Mohon tunggu...
vSukamtiningtyas
vSukamtiningtyas Mohon Tunggu... Freelancer - Pemikir strategis, marketer profesional dan konsultan kreatif untuk UMKM

Penyusun strategi konten, social media dan brand yang percaya bahwa strategi BUKAN rencana atau Planning. Menulis tentang influencer marketing, social media, dan krisis komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Alasan Penurunan Partisipasi Pemilih di Pemilu: Politik "Vibes" Gerus Keadilan Sosial

9 Desember 2024   09:59 Diperbarui: 12 Januari 2025   11:00 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu serentak 2024 meninggalkan jejak yang memprihatinkan dalam sejarah demokrasi Indonesia. Angka partisipasi pemilih yang menurun drastis di berbagai daerah, Jakarta anjlok dari 70% menjadi 58%, dan Sumatera Utara hanya mencapai 55.6%, bukan sekadar angka statistik. Ini adalah cerminan dari krisis representasi demokrasi yang sedang kita alami, dan bukti nyata bahwa prinsip Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang diamanatkan oleh Pancasila, sedang tergerus. Apakah kita sedang terjebak dalam era "post-demokrasi," di mana demokrasi formal masih berjalan, tetapi substansinya telah hilang, digantikan oleh dominasi elit politik-ekonomi yang lebih mengutamakan tampilan daripada isi? Mari kita bedah lebih dalam.

Munculnya Politik "Vibes": Lebih Penting dari Substansi?

Dalam politik Indonesia, kita semakin sering melihat fenomena "lebih vibes, kurang substansi." "Vibes," di sini, merujuk pada kesan keseluruhan yang diciptakan oleh kandidat, terutama melalui karisma dan gaya komunikasi. Bayangkan seorang kandidat yang lebih fokus pada unggahan media sosial supaya viral, slogan-slogan yang mudah diingat, dan penampilan yang menarik, daripada program kerja dan solusi nyata untuk masalah rakyat. Mereka mengandalkan daya tarik emosional dan konten yang cepat tersebar, seringkali menghindari dialog yang mendalam tentang isu-isu penting yang dihadapi masyarakat. Ini adalah contoh dari apa yang kita sebut sebagai "rekayasa komunikasi politik," di mana politik dikemas sebagai produk yang dijual, dikonsumsi, dan terus-menerus di- branding. Dampaknya terhadap prinsip Keadilan Sosial sangat jelas: ketika fokus utama politik adalah pencitraan dan bukan substansi, maka kebijakan publik cenderung tidak didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat, melainkan pada apa yang paling populer atau menguntungkan secara politik. Kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke platform media sosial atau tidak terwakili dalam image yang dibangun, akhirnya terpinggirkan dan aspirasi mereka terabaikan.

Transformasi Media dan Budaya "Soundbite": Pendorong Utama

Tren ini tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor rumit yang mendorongnya. Salah satunya adalah transformasi media yang sangat pesat. Dengan siklus berita 24/7 dan budaya petikan suara, kutipan mencengangkan atau pernyataan singkat yang diedit secara menarik, kita lebih sering melihat konten yang mudah dikonsumsi dan disebarluaskan secara cepat, daripada analisis mendalam dan diskusi kebijakan yang bernuansa. Kita juga melihat pergeseran budaya yang lebih mengutamakan personal branding, spontanitas atau ceplas ceplos daripada keahlian dan pengalaman. Di era media sosial, terutama pada akun media sosial milik politisi atau pejabat publik, jumlah pengikut, popularitas dan atensi disokong mesin algoritma, sementara rekam jejak, prestasi dan kompetensi bukan utama. Meskipun popularitas dan rekam jejak di dunia nyata sebelumnya bisa jadi merupakan katalis popularitas di media sosial, namun ketika politisi lebih fokus untuk melayani algoritma, daripada melayani masyarakat, maka hal ini bisa menjadi dampak paling merusak. Mereka cenderung lebih mementingkan konten yang viral, memoles citra dipermukaan dan menaikkan populeritas, daripada substansi dan representasi yang sesungguhnya terhadap isu krusial yang dihadapi masyarakat. Ini menggerus hak-hak kita untuk mendapatkan representasi yang setara dan bermartabat, sesuai dengan prinsip kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Politik sebagai Pertunjukan: Hilangnya Peran Intelektual Organik

Jika kita meminjam konsep "intelektual organik" dari Gramsci, kita bisa melihat bahwa figur publik bukan lagi sebagai jembatan antara kelas sosial yang berbeda, melainkan sebagai "insinyur narasi" yang secara strategis memanfaatkan modal aktualisasi sosial sebagai mata uang baru untuk mencapai kekuasaan politik. Sekarang, legitimasi politik bukan lagi tentang menyuarakan aspirasi kolektif, melainkan tentang mempertunjukkannya. Panggung politik telah berubah menjadi sebuah show yang berkelanjutan, di mana keterlibatan emosional dan sensasi lebih dihargai daripada dialog substansial yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah riil masyarakat. Teori "Society of the Spectacle" dari Debord menjelaskan dengan gamblang bagaimana penampilan menjadi lebih penting dari substansi dalam realitas politik yang didominasi oleh media dan algoritma. Di Indonesia, strategi ini semakin menguat, melanggengkan ketidaksetaraan akses politik dan mendistorsi prinsip Keadilan Sosial.

Partai Politik dan Rekayasa Komunikasi Politik

Tanpa kita sadari, partai politik di Indonesia, tampaknya telah mengadopsi "rekayasa komunikasi politik" sebagai strategi utama. Mereka lebih memilih ekosistem media sosial dan dunia hiburan sebagai tempat rekrutmen, lebih mengutamakan nama, status sebagai selebriti, jumlah pengikut dan popularitas daripada keahlian dan integritas. Coba perhatikan, berapa banyak kandidat yang terplilih karena popularitasnya di media sosial daripada rekam jejaknya dalam kebijakan publik? Berapa banyak keputusan politik yang didasarkan pada resonansi emosional yang reaktif, bukan pemikiran yang strategis? Strategi rekayasa komunikasi politik adalah ketika politisi mencoba untuk membangun citra yang positif dan mendapatkan perhatian publik melalui pencitraan sosial media yang bisa dimanipulasi. Sementara, "mekanisme rekonfigurasi kekuasaan" terjadi ketika fokus utama bergeser dari mencari dukungan dari metrik sosial hasil dari manipulasi komunikasi dan bukan dukungan nyata dari masyarakat di luar media sosial. Partai politik merekrut dan mempromosikan kandidat menggunakan konten media sosial yang diedit untuk menyasar emosi bukan logika, dan tidak mengedepankan pengalaman, kompetensi atau hasil kerja nyata. Ini mengubah cara kekuasaan didapatkan dan dijalankan, menciptakan struktur kekuasaan baru yang tidak adil. Ini bukan hanya sekadar strategi komunikasi, melainkan mekanisme rekonfigurasi kekuasaan yang sistematis, yang menciptakan kesenjangan akses politik yang semakin lebar, secara timpang diberikan kepada pribadi dengan jaringan sosial luas yang pada akhirnya mencederai cita-cita Keadilan Sosial.

Penghalang Sistematis untuk Partisipasi Politik

"Rekayasa komunikasi politik" dengan sengaja membangun penghalang yang menyingkirkan jalur partisipasi politik tradisional. Keahlian dalam kebijakan, pengalaman di pemerintahan, dan keterlibatan dengan masyarakat akar rumput kini kalah dengan kemampuan membangun narasi emosional yang viral dan popularitas di media sosial. Contohnya, generasi yang lebih tua, yang mungkin tidak begitu aktif di dunia maya, cenderung terpinggirkan secara sistematis karena mereka tidak punya akun di media sosial atau ponsel pintar. Mereka yang tidak memiliki platform media sosial yang besar juga tidak terlihat dalam lanskap politik, bahkan aspirasi dan kebutuhan mereka pun diabaikan karena dianggap miskin mata uang sosial. Kesempatan akses politik yang seharusnya setara bagi seluruh rakyat Indonesia (Keadilan Sosial) semakin tergerus. Akses politik kini lebih ditentukan oleh modal jaringan sosial, visibilitas media, manipulasi emosional, dan popularitas algoritma, bukan oleh hasil kerja, kemampuan dan integritas. Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip Keadilan Sosial dalam Pancasila.

Bukan Apatisme, Tapi Perlawanan

Rendahnya partisipasi pemilih dalam Pemilu 2024 bukan sekadar kegagalan sistem, tetapi bukti nyata kegagalan sistem dalam mewakili aspirasi rakyat. Bukan karena pemilih apatis atau malas, melainkan karena pemilih, sebagai subjek yang kritis, mulai menyadari kehampaan politik performatif yang didominasi oleh "rekayasa komunikasi politik". Pemilih menarik diri sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang lebih mengutamakan penampilan daripada substansi. Kepercayaan publik terhadap proses demokrasi mulai terkikis, dan prinsip Keadilan Sosial dilanggar secara sistematis. Sistem yang seharusnya menjadi wadah untuk menyuarakan kepentingan kolektif, justru berubah menjadi alat untuk memperkuat struktur kekuasaan yang ada dan melanggengkan ketidaksetaraan. Alat yang memperkuat struktur kekuasaan tersebut adalah sistem politik yang terdistorsi oleh rekayasa komunikasi. Sistem yang seharusnya menjadi wadah untuk menyuarakan kepentingan kolektif, justru berubah menjadi alat untuk memperkuat struktur kekuasaan yang ada melalui kandidat popularitas dan melanggengkan kuasa dari pihak tertentu. Popularitas ini didapat melalui rekayasa komunikasi politik, bukan melalui rekam jejak yang mumpuni.

Kesimpulan: Saatnya Kembali ke Substansi

"Rekayasa komunikasi politik" di Indonesia bukan hanya mendistorsi representasi demokrasi, tetapi juga secara sistematis menghancurkan prinsip Keadilan Sosial yang diamanatkan Pancasila. Rendahnya partisipasi pemilih menjadi bukti nyata kegagalan sistem dalam mewujudkan representasi yang adil dan partisipatif bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita membutuhkan perubahan fundamental dalam pendekatan komunikasi politik, dengan kembali mengedepankan substansi, dialog, dan partisipasi yang bermakna sebagai inti dari proses demokrasi. Hanya dengan demikian, prinsip Keadilan Sosial dapat diwujudkan secara nyata, dan demokrasi Indonesia dapat berjalan secara sehat dan bermartabat. Kita perlu lebih kritis terhadap politik "vibes" dan menuntut lebih banyak substansi dari para pemimpin kita. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk menjaga agar demokrasi kita tetap bermakna dan relevan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun