Mohon tunggu...
Moh Shobahur Rizqi
Moh Shobahur Rizqi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Suka orang yang penuh dedikasi dan setia, apakah itu Anda?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biar Syurga yang Bicara

23 September 2011   02:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:42 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hanya ada sinis setiap kali kupandang tatapan mereka. Meski aku selalu menebar senyum lebar pada mereka, tapi itu tak mengurangi sedikit pun tatapan sinisnya. Sebelumnya, aku tak pernah marah dengan perilaku mereka. Aku selalu berprasangka baik pada semua orang. Sinisme yang ditebar padaku justru menjadi kebanggaan untukku, dan seharusnya pula emak, yang melahirkanku. “Aku tampan dan pintar dan banyak penggemar sehingga banyak orang yang iri padaku,” ujarku setiap kali memandang tatapan sinis itu.

Tapi emak tak sepandangan denganku. Emak, meski aku tahu sangat sayang padaku, tapi ia seperti menyesal telah melahirkanku. Setiap kali menatapku, hampir selalu kulihat titik airmatanya. Aku tak tahu persis apa arti airmata itu. Apakah kebanggaan, penyesalan atau cinta dan kasih sayang. Mungkin pula campuran ketiganya. Duh emak, malang nian kau hingga menangisiku setiap waktu. Bukankah anakmu ini sudah sangat membanggakanmu, Mak? Bukankah semua orang itu hanya iri pada keunggulanku?

“Nak, kasihan kamu!” Ujar emak selalu setiap kali membersihkan badanku. Tapi setiap kali ucapan itu keluar, setiap kali pula tak ada respon dariku. Aku hanya senyum saja merasakan kasih sayang emak padaku.

“Emak, aku sangat sayang padamu!” tapi sayang, itu hanya bisa kuucapkan dalam hati. Aku tak tahu, dengan cara apa aku mengungkapkannya. Aku kira ucapan saja tak cukup untuk mengungkapkannya. Apa perlu aku membunuh diriku dengan meninggalkan secarik kertas berisi pesan kasih sayang untuk emak? Aku kira itu saja belum cukup. Biarlah rasa sayangku sama emak aku simpan saja dalam hati, sambil berharap di syurga nanti, Tuhan mau menayangkan rekaman isi hatiku, betapa besar rasa sayangku pada emak sehingga aku tak dapat membuktikan apa-apa di dunia.

“Jangan keluar rumah nak, di dalam saja!” Begitu perintah emak setelah membersihkan badanku. Akupun hanya senyum menjawabnya. Tapi, lagi-lagi emak menitikkan airmata. Ingin aku menemani emak menitikkan airmata. Barangkali airmataku kering karena deritaku di masa lalu, atau mungkin juga karena aku cukup bahagia dengan hidupku sehingga sulit untuk menitikkan satu saja airmata!

Ahh, emak! Sebetulnya apa yang membuatmu menangis mak? Apakah itu kebahagiaan atau penderitaan mak? Andai itu penderitaan, pasti akan kusingkirkan sumber penderitaan itu. Dan bila itu kebahagiaan, akan kubalas sumber kebahagiaan itu dengan kebahagiaan yang sama, atau berkali lipat adanya. Tapi sayangnya, emak tak mau mengutarakannya, sedangkan aku tak mampu memancing agar emak mau mengatakannya.

Hingga satu saat, emak memarahiku karena aku tak patuh pada perintahnya. aku keluar rumah saat emak baru saja bilang aku tak boleh keluar. Aku keliling kampung sekitar, dengan pakaian normal layaknya orang-orang kampung yang proletar itu. Ini bukan pertama kali aku keluar sebetulnya, mungkin yang ketujuh atau kedelapan kali. Tapi tak pernah sekalipun emak memergoki. Baru kali ini, emak melihatku diarak anak-anak kampung. Aku senang sekali ketika anak-anak itu menyambutku dengan mengarakku. Aku pun menyambut arakan itu dengan gembira dan tertawa. Tapi emak tak suka dengan kelebihanku. Ia menyeretku pulang karena tak menginginkan aku bak artis yang sedang dielu-elukan penggemarnya.

Aku teringat masa kecilku ketika dulu aku mengutarakan cita-citaku di hadapan emak. Aku bilang aku ingin menjadi artis. Tapi emak melarangku dengan senyum manisnya, “nak, ada hal yang lebih bermakna dari sekedar kepopuleran dan keglamoran materi, kamu harus belajar mencari makna itu tanpa harus menyentuh materi,” ucap emak lembut dengan senyum manisnya. Akupun tersenyum pula dibawanya. Aku tak tahu maksud emak bilang seperti itu, tapi aku beruntung karena aku masih mengingat kalimat itu. Hingga aku menjadi seperti sekarang ini, kata-kata itu tak satu pun huruf yang lepas dari ingatanku.

Awalnya aku kira inilah makna yang dimaksud emak dulu. Tapi ternyata, emak memarahiku dengan kemarahan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tanganku digenggam erat dibawa pulang. Bukannya aku tak mampu menahan atau melawannya. Aku tak berani melawan emak, emak yang paling aku sayangi dan paling aku cintai ini. Ah emak, apa yang kau maksud dengan makna mak? Apa aku harus menunggu pula biar syurga yang bicara?

“Sudah emak bilang, jangan keluar rumah! Apalagi sejauh itu hingga kau diarak anak-anak. Emak malu, nak, malu!” Ucapnya keras sambil menitikkan airmata. Ingin aku temani emak dengan airmataku, tapi aku hanya bisa menelan kepedihanku dengan senyuman. “Dengar nggak kamu!”bentaknya lagi melihatku senyum. Aku diam.

Tapi kemarahan emak itu belum menyadarkanku. Aku tak mau kehilangan para penggemarku itu. Jika tidak menemui mereka, bisa-bisa mereka akan pindah kegemarannya, dan aku tak punya penggemar lagi. Bukankah pepatah kampungku juga bilang witing tresno jalaran soko kulino? Untuk memelihara cinta mereka, aku harus memperhatian intensitas pertemuanku dengan mereka. Aku pun mulai merancang strategi. Aku hanya akan menemui para penggemarku itu saat jam ‘kerja’ emakku.

Keesokannya langsung kupraktekkan strategi itu, dan ternyata berjalan lancar hingga berminggu-minggu lamanya. Hingga suatu peristiwa, seorang anak yang sangat menggemariku itu dipaksa pulang bapaknya. Bapaknya hanya bilang, ”jangan dekati orang gila itu, nanti kamu ikut gila juga!” Sedih sekali aku mendengarnya. Tak apa aku dibilang gila, tapi aku tak terima jika penggemarku menjauhi orang yang digemarinya. Meski aku hanya diam kecewa, tapi bapak anak itu memelototi aku, seolah ingin mengenyahkanku dari dunia.

Aku masih digeluti rasa kecewaku saat aku berjalan pulang. Tanpa sadar aku membiarkan para penggemarku itu membuntuti mengarakku sampai rumah. Di rumah, aku beri mereka isyarat untuk pergi dari rumahku dengan melambaikan tangan saja. Tapi mereka enggan bergeming dan terus saja meneriaki aku. Hingga emak datang mereka masih saja meneriaki aku. Emak berusaha mengusir mereka, tapi tak satupun dari mereka meninggalkanku. Entah sengaja atau tidak, emak mengambil lanjaran bambu yang tergeletak di samping rumah dan mengayunkannya ke arah para penggemarku. Bambu itu mengenai kepala salah satu penggemarku hingga berdarah dan menangis. Aku melihatnya, tapi emak sepertinya tak tahu kalau kayu yang mengenai salah satu penggemarku itu melukai kepalanya. Emak menyeretku masuk, dan mengunci pintu.

Entah sedari kapan, dua orang lelaki mengetuk-ketuk pintu dengan kasar. Mereka sama meneriaki nama emak. Aku hanya meringkuk saja di dapur ketakutan. Kudengar emak mulai melangkah lemah ke depan rumah. Emak membukakan pintu, dan disambut teriakan salah seorang lelaki yang meminta pertanggungjawaban pada emak yang melukai kepala anaknya. Emak terdengar menangis di sela kerasnya ucapan si lelaki. Aku tahu emak pasti tak punya uang untuk mengobati luka kepala anak itu seperti yang diminta salah seorang lelakinya. Tapi anehnya mereka masih saja meminta, dan mulai kudengar suara barang perabot tumah tangga bergelotak. Mereka tak tahu etika dan tak ada pengertiannya.

Aku tak terima emak dibuat menderita. Meski aku tahu emak salah saat itu, aku harus membela emakku. Kuhampiri kedua lelaki yang mendatangi rumahku itu. Mereka menatapku sinis sembari tetap mengorek lemari. Aku usir dengan mendorong mereka keluar. Dan mereka pun pergi. Sejak itu mulai berfikir bahwa ternyata merekalah yang membuat emak selalu sedih. Begitu pula dengan para penggemarku. Emak sering marah padaku karena ulah mereka-mereka itu. Mulai kini, akan kusingkirkan mereka semua dari hadapan emak. Aku sayang emak. Aku tak ingin emak sedih. Emak akan sedih jika berhubungan dengan mereka, orang-orang kampung juga anak-anak penggemarku.

Dan sejak peristiwa itu, semua orang kampung semakin membenciku. Dan emak tentunya. Ketika aku sejenak saja diam di halaman rumah warga, mereka langsung mengusirku seperti mengusir anjing.

“Huss..huss..! Pergi kau, Tono! Jangan maen di sini!” Hampir semua warga berteriak seperti itu padaku. Bila aku sedang tak enak hati dirasa, aku lempar saja batu ke kaca rumah mereka. Pernah pula langsung kulempar batu di mulut peneriak kata itu, hingga giginya tak tersisa. Tapi setelah itu aku dipukuli warga. Dengan menahan rasa perih dan nyeri di muka akibat dipukuli, aku bergumam, “inikah yang dimaksud makna sama emak?”

Benar atau tidaknya, biarlah syurga yang bicara, seperti ia akan menceritakan rasa cintaku sama emak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun