikus ini mengindikasikan:

  • Ketakutan pada Dialog Sejati: Mereka menghindari perdebatan publik yang rasional dan lebih memilih jalan pintas untuk menciptakan ilusi dukungan
  • Keinginan untuk Mengendalikan Narasi: Alih-alih mencari kebenaran melalui dialog, mereka lebih memilih untuk mengontrol narasi dan opini publik sesuai dengan agenda mereka, seperti yang diungkap dalam penelitian Ahdarrijal et al dalam "The Role of Digital Media in Determining the Direction of Democracy in Indonesia in 2023"
  • Menghindari Akuntabilitas: Mereka menggunakan para buzzer untuk menyembunyikan diri dari pertanyaan sulit dan kritikan terbuka
  • Hasrat untuk Mempertahankan Kekuasaan: Mereka menganggap media sosial sebagai alat untuk mengamankan posisi kekuasaan dan mengendalikan opini publik, bukan untuk melayani kepentingan rakyat.

Kesimpulan: Menumbuhkan Skeptisisme dan Berjuang untuk Kebenaran di Ruang Digital

Pengangkatan seorang buzzer yang didapuk mempunyai keahlian dalam strategi komunikasi adalah pengingat bahwa penguasa mencoba untuk mengontrol opini publik dengan cara yang tidak transparan dan organik. Cara mengatasinya adalah dengan lebih kritis dalam mencerna informasi di media sosial dan menolak untuk disetir opini melalui opini atau terpancing kontroversi tanpa mencari tahu sumbernya. Fera Belinda et al. dalam "Manipulation of Information in the 2024 Election in Indonesia: Political Dynamics in the Post-Truth Era," menunjukkan bahwa para manipulator menggunakan "narasi harapan dan kebencian" untuk memanipulasi emosi publik dan mengenyampingkan fakta. Demokrasi hanya akan tetap hidup jika kita berani menolak ilusi, merangkul dialog yang jujur, mengesampingkan emosi serta berjuang demi kebenaran, keadilan, dan akuntabilitas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun