Mohon tunggu...
Syamsul Safriadi
Syamsul Safriadi Mohon Tunggu... -

terbiasa dianggap tidak biasa...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Yang Tercatat Dari Economic Challenge Metro TV

18 Februari 2014   10:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Acara economic challenge malam ini memang spesial. Saya tidak ingat pernah atau tidak, tetapi economic challenge malam tadi di Metro TV menampilkan KapolRI (maaf, kurang nyaman menulis RI dalam huruf kecil-red) sebagai narasumber.

Sayang situasi tidak memungkinkan menonton secara penuh dan runtut. Tetapi ada 3 hal yang menarik perhatian, dan saya tidak ingin menyebutkan siapa yang menyatakan.

Pertama, keluhan pelaku industri yang sudah berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan serikat pekerja tetapi menduga bahwa serikat pekerja kerap dipengaruhi oleh pihak-pihak luar untuk melakukan hal-hal yang dipandang negatif oleh pengusaha yaitu demonstrasi atau melakukan tuntutan2. Kedua, adanya dugaan bahwa gerakan demonstrasi buruh oleh serikat pekerja di dorong oleh NGO/LSM yang dibiayai oleh donor asing, yang diduga dibiayai oleh perusahaan-perusahaan asing yang bertujuan agar pengusaha Indonesia gagal memenuhi kontrak. Ketiga, keluhan bahwa biaya tenaga kerja Indonesia sudah cukup tinggi, sehingga harus mencadangkan 34% dari HPP sebagai biaya upah. Semoga saya tidak salah mengingat ketiga pernyataan tersebut, karena saya memang mendengarkan tidak secara lengkap keseluruhan acara.

Saya hanya ingin berpendapat dari sisi pandang saya pribadi, yaitu mengapa kita masih menempatkan bahwa buruh/tenaga kerja adalah bagian dari mesin produksi atau barang modal. Sehingga para pengusaha sering mengeluhkan besaran upah dalam HPP dibandingkan dengan barang modal lainnya. Padahal setahu saya HPP kita akan tinggi dan sulit bersaing karena bahan baku industri pengolahan kita banyak yang berasal dari impor. Tentu saja kalah bersaing dengan produk sejenis dari negara yang menghasilkan barang modal tersebut. Kemudian harga lahan pabrik di negara kita terutama di kawasan industri menurut Kementerian Perindustrian saat ini cukup tinggi (untuk wilayah Jabodabetabek) yang mencapai 200 USD per meter persegi, dan ini termasuk tinggi di Asia Pasifik. Tetapi sudah tahu harga lahan di Jabodabetabek tinggi, tetap saja Pemerintah mendorong pembukaan kawasan industri di daerah-daerah ini. Upaya untuk membuka kawasan industri di lokasi-lokasi baru dan membangun infrastruktur baru selalu saja terkendala alasan tidak ada dana. Dan uniknya di negara kita persentase kawasan industri yang dibangun oleh swasta jauh lebih besar dibandingkan oleh Pemerintah, bahkan dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura. Jadi terkesan bahwa kawasan industri di Indonesia adalah salah satu kegiatan bisnis, bukan fasilitasi dari Pemerintah.

Kalau dilihat dari investasi asing yang dilakukan di Indonesia, apakah benar bahwa investasi tersebut lebih banyak diarahkan untuk menghasilkan barang ekspor? Kebanyakan investasi di Indonesia justru melihat bahwa Indonesia adalah pasar besar yang menarik. Sehingga konsep pengembangan industrinya justru mengarah mendekati konsumen atau calon konsumen. Apa kita perlu bangga dengan pernyataan Toyota yang ingin berinvestasi besar2an di Indonesia? Karena dari data penjualan Toyota pada tahun 2012, Indonesia sudah menjadi pasar luar negeri terbesar keempat bagi Toyota. Lalu Honda dan Yamaha, bukankah pangsa motor terbesar mereka ada di Indonesia? Lalu berapa persen produk mereka yang diekspor dan menghasilkan devisa dibandingkan dengan produk mereka yang dijual di dalam negeri dan menghasilkan keuntungan untuk prinsipal? Apakah layak investor yang seperti ini diberi perlakuan khusus atau insentif?

Kenapa kita tidak berani membedakan insentif kepada investor yang menghasilkan barang untuk dijual di dalam negeri dan barang untuk diekspor? Kenapa kita harus takut dengan ancaman prinsipal yang akan meninggalkan Indonesia bila tidak mendapat perlakuan khusus? Sebenarnya bila kita secara serius mengolah bahan baku kita menjadi bahan baku industri, maka banyak workshop kita yang mampu membuat mobil dan motor sendiri. Seperti juga kenapa kita harus ngotot untuk membangun angkutan massal dalam kota dengan monorail? Apa tidak lebih baik bila kita kembangkan Elevated Guided Bus yang investasinya hanya 1/3 dari monorel dan bisa melibatkan industri karoseri kita? Toh soal membangun prasarana kita juga lebih dari mampu?

UU Perindustrian sudah kita hasilkan, dan didalamnya tercantum turnkey project yang membuka peluang besar bagi kita untuk mengembangkan prototip2 di dalam negeri sehingga mengurangi impor. Atau UU tersebut hanya tinggal regulasi yang implementasinya tidak bisa diukur? Sinkronkah UU tersebut dengan RUU Perdagangan yang akan disahkan dalam waktu dekat? Wallahu alam..

Semoga semakin hari kesadaran kita untuk menggunakan produk dalam negeri yang dihasilkan oleh bangsa kita sendiri dengan bahan baku yang ada di negara kita semakin menguat. Saya bayangkan suatu saat nanti hanger pakaian di rumah-rumah orang Indonesia bukan lagi terbuat dari plastik, tapi dari kayu, rotan atau bambu yang dihasilkan oleh alam kita sendiri, dan kita bangga menggunakannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun